Dalam sebuah video yang dirilis pada hari Rabu (27/11), jaksa penuntut utama Mahkamah Pidana Internasional meminta para hakim untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk kepala rezim militer Myanmar atas kejahatan yang dilakukan terhadap minoritas Muslim-Rohingya di negara itu.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang mengambil alih kekuasaan dari pemimpin terpilih Aung San Suu Kyi lewat kudeta militer pada 1 Februari 2021, dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena mendeportasi dan menganiaya warga Muslim-Rohingya.
Hampir satu juta orang terpaksa mengungsi ke negara tetangga Bangladesh, melarikan diri dari apa yang disebut sebagai kampanye pembersihan etnis yang mencakup pemerkosaan massal, pembunuhan, dan pembakaran rumah.
Dari sebuah kamp pengungsi di Bangladesh, jaksa penuntut utama ICC, Karim Khan, mengatakan dia bermaksud untuk meminta lebih banyak surat perintah penangkapan bagi sejumlah pemimpin Myanmar dalam waktu dekat.
“Dengan melakukan hal ini, kami – bersama dengan seluruh mitra kami – ingin menunjukkan bahwa Rohingya tidak dilupakan. Bahwa mereka, seperti semua orang di seluruh dunia, berhak atas perlindungan hukum,” kata pengacara Inggris tersebut.
Tuduhan itu berasal dari operasi penumpasan pemberontakan yang dimulai militer Myanmar pada Agustus 2017 sebagai respons terhadap serangan pemberontak. Hlaing, yang mengepalai Dinas Pertahanan Myanmar, dikatakan telah mengarahkan Angkatan Bersenjata Myanmar, yang dikenal sebagai Tatmadaw, serta polisi nasional untuk menyerang warga sipil Rohingya.
Khan sedang berada di Bangladesh di mana dia bertemu dengan sejumlah warga Muslim-Rohingya yang mengungsi.
Myanmar bukan anggota ICC, tapi Bangladesh merupakan anggota pengadilan global itu.
Pada tahun 2018, hakim di pengadilan memutuskan bahwa jaksa dapat menyelidiki kejahatan yang “selesai atau berakhir” di wilayah negara anggota, seperti deportasi paksa.
Pada tahun 2019, pendahulu Khan, Fatou Bensouda, secara resmi meminta untuk membuka penyelidikan atas situasi tersebut, dan hakim memberikan lampu hijau untuk melakukan penyelidikan terhadap “kejahatan apa pun, termasuk kejahatan apa pun di masa depan” yang dilakukan setidaknya sebagian di Bangladesh atau negara anggota pengadilan lainnya dan terkait dengan kelompok minoritas Rohingya.
Langkah ini membuka jalan bagi Khan untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan lain, selain memaksa laki-laki, perepuan dan anak-anak melewati perbatasan dan masuk ke kamp pengungsi.
Permintaan Khan itu disampaikannya beberapa hari setelah kelompok pemberontak yang kuat merebut kota perdagangan utama di timur laut Myanmar di perbatasan China, mengambil kendali atas pusat penambangan tanah jarang yang menguntungkan, yang merupakan kemunduran lain bagi pemerintah yang dipimpin militer.
Militer Myanmar mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Aung San Suu Kyi pada 1 Februari 2021, memicu pertempuran yang semakin intensif dengan milisi bersenjata yang diorganisir oleh kelompok-kelompok etnis minoritas Myanmar di wilayah perbatasan yang telah berjuang selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar.
Pada tahun 2022, Mahkamah Internasional, pengadilan tertinggi PBB, mengajukan kasus terpisah terhadap Myanmar – yang diajukan oleh Gambia – yang menuduh negara Asia Tenggara itu bertanggung jawab atas genosida terhadap kelompok etnis minoritas Muslim-Rohingya. Lima negara Eropa dan Kanada telah meminta pengadilan untuk mendukung Gambia dalam proses tersebut. [em/ab]