Jaksa Filipina Batalkan Kasus Ancaman Pembunuhan dari Duterte

FILE - Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam pertemuan dengan pejabat pemerintah di istana kepresidenan Malacanang di Manila, Filipina, 23 Mei 2022.

Seorang jaksa Filipina telah membatalkan tuntutan pidana terhadap mantan presiden Rodrigo Duterte, yang dituduh memberikan ancaman pembunuhan terhadap seorang perempuan anggota parlemen, menurut dokumen pengadilan yang dirilis Jumat (12/1).

Wakil Pemimpin Minoritas DPR France Castro menuduh Duterte mengancam nyawanya dua kali tahun lalu dan telah meminta jaksa di Manila untuk menuntutnya.

Jaksa penuntut, Leilia Llanes, menolak pengaduan tersebut pada hari Selasa "karena kurangnya bukti yang cukup" dalam resolusi yang disetujui dan dirilis ke pers pada hari Jumat.

Castro menuduh Duterte melakukan "ancaman berat", yang dianggap kejahatan, berdasarkan Undang-Undang Pencegahan Kejahatan Dunia Maya dalam dua wawancara dengan media penyiaran lokal SMNI.

Duterte membantah mengancam akan membunuh Castro, dan meminta jaksa bulan lalu untuk tidak mendakwanya.

Dalam salah satu wawancara, mantan presiden tersebut menceritakan “nasihat” yang ia berikan kepada putrinya, Wakil Presiden dan Menteri Pendidikan Sara Duterte, tentang bagaimana ia dapat menggunakan dana intelijen dan dana rahasia yang dialokasikan untuk kantornya.

"Target pertamamu dengan dana intelijen adalah 'Kamu, kamu France'. Bilang padanya, 'Kamulah komunis yang ingin saya bunuh'," kata Duterte dalam sebuah wawancara.

Asisten Senior Jaksa Kota Ulric Badiola merekomendasikan pencabutan pengaduan Castro kepada atasannya, Wakil Jaksa Kota Llanes.

Badiola mengatakan Duterte hanya memberikan "nasihat sarkastik" kepada putrinya. “Tidak ada cukup bukti bahwa tergugat bertekad untuk mengejar para penyerang putrinya hingga menghabisi mereka, khususnya pelapor,” kata Badiola.

Duterte kerap mengancam akan membunuh orang, termasuk para pengedar narkoba dan aktivis HAM, ketika ia menjadi presiden periode 2016 hingga 2022.

Ia juga sering menyebut para kritikus sebagai simpatisan komunis -- sebuah praktik yang dikenal sebagai "penandaan merah", yang dapat mengakibatkan penangkapan, penahanan, atau bahkan kematian orang yang menjadi sasarannya.

Castro tidak dapat dihubungi AFP untuk dimintai komentar pada hari Jumat. [ab/uh]