Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Senin petang di Solo, Jawa Tengah. Sehari kemudian, dua jaksa dan seorang pengusaha ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan suap. Keterlibatan jaksa ini ternyata cukup dalam. Mereka yang seharusnya mengawasi, justru menjadi penyusun strategi mengakali aturan.
Sudah lebih dua minggu, Suprobo tak bisa membuka warung soto di Jalan Babaran, Umbulharjo, Yogyakarta. Ada saluran besar sedalam sekitar tiga meter, tepat di depan warungnya. Belum ada kejelasan kapan proyek akan kembali dikerjakan, tapi Suprobo berharap pemerintah daerah mengambil tindakan.
“Ya pokoknya dipercepat, harapan saya. Dibuat seperti semula, jalannya bagus, lancar. Tidak ada apa-apa, jadi bisa jualan lagi. Nanti ganti pemborongnya, atau bagaimana, masa enggak diperbaiki lagi. Seharusnya secepatnya, lah. Kalau begini, rakyat kecil yang sengsara. Mereka terima uang banyak, tapi kan itu korupsi. Kalau saya, kalau tidak jualan kan enggak makan,” ujarnya kepada VOA.
Suprobo akrab dengan puluhan pekerja di proyek. Dia menyediakan minum bagi mereka sejak pekerjaan itu dimulai pada 6 Agustus 2019. Dia juga ikhlas, kehilangan rezeki akibat pembongkaran jalan selama lebih dari dua minggu tanpa kompensasi apapun dari pemerintah.
Pekerja proyek yang menggali saluran itu, Selasa petang (20/8) pamit. Kabarnya, pekerjaan akan libur sebulan. Suprobo paham apa yang terjadi, media sudah memberitakan penangkapan sejumlah orang dalam kasus korupsi terkait proyek itu. Apa lagi, beberapa jam setelah itu, Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus suap. Ketiganya berbagi peran jahat di proyek Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Pemukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta. Proyek itulah yang sedang dikerjakan tepat di depan warung Suprobo.
Dalam paparan di kantor KPK, Marwata menyebut jaksa Eka Safitra dan Satriawan Sulaksono bersekongkol dengan Gabriella Yuan Ana. Mereka bertiga mengatur strategi, agar perusahaan milik Gabriella memenangkan tender. Upaya itu berhasil, proyek senilai Rp 8,3 miliar itu jatuh ke perusahaan milik Gabriella. Sebagai konsekuensinya, Gabriella sepakat memberi jatah 5 persen dari nilai proyek atau sekitar Rp 415 juta untuk kedua jaksa.
Sebelum ini, Gabriella sudah memberikan uang dua kali, total Rp110.870.000. Pemberian ketiga dilakukan pada 19 Agustus sore, dalam jumlah yang sama. Ketika itulah, petugas KPK menangkap Gabriella dan Eka Safitra di Solo.
“Sedangkan sisa fee dua persen direncanakan akan diberikan setelah pencairan uang muka pada minggu keempat bulan Agustus 2019,” kata Marwata. Jaksa Satriawan Sulaksono hingga Rabu siang (22/8) masih melarikan diri
Mengapa Jaksa Terlibat?
Jaksa biasanya bekerja di pengadilan. Namun, dalam kasus ini, jaksa justru terlibat dalam proyek konstruksi saluran air. Keterlibatan ini dapat ditarik mundur pada Mei 2015, ketika Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 2015 tentang “Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi". Sebelum itu, penyerapan anggaran di pemerintah tersendat karena proyek-proyek berjalan lambat. Kepala daerah takut terkena kasus korupsi.
Jaksa Agung HM Prasetyo kemudian membentuk Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) Kejaksaan RI. Tim tersebut ada di pusat maupun di daerah. Eka Safitra, jaksa di Kejaksaan Negeri Yogyakarta, adalah anggota tim TP4 Daerah. Karena keterlibatan itulah, Marwata mengatakan KPK sangat kecewa.
“KPK memahami Pembentukan TP4D oleh Jaksa Agung adalah respons yang baik atas arahan Presiden yang menyinggung tentang lambannya penyerapan anggaran karena para kepala daerah takut mengambil kebijakan apabila pidana. Sangat disayangkan peran pegawasan ini malah menjadi lahan memperkaya diri sendiri dan pihak lain oknum tertentu,” kata Marwata.
Hakim Garis Bikin Gol
Baharuddin Kamba dari Forum Pemantau Independen Pakta Integritas (Forpi) Kota Yogyakarta mengibaratkan kasus ini seperti hakim garis dalam pertandingan sepakbola yang ikut bermain.
“Jaksa itu ibaratnya sebagai hakim garis yang mengawasi dan memimpin pertandingan, tetapi dalam kasus ini, dia juga ikut sebagai pemain. Sebagai strikernya untuk menggolkan bola,” kata Kamba sambil tertawa.
Forpi adalah lembaga independen yang dibentuk oleh Walikota Yogya untuk mengawasi kinerja aparat daerah, terutama dalam pencegahan korupsi. Sejauh ini, kata Kamba, pihaknya bersyukur karena tidak ada pegawai di lingkungan Pemerintah Kota Yogyakarta yang ikut menjadi tersangka. Namun, pihaknya menyayangkan, pegawai negeri yang terlihat dalam kepanitiaan proyek, kalah pengaruh oleh jaksa yang sebenarnya hanya bertugas mengawasi kinerja mereka.
“Yang menarik adalah, kenapa PNS mau dipengaruhi oleh oknum jaksa. Misalnya, soal syarat-syarat untuk memenangkan proyek. Seharusnya dia kan tahu bahwa ini keliru, tetapi kenapa melakukan itu? Apakah oknum jaksa ini menjanjikan sesuatu kepada PNS yang ada di PUPKP? Ini perlu digali,” tambah Kamba.
Kamba mempertanyakan, apakah para oknum jaksa ini sudah memiliki pengalaman untuk mengakali sistem pelelangan. Pihaknya meminta KPK menyelidiki lebih dalam soal tersebut. Tidak hanya bagi pemerintah Kota Yogya, pengungkapan skema korupsi baru semacam ini akan bermanfaat dalam pencegahan korupsi di seluruh pemerintah daerah di Indonesia.
Evaluasi Tim Kejaksaan
Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta memandang, dugaan korupsi yang melibatkan oknum TP4D merupakan ironi. Bagi Pukat, sejak awal pembentukannya, TP4D sudah problematik dari sisi hukum.
Zaenur Rohman, peneliti Pukat menjelaskan, TP4D sebenarnya membuat jaksa terlalu jauh dari tugas pokok dan fungsi (Tupoksi). Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan di bidang penuntutan. Kejaksaan dapat memberi pertimbangan dalam bidang hukum, namun kewenangan ini bukan berarti dapat masuk dan menempel dalam setiap proyek pembangunan pemerintah.
Rohman juga melihat keberadaan tim ini tumpang tindih dengan instansi pengawasan. Selama ini, pengawasan sudah menjadi tugas lembaga pengawas, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagi pengawas eksternal, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP). Jika lembaga internal seperti inspektorat kurang bernyali, seharusnya lembaga itu yang diperbaiki, bukan menghadirkan lembaga baru.
“Kalau pertanyaannya, karena inspektorat tidak berfungsi, menurut saya kalau tidak berfungsi justru inspektoratnya yang harus direvitalisasi. Bukan memasukkan lembaga lain yang menjalankan fungsi yang sebenarnya menjadi tugas inspektorat. Dalam konteks OTT ini, karena jaksa bersinggungan dengan pihak yang mengerjakan proyek tersebut, kemudian memanfaatkan situasi untuk mengatur pemenang proyek dan akhirnya TP4D ini yang meminta fee proyek kepada pemborong,” kata Zaenur Rohman.
Pukat FH UGM mendorong Presiden mengevaluasi TP4P dan TP4D yang tidak tepat dijadikan sebagai pengawal proyek pembangunan. Kejaksaan juga didukung melakukan reformasi. Kejaksaan, kata Rohman, perlu mengadopsi pemberian sanksi pencopotan pimpinan yang anak buahnya melakukan tindak pidana korupsi. Selain itu, Pukat juga mendorong KPK mengembangkan dan menuntaskan dugaan korupsi ini.
Your browser doesn’t support HTML5
Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati DIY, Ninik Rahma Dwi Hastuti kepada media mengaku bahwa jaksa yang ditangkap KPK memang jaksa fungsional di Kejaksaan Negeri Yogyakarta. Menurut catatan, pada Senin lalu, Eka Safitra izin tidak masuk ke kantor karena anaknya sakit. Kejaksaan menilai, apa yang dilakukan Eka merupakan tindakan pribadi dan tidak terkait dengan institusi.
“Kami sangat prihatin atas kejadian ini, dan pada kesempatan ini, kami mohon maaf kepada masyarakat atas kejadian ini, yang membuat tergganggu kenyamanannya. Tetapi ini murni perbuatan pribadi,” ujar Ninik. [ns/uh]