Seorang mantan pasien kejiwaan bertekad memerangi stigma kesehatan mental dan rumah sakit jiwa. Ia mengunggah konten-konten seputar kesehatan jiwa.
Apa yang terlintas dalam benak Anda jika disarankan berobat ke rumah sakit jiwa? Rasa malu, khawatir dijauhi, atau bahkan takut dibilang gila? Stigma itu hendak dipatahkan Yovania Asyifa Jami. Namanya terkenal setelah videonya, berjudul “Saya Pasien RSJ Tapi Berhasil Masuk UI,” viral di media sosial.
“Di sana itu beda 180 derajat karena yang divisualisasikan selama ini kan seram, nakutin, tempat penyiksaan, tempat uji coba. Tapi ternyata di sana itu sama saja kayak rumah sakit pada umumnya,” kata Yova Asyifa Jami (21). Akrab dipanggil Yova, perempuan ini menampik citra negatif yang selama ini melekat pada fasilitas pelayanan kesehatan mental, seperti rumah sakit jiwa.
Yova pernah dirawat di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit, salah satu rumah sakit di ibu kota yang berfokus pada layanan kesehatan jiwa. Ia didiagnosis memiliki gangguan unspecified bipolar, atau perubahan mood alias suasana hati ekstrem yang tidak dapat diprediksi.
Kepada VOA, ia menceritakan faktor-faktor dan pengalaman traumatik yang memicu risiko gangguan bipolarnya, mulai dari faktor genetik, rasa cemas terhadap pencapaian akademiknya ketika akan menghadapi ujian SD, perundungan yang dialami semasa SMP, hingga perceraian orang tua. Beberapa upaya telah dilakukan keluarga Yova untuk “menyembuhkannya”, yaitu dengan membawanya ke dokter umum dan mendaftarkannya untuk terapi keagamaan, rukiah. Namun, itu semua belum berhasil membuatnya stabil.
Yova akhirnya dibawa ke RSKD Duren Sawit pada tahun 2018 untuk dirawat selama 21 hari. Ia kembali dirawat pada bulan April tahun ini untuk beristirahat dari rutinitas dan menjernihkan pikirannya. Pascastabil, Yova kembali beraktivitas seperti sedia kala dan bahkan lulus kuliah di Universitas Indonesia jurusan hubungan masyarakat.
Direktur RSKD Duren Sawit, dr. Nikensari Koesrindartia, menjelaskan bahwa seiring perkembangan zaman, tata laksana pelayanan kesehatan mental semakin baik dan berbasis hak asasi manusia. RSKD Duren Sawit, misalnya, memiliki fasilitas khas seperti instalasi gawat darurat khusus untuk pasien jiwa. Selama minimal 18 hari, pasien akan memperoleh rangkaian terapi yang disesuaikan dengan perkembangan mereka ketika dirawat.
Your browser doesn’t support HTML5
Selain terapi rehabilitasi yang bersifat medis, pasien juga akan memperoleh terapi rehabilitasi pikososial, di mana pasien yang dinyatakan sudah lebih stabil akan didampingi oleh tim rumah sakit untuk berinteraksi dengan sesama pasien rawat inap dan mengikuti kegiatan-kegiatan kreatif seperti kelas menyanyi, meronce, memasak, hingga aktivitas pertukangan. Program lainnya adalah “family gathering”, atau terapi keluarga untuk menjembatani komunikasi antara anggota keluarga dengan pasien.
Video Viral, Jadi Influencer Kesehatan Mental
Keresahan Yova terhadap orang-orang yang membuat lelucon soal kesehatan mental dan rumah sakit jiwa membuatnya tergerak untuk mengunggah konten-konten seputar pengalaman pribadinya sebagai penyintas kesehatan mental di akun media sosialnya. Ia tidak menyangka video-videonya menjadi viral.
Ia pun masih konsisten membahas isu kesehatan mental di platform daringnya. “Aku enggak mau sekadar viral sekali, dua kali doang. Aku mau masyarakat tuh bisa teredukasi tentang kesehatan mental lewat video-video aku, dan mungkin bisa juga memotivasi dan menginspirasi orang-orang yang mungkin pernah senasib sama aku, atau lagi ngerasa down banget,” jelasnya.
Kepercayaan diri untuk tampil di depan kamera, kefasihan berbicara, serta konten-konten yang relevan dengan audiens membuat namanya semakin dikenal di dunia maya. Topik yang ia angkat di akun media sosialnya beragam, mulai dari pengalamannya dirawat di rumah sakit jiwa, cara konsultasi ke psikiater memakai BPJS Kesehatan, hingga video yang menggambarkan fase depresi yang melandanya selama memiliki gangguan bipolar. Hingga berita ini diturunkan, ia telah memiliki 179 ribu pengikut di akun TikTok dan 28 ribu pengikut di Instagram.
Viralnya konten video Yova pada awal tahun 2021 bertepatan dengan masa ketika ia mempersiapkan sebuah acara dengan tema kesehatan mental sebagai bagian dari tugas kuliahnya. Acara itu berjudul “Patahkan Stigma Kesehatan Mental Indonesia” atau PASTI, yang salah satu agendanya berupa webinar nasional.
Antusiasme publik yang tinggi terhadap PASTI memotivasinya untuk mengembangkan platform daring pasti.id yang ramah bagi para penyintas kesehatan mental. Salah satu jenis konten pasti.id adalah edukasi, misalnya tentang penyalahgunaan istilah “orang gila” yang masih kerap digunakan masyarakat untuk menyebut seseorang dengan gangguan kesehatan mental. Padahal, kini ada istilah ODGJ (orang dengan gangguan jiwa) atau ODMK (orang dengan masalah kejiwaan), sesuai penamaannya dalam Undang-undang Kesehatan Jiwa No.18 tahun 2014.
Pascapandemi COVID-19, pasti.id juga mengadakan kegiatan tatap muka pada 2022 berupa seminar berjudul “Memanusiakan Manusia” dan kunjungan ke Panti Sosial Binawaras Harapan Sentosa III.
Maria Partika Widi adalah salah satu relawan pasti.id yang telah bergabung sejak tahun lalu. Meskipun bukan penyintas gangguan mental, mahasiswi jurusan sosiologi di Universitas Indonesia itu tertarik pada isu kesehatan mental sejak meneliti efek pandemi COVID-19 terhadap kondisi mental dan tingkat stres mahasiswa bersama teman-temannya.
Selama bergabung dalam komunitas yang beranggotakan sekitar 60 orang itu, ia terkesan akan perjuangan sesama relawan. “Dari yang aku lihat baik-baik aja, ternyata punya cerita-cerita yang keren di balik itu. Mereka yang berusaha untuk tetap bertahan, walaupun kayaknya kalau aku yang ngalamin itu, aku enggak bakal kuat. Tapi ternyata mereka sekuat itu, bisa jadi refleksi untuk diriku sendiri sih sebenarnya; untuk lebih tangguh, resilient lagi dalam menghadapi lika-liku kehidupan,” paparnya.
Memaknai Kesehatan Mental
Menurut survei lembaga Ipsos per September 2023 terhadap para responden dari 31 negara, termasuk Indonesia, kesehatan mental menjadi salah satu masalah kesehatan yang paling dikhawatirkan masyarakat saat ini.
Namun demikian, dr. Nikensari melihat bagaimana pembahasan mengenai kesehatan mental cenderung diidentikkan dengan “orang sakit jiwa”. “Kalau dengar kata itu, kalau dilihat dari gestur (lawan bicara) sudah ‘deg’, gitu. Padahal kalau kita memaknai kata ‘sehat’ sudah sangat jelas definisnya itu bahwa makhluk hidup itu, khususnya manusia, ada unsur fisiknya dan ada unsur psikisnya. Keduanya adalah esensi yang paling dasar,” paparnya.
Ia pun tidak memungkiri masih ada stigma pada penjenamaan “rumah sakit jiwa” atau RSJ yang menghantui komunitas pekerja dalam bidang kesehatan jiwa. “Sering saya diskusi dengan para pengelola RSJ di seluruh Indonesia. (Mereka berpendapat) ‘Wah, RSKD Duren Sawit masih enak ya, namanya enggak ada jiwa-jiwanya,’” tuturnya. Menurutnya, perubahan penjenamaan memang mengurangi, namun tidak lantas mematahkan stigma yang ada, karena kemampuan mengelola fasilitas kesehatanlah yang berperan penting dalam hal itu.
Di samping itu, ia pun menekankan pentingnya tindakan preventif, yaitu mengenali tanda-tanda gangguan kesehatan mental sedini mungkin, yang juga disertai dukungan keluarga. Pasalnya, ia mengamati banyak keluarga yang terlambat mengenali adanya gangguan kesehatan mental pada anggota keluarganya dan pergi ke fasilitas pelayanan kesehatan mental ketika kondisi pasiennya sudah parah.
Berkaca pada pengalamannya, Yova menambahkan pentingnya mengidentifikasi perasaan diri. “Mungkin buat kamu yang masih belum berani untuk datang ke ahli, psikiater atau psikolog, kalian jangan memungkiri perasaan apa pun yang sedang kalian rasakan,” ungkapnya.
Yova berpesan agar setiap orang dapat merangkul segala jenis emosi, termasuk emosi negatif, yang mereka rasakan, seperti rasa sedih, amarah, dan kecewa. Menurutnya, perasaan-perasaan tersebut perlu dikenali dan divalidasi sebagai langkah pertama merawat kesehatan mental. [br/ka]