Eva Kusuma Sundari membuka pembicaraan dengan pengalamannya menempuh perjalanan Kediri-Yogyakarta yang hanya perlu waktu empat jam. Waktu tempuh itu memotong durasi hingga dua jam, karena jalan tol baru yang diresmikan beberapa bulan lalu. Bukan hanya soal jarak tempuh, Eva juga bercerita banyak tentang bagaimana pembangunan infrastruktur mampu melambungkan ekonomi di perkotaan dan pedesaan. Secara khusus, anggota DPR dari Jawa Timur ini menguraikan sejumlah kegiatan ekonomi produktif perempuan yang berjalan, karena perbaikan infrastruktur.
“Kalau kemudian dilaporkan adanya kenaikan kesejahteraan di pedesaan, itu memang terverifikasi oleh adanya sumbangan dari infrastruktur, dan sumbangan itu dalam berbagai sektor. Kemudahan usaha juga disumbang karena infrastruktur memudahkan untuk melakukan bisnis,” papar Eva.
Your browser doesn’t support HTML5
Jalan tol dan pembangunan pedesaan menjadi bahasa menarik dalam bedah program Capres-Cawapres di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, UGM, Yogyakarta. Gelaran pada Kamis, 4 April 2019 merupakan seri terakhir dari lima rangkaian tema. Eva Kusuma Sundari datang mewakili Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin bersama Inas Nasrullah Zubir. Sedang di meja seberang, duduk Rizal Ramli dan Harryadin Mahardika dari Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
Rizal Ramli datang meski bukan anggota BPN. Dia mengaku diminta untuk menyampaikan penilaian terhadap kinerja Jokowi, sekaligus memaparkan visi Prabowo-Sandi.
BPN: Jokowi Wariskan Tiga O
Pilihan BPN untuk menghadirkan Rizal Ramli nampaknya tepat. Dia menjadi lawan bicara yang sepadan bagi Eva Kusuma Sundari, yang sebelum berpolitik adalah seorang akademisi di Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga, Surabaya. Kopi yang disajikan panitia debat untuk para pembicara semakin dingin. Tetapi perdebatan mereka atas tema yang disodorkan, makin lama-makin panas.
Apalagi, Rizal Ramli tanpa ragu dengan gaya khasnya langsung menohok cara kerja dan capaian yang diperoleh Jokowi. Secara jujur dia mengaku Jokowi pantas diberi ucapan selamat karena kencang membangun infrastruktur, termasuk menyeimbangkan wilayah Indonesia timur dan barat. Begitu rajin Jokowi meninjau proyek, Rizal Ramli sampai menyamakannya dengan mandor.
“Jadi istilah saya, Pak Jokowi tinggalkan tiga warisan di dalam infrasruktur terutama yang komersial, yaitu over supply, over price dan over borrow. Siapapun pemerintahan habis ini harus beresin masalah ini,” kata Rizal Ramli.
Mengenai over supply, Rizal memberikan contoh proyek listrik 35 ribu Watt yang membuat PLN harus menyubsidi 1,5 miliar dollar kepada pembangkit swasta. Pada jalan tol, ini mengakibatkan investasi baru kembali dalam 10-15 tahun, padahal biasanya hanya 7-8 tahun. Over price, sebagai dampak proyek dikarenakan BUMN yang harganya lebih mahal 30-50 persen. Di sisi lain, BUMN tidak memiliki dana sehingga harus meminjam, dan mengakibatkan terjadinya over borrow.
Rizal Ramli juga mengkritik jalan tol era Jokowi yang menyebabkan pemerintah harus memberikan subsidi hingga Rp. 300 miliar setahun. Termasuk proyek LRT Palembang, yang menurutnya merugi hingga 9 miliar per bulan.
TKN: Infrastruktur Bukan Untung Rugi
Kritik pedas Rizal Ramli dibalas pembicaraan tak kalah pedas dari Inas Nasrullah Zubir. Dia menegaskan, pembangunan infrastruktur tidak dapat hanya didekati dari sisi untung-rugi. Penyediaan sarana bagi rakyat adalah pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar. Karena itu, kata Inas, pembangunan infrastruktur dengan biaya besar yang dilakukan sekarang, harus dilihat manfaatnya dalam jangka panjang. Dia memaparkan strategi Cina yang membangun jalan tol lebar belasan tahun lalu, dan baru terasa manfaatnya saat ini.
Inas juga meminta Rizal Ramli lebih jeli melihat manfaat jalan tol sebagai sarana distribusi pendukung ekonomi rakyat.
"Saya punya keluarga di Lampung. Dari dulu mereka begitu sulit untuk membawa pisang, baru 3-4 hari sampai Jakarta dan sudah busuk, harganya murah. Sekarang satu hari bahkan kurang sudah sampai Jakarta dan harganya lebih baik. Gunanya infrastruktur seperti itu, bukan hanya sebagai konektivitas tetapi sebagai distribusi,” kata Inas.
Harryadin Mahardika memotret persoalan lain dalam pembangunan infrastruktur yang dijalankan Jokowi. Akademisi Universitas Indonesia yang kini tergabung di BPN Prabowo-Sandi ini menilai, beban yang saat ini muncul bukan pada kecepatan pembangunan. Dia justru mempertanyakan studi kelayakan yang dijalankan oleh pemerintah dalam perencanaan proyek. LRT Palembang, yang rugi Rp 9 miliar per bulan, adalah salah satu contoh, di mana studi kelayakan penumpang yang disusun dulu, jauh dari kenyataan saat ini.
Masalah semacam itu akan menjadi beban pemerintah mendatang karena perhitungan yang buruk. Ada cukup banyak proyek yang harus ditanggung pembiayaannya oleh pemerintah di masa depan. Selain itu, Harryadin juga menyoroti turunnya peran swasta dalam proyek-proyek pemerintah.
“Sektor swasta yang seharusnya ikut dalam pembangunan infrastruktur tidak berani masuk karena pemerintah sedikit melupakan unsur kehati-hatian. Sehingga swasta takut untuk terlibat,” ujar Harryadin.
Dana desa juga menjadi perdebatan menarik, karena klaim atas siapa yang paling berperan dalam kemunculannya. TKN mengatakan, mereka merupakan pihak yang pertama kali menghembuskan wacana soal alokasi dana desa. Sementara BPN menilai, keyakinan semacam itu merupakan over claimJokowi atas sesuatu yang diperjuangkan oleh banyak pihak.
Seri kelima ini merupakan gelaran terakhir bedah program Capres-Cawapres di Universitas Gadjah Mada. Dalam setiap sesi, kedua kubu selalu mengirimkan anggota tim pemenangan masing-masing untuk memaparkan program ke depan. Berbagai pihak, baik akademisi maupun tim pemenangan masing-masing pasangan menyambut baik perdebatan akademis di kampus mengenai program-program pasangan Capres. Kegiatan ini sendiri, diselenggarakan oleh Fisipol UGM dan Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), Yogyakarta. [ns/lt]