Sekitar satu bulan lalu polemik meruap setelah Yaakov Baruch, pengusaha Minahasa berdarah Yahudi, membuka Museum Holocaust pertama di Indonesia, sekaligus Asia Tenggara.
Sebagian warga muslim dan organisasi massa Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), ketika itu mengecam langkah Yaakov tersebut dan mendesak agar museum dan pameran foto holocaust di Minahasa, Sulawesi Utara itu ditutup.
Namun kesalahpahaman mulai berkurang. Rabi Yahudi di Sinagoge Shaar Hasyamayim itu menjelaskan bahwa museum itu tidak ada kaitannya dengan Israel. Ia juga berulangkali menegaskan sikap komunitas Yahudi di Indonesia yang tetap mendukung posisi pemerintah Indonesia yang belum bersedia membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
BACA JUGA: Israel Berencana Potong Jam Seminari Pria Ultra-OrtodoksPeresmian museum ini pada akhir Januari lalu bertepatan dengan Hari Peringatan Holocaust Internasional. Duta Besar Jerman untuk Indonesia Ina Lepel juga hadir dan menyampaikan sambutan.
Yaakov Baruch kepada VOA, Senin (28/2), mengatakan jumlah pengunjung museum, yang beroperasi dari Senin hingga Jumat, mulai pukul 10 pagi hingga enam sore, terus bertambah.
"Sekarang ini jumlah pengunjung bisa di atas 20 orang dalam satu hari," kata Yaakov.
Museum Holocaust ini memiliki luas bangunan 48 meter persegi. Saat ini di dalam museum dipajang 19 foto tentang kejadian sebelum, saat dan setelah holocaust. Termausuk foto-foto ulama di Paris yang menyelamatkan 500 orang Yahudi, enam warga Muslim Albania yang menyelamatkan 2.000 orang Yahudi, dan orang Indonesia yang menyelamatkan orang-orang Yahudi di Belanda.
Menurutnya, pengunjung Museum Holocaust ini beragam, kebanyakan warga lokal tapi ada juga pelancong asing atau tamu dari Jakarta yang sedang berkunjung ke Manado. Ada pengunjung yang memang sudah sejak lama mengamati sejarah holocaust, ada peminat sejarah, pernah pula datang seorang pengunjung yang justru mengenakan kaus Nazi. Sejauh ini tanggapan mereka positif, bahkan tak jarang ada yang berkunjung beberapa kali.
"Lebih dari setengah pengunjung anak-anak muda yang datang saya tanya alasannya karena beritanya heboh," ujarnya. Tapi tetamu berusia 40 tahun ke atas pernah ke kamp Auschwitz dan Yad Vashem (Museum Holocaust di Yerusalem)," tuturnya.
Yaakov menekankan lebih dari setengah pengunjung tidak tahu apa-apa tentang sejarah Holocaust. "Ada yang merinding, menangis, macam-macam (ekspresi mereka). Jadi saya sambil mengedukasi karena banyak juga anak muda yang mengidolakan Hitler,” ujarnya.
Yaakov menegaskan Holocaust adalah tragedi kemanusiaan. Jika ada orang tidak suka Israel, bukan berarti membela Hitler. "Kalau mereka bersimpati dengan Palestina, bukan berarti mendukung pembantaian terhadap Yahudi," katanya. Museum ini memberi pelajaran tentang bahaya rasisme dan kebencian, tambahnya.
Pameran foto Holocaust ini akan berlangsung selama satu tahun. Tepat pada 27 Januari 2023, konsep museum ini akan diubah dengan menambah lebih banyak artefak. Ada pula rencana memamerkan situasi genosida di Myanmar dan di negara-negara lain, tidak terbatas pada genosida warga Yahudi semata.
"Selain untuk Holocaust, museum ini saya buat sebagai pusat toleransi," kata Yaakov.
BACA JUGA: AS Tolak Laporan Amnesty International yang Tuduh Israel Jalankan Kebijakan ApartheidKomunikasi dengan MUI
Ketua Bidang Kerja Sama Luar Negeri dan Hubungan Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan ia telah berkomunikasi lewat telepon dengan Yaakov Baruch, pendiri Museum Holocaust di Minahasa.
Your browser doesn’t support HTML5
Sudarnoto mengatakan sejak awal Museum Holocaust seakan memberikan peluang pada kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingan diplomasi budaya di mana Israel berada di belakangnya. Dalam percakapan tersebut, Yaakov kembali membantah Museum Holocaust ini ada kaitannya dengan Israel atau Zionisme.
"Perlu juga dari pihak masyarakat di Minahasa, termasuk pemerintah, sebaiknya untuk melihat kembali. Jangan sampai kemudian itu termanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan lain yang lebih intensif sehingga merugikan masyarakat Yahudi sendiri dan juga merugikan bagi banyak orang," ujar Sudarnoto.
Karena itulah, lanjutnya, Forum Kerukunan Umat Beragama perlu juga menggelar dialog, bukan sekadar untuk menguji penerimaan atau penolakan terhadap keberadaan Museum Holocaust tapi untuk melihat secara lebih kritis agar tidak merugikan semua pihak.
Sudarnoto tetap menilai Museum Holocaust tidak cocok untuk mengedukasi masyarakat Indonesia. "Bahwa isu tentang intoleransi itu berbahaya, iya. Tapi tanpa Museum Holocaust kita juga sudah menerapkan nilai-nilai itu," tuturnya.
Namun dia memahami bahwa Holocaust merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang bersifat universal, dan berempati pada warga Yahudi yang menjadi korban holocaust.
Meski begitu, dia menilai keberadaan Museum Holocaust tersebut tidak perlu dilanjutkan. Pendidikan sejarah yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia adalah soal nasionalisme, tegas Sudarnoto. [fw/em]