Tidak banyak yang tahu, kalau sosok Dr. Imam Santoso ST., M.Phil, pakar metalurgi dan dosen Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan di Institut Teknologi Bandung ITB, pernah hidup susah. Sehari-hari ia selalu tampil bersemangat dan gembira. Saat mengajar di kelas, ia memilih menggunakan contoh-contoh nyata dari kehidupan sehari-hari, termasuk saat mengajar “ilmu berat” seperti kalkulus, fisika dan kimia.
“Flash converting ini menghasilkan tembaga blister berkadar tembaga 98 persen yang harus diolah lagi sampai jadi tembaga dengan kemurnian tinggi. Teknologi double flash ini adalah teknologi yang dipakai smelter PT Freeport di Gresik,” ujarnya dengan suara bersemangat saat mengajar di kelas. Ia tidak hanya berdiri di depan, tetapi juga berkeliling ke tempat-tempat duduk mahasiswa.
Diwawancarai VOA, anak Jember ini mengatakan “sejak kecil saya percaya bahwa pendidikan adalah cara terampuh untuk mengubah kehidupan. Saya, sejak kecil tinggal bersama nenek di rumah bambu, berlantai tanah, yang kalau hujan akan bocor, banjir, dan sering ada tikusnya. Kami sangat miskin. Ayah saya tidak bisa membaca. Tapi nenek saya selalu bilang, kamu harus sekolah tinggi jadi (hidup) lebih baik, dan saya sangat percaya itu.”
Berbekal konsep “pendidikan adalah cara terampuh mengubah kehidupan,” saat masih di tingkat dua jurusan Metalurgi, Imam sudah kembali ke Jember dan merambah ke kota-kota di sekitarnya untuk mencari anak-anak muda yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi tetapi menghadapi beragam kendala, mulai dari keluarga, finansial, atau lingkungan yang tidak mendukung.
“Saya masih mahasiswa miskin ketika saya memberanikan diri kembali pulang kampung, mendatangi SMA-SMA, tanya sama guru-guru di sana jika ada anak-anak pintar yang sebenarnya bisa masuk ITB, UI, UGM, tapi surut langkah. Saya jemput bola. Dan entah kenapa anak-anak itu percaya sama saya. Ada anak TKW, ada anak buruh tani, macam-macam. Ketika mereka juga percaya bahwa pendidikan bisa mengubah kehidupan dan giat belajar, terbukti mereka mampu bersaing dengan anak kota, dapat beasiswa untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri dan kini sukses besar," jelasnya.
"Lulus dari kampus-kampus top di Inggris, di Australia, di Jepang. Mereka kini tidak saja sukses dalam kehidupannya, tapi juga menjadi agent of change. Terus mereka menjemput bola lagi. Ajak anak-anak pintar di kampung-kampung lainnya, terutama dari daerah-daerah di mana mereka berasal, untuk sekolah. Jadi memang harus sejak kecil ditanamkan konsep bahwa pendidikan itu penting!,” imbuh Imam.
Pentingnya “Jemput Bola”
Imam Santoso, yang dalam waktu singkat menyelesaikan studi di jurusan Metalurgi ITB, melanjutkan S2 di University of Queensland, Australia, dan S3 di Aalto University di Finlandia, sadar betul bahwa setiap anak, terlebih yang tinggal di pedalaman, menghadapi banyak kendala untuk sekolah tinggi.
Untuk itu saat “menjemput bola,” ia langsung mencarikan cara untuk mengatasi kendala itu. Misalnya dengan memberikan atau mencarikan bimbingan belajar di sekolah atau tempat lain untuk mereka yang tidak dapat fokus belajar di rumah karena faktor keluarga atau lingkungan. Atau mencarikan informasi dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendapat beasiswa, misalnya lewat program BIDIK MISI dan/atau program LPDP.
BIDIK MISI adalah suatu program pemerintah yang ditujukan bagi lulusan SMA atau sederajat yang memiliki potensi akademis baik tetapi menghadapi keterbatasan ekonomi untuk menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sementara program beasiswa LPDP adalah program beasiswa yang pengelolaannya di bawah Kementerian Keuangan, khusus untuk program Magister atau S2 dan program Doktor atau S3, di dalam dan luar negeri.
Imam: Tak Semua Orang Tahu ada Program Beasiswa
Imam mengatakan meskipun ada banyak beasiswa dari pemerintah dan pihak swasta, tidak semua orang mengetahui program-program beasiswa seperti ini, dan kalau pun tahu seringkali mereka surut langkah karena khawatir dengan biaya dan kerumitan proses pendaftaran.“Belum lagi jika sehari-hari mereka dihadapkan dengan masalah riil di depan mata, misalnya ayah ibu suka rebut karena bercerai, atau kemiskinan, atau karena pubertas yang suka bikin galau,” sebutnya.
Ia mencontohkan dua siswa yang dibantunya dan kini mulai memetik hasil jerih payah mereka. “Ada Latif, yang anak pinter banget. Ibunya TKW. Ia sempat maju mundur, apalagi sempat ketolak beasiswanya. Tapi kita revisi lagi surat permohonannya. Alhamdulillah sekarang Latif mau lulus S3 dari salah satu kampus terbaik di Jepang," kata Imam.
"Ada juga Mancho, yang mengetahui nama saya dari Facebook. Dia sebenarnya anak Jakarta, tapi galau gitu. Mencoba mengenal saya lewat Facebook. Eh pas mengenalkan diri pake loe, gue, gak sopan banget! Ya saya cuekin, gak saya respon. Apalagi saya sedang studi di Finlandia. Tapi dia tidak pantang menyerah, enam tahun dia hunting saya di medsos, dan setelah ketemu di Bandung, saya merasa bersalah juga. Saya ajari ubah mindset, bahwa ia harus sekolah ke luar negeri, saya ajarin bikin surat permohonan beasiswa, saya ajari wawancara. Sekarang dia kerja dengan Ibu Risma. Waktu kemarin Bu Risma mau ke Prancis, dia yang buat PPT-nya. Dia jadi semacam asisten menteri gitu.. Hahahaha,” lanjutnya.
Jadi “Agent of Change” Bagi Anak Pintar Lain
Abdul Latif, anak Garut yang disebut-sebut tadi, saat ini sedang menyelesaikan disertasi doktor di Tokyo Institute of Technology di Sapporo, Jepang.
“Jujur mungkin ini takdir juga.. Sewaktu bapak ibu menjadi ART (asisten rumah tangga.red) dan bekerja di Bandung, mereka selalu bermimpi punya anak yang lulus ITB. Mereka hanya bisa mimpi karena menyadari bahwa mereka sendiri tidak lulus SD. Saya sendiri sejak kecil sangat kagum dengan Pak Habibie dan berharap suatu hari nanti bisa jadi seperti dia. Saya suka baca RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap atau buku tentang kumpulan data, fakta dan informasi populer di dunia.red) yang ada di perpustakaan sekolah dan lihat nama Habibie sebagai bapak teknologi. Ibu saya yang bilang Pak Habibie itu doktor, lalu saya bercita-cita jadi doktor juga," paparnya.
"Sayangnya saya baru ketemu Mas Imam di tingkat tiga ITB setelah ia kembali ke Indonesia. Coba kalau dari awal… hehehehe…. Saya dengar dari teman-teman kalau Mas Imam itu akan support anak yang serius penelitian. Bisa diajak bicara terbuka. Suka mendengar. Sewaktu ketemu, saya langsung ajukan beberapa proposal penelitian yang didukungnya,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Bangkit Ausamapta Harvin, yang siap melanjutkan studi ke Amerika awal tahun depan.
“Ibu saya hanya lulusan SMP dan dia terpaksa ke Jakarta untuk bekerja apa adanya karena adiknya banyak. Sementara ayah saya lulusan SMK yang juga nekad ke Jakarta dengan modal seadanya. Melihat kegigihan kedua orang tua saya yang bekerja keras tanpa bantuan siapa pun, tanpa priviledge, untuk punya penghidupan lebih baik, saya jadi merasa malu. Masa’ saya yang lahir di Jakarta malah gak bisa sekolah lebih tinggi. Apalagi saya punya adik, masa’ saya tidak bisa menjadi contoh buat dia," jelasnya.
"Waktu SMA saya nekad ikut daftar beasiswa ke Turki, waktu itu baru kenal Mas Imam lewat Facebook dan dia suka lama jawabnya, saya gak punya pandangan sama sekali bagaimana menjalani wawancara dengan orang asing, jadi kacau lah. Saya gagal dapat beasiswa. Tapi saya coba terus menghubungi beliau sampai dapat. Saat ini sudah lulus beasiswa S1, tapi sedang menunggu pengumuman apakah saya akan ke Harvard atau NYU,” imbuh Harvin.
Tak hanya membantu saat anak-anak bimbingannya membutuhkan dukungan, Imam juga akan ikut bergembira ketika mereka lulus kuliah dan merayakannya.
Anggota DPR Dukung Langkah “Jemput Bola”
Dr. Endang Setyawati Thohari, angggota DPR RI dari Jawa Barat mengatakan sangat mengagumi upaya “jemput bola” yang dilakukan tanpa menunggu gerakan pemerintah.
“Saya sangat mendukung sekali gerakan masyarakat sipil yang turun ke bawah untuk ikut mencari generasi muda yang berprestasi untuk ditingkatkan pengetahuannya agar lebih berguna. Saya sangat appreciate dan terkesan dengan gerakan warga yang langsung datang ke pelosok-pelosok daerah ini.”
Imam: Kita Harus Maju, Tak Perlu Tunggu Pemerintah
Imam Santoso, dan kini ratusan anak yang didorongnya untuk menempuh pendidikan tinggi, bertekad menyebarluaskan mekanisme “jemput bola” dengan mendatangi langsung daerah-daerah yang menyimpan potensi anak-anak muda berbakat, untuk mendorong mereka melanjutkan pendidikan lewat jalur beasiswa di dalam dan luar Indonesia, tidak saja untuk meningkatkan keahlian tetapi juga memperluas wawasan dan bersaing di dunia kerja yang makin kompetitif.
“Kalau kita hanya menunggu pemerintah, 'gak bakal maju! Pemerintah itu banyak urusannya. Kita yang tahu informasi soal beasiswa, soal sekolah bagus dan kita juga yang tahu betapa banyaknya anak di berbagai penjuru Indonesia yang luar biasa pintar dan berbakat tapi gak punya jaringan, hidupnya selalu dililit persoalan “warisan” orang-orang di sekitarnya. Kita yang harus menjadi jembatannya. Kita sambungkan antara anak-anak ini dengan program-program beasiswa yang seringkali kuotanya tak terbatas. Kita harus jadi agent of change. Yakinlah mereka akan melakukan hal yang sama kelak!,” ujar Imam penuh semangat.
Imam tidak dapat mengingat berapa banyak siswa yang telah dibantunya. “Baru ratusan,” ujarnya merendah. Tetapi menurut Bangkit Ausamapta Harvin, yang mengelola akun-akun sosmed Imam beberapa tahun terakhir ini, lebih dari 8,5 juta orang mencari informasi lewat media itu. “Kami tidak pernah mendata, tapi yang pasti setiap anak yang dibantu akan melakukan hal yang sama dengan Mas Imam. Membantu anak-anak pintar lain di kampung mereka.”
Perbincangan penuh semangat dan inspirasi bersama Imam Santoso, Latif dan Harvin dapat disimak di ICYMI VOA Siaran Indonesia mulai hari Jumat 3 Mei. [em/jm]