Jejak panjang kiprah perempuan Indonesia sebenarnya bisa digali sejak zaman kerajaan. Misalnya di Kasultanan Mataram, yang sudah berdiri sejak 1755. Sebagai kasultanan Islam, peran perempuan di tingkat kerajaan relatif terbatas, meski bukan berarti tidak ada sama sekali.
Putri Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, menyebut sejak masa sebelum perang Diponegoro, perempuan di keraton telah berperan besar, bahkan hingga di medan perang. Perang Diponegoro sendiri berlangsung mulai 1825-1830.
“Permaisuri Sri Sutan Hamengkubuwono I, yaitu GKR Ageng, beliau seorang panglima perang. Beliau juga menghasilkan karya tulis, yang kemudian dirampas Raffles. GKR Ageng berperan juga mendidik Pangeran Diponegoro, jadi beliau berperan besar dalam perang Jawa,” kata Hayu, dalam diskusi Kepemimpinan Perempuan di Sektor Publik dan Privat, yang diselenggarakan Fisipol UGM, Senin (18/4).
BACA JUGA: Perempuan, Agen PerdamaianKeraton Yogyakarta bahkan pernah memiliki pasukan khusus pengamanan bagi Sultan yang disebut sebagai prajurit Langen Kusumo. Personelnya adalah para perempuan, yang direkrut dari putri para pejabat daerah. Sayang, pasukan khusus ini dibubarkan pada era HB II. Di era kolonialisme Belanda, peran perempuan di Mataram berangsur hilang. Permaisuri raja bahkan sebatas berperan sebagai pengatur busana.
“Pada masa Eyang HB IX, abdi dalem di keraton yang mengurusi divisi strategis, seperti aset dan pertanahan itu semua laki-laki. Perempuan hanya jadi abdi dalem Keparak, yang lebih ke tugas-tugas domestik,” tambah Hayu.
Bagi mereka yang pernah berkunjung ke keraton, tentu berkesempatan menyaksikan sendiri perbedaan tugas semacam ini. Abdi dalem yang bertugas menjaga keamanan, seluruhnya laki-laki. Sementara abdi dalem perempuan, antara lain bertugas dalam prosesi pengantaran minuman bagi Sultan.
Namun, Hayu menegaskan adanya perubahan signifikan pada era Sri Sultan Hamengkubuwono X.
“Kami berlima, S1-nya harus di luar negeri. Kami diberi tanggung jawab untuk memimpin lembaga dan divisi di dalam keraton. Jadi posisi yang dulu masih kebanyakan diisi laki-laki, sekarang karena pimpinannya perempuan, maka otomatis terisi juga dengan abdi dalem perempuan di dalamnya,” lanjut Hayu.
Birokrasi Berubah
Pada tingkat nasional, sektor layanan publik di Tanah Air juga terus bergerak memberi ruang lebih luas bagi perempuan. Meskipun, kata Safira Machrusah, jumlahnya belum signifikan. Safira adalah mantan duta besar RI untuk Aljazair, periode 2016-2020.
“Sepertinya ini, memang sudah ada perkembangan, tetapi masih sangat belum signifikan kalau dihitung di tataran internasional,” ujar Sarifa.
Safira mengingatkan, Indonesia pernah dipimpin oleh presiden perempuan, yaitu Megawati Soekarnoputri. Dari tahun ke tahun, jumlah perempuan yang terjun ke politik atau menduduki jabatan publik juga terus bertambah. Jumlah perempuan yang menjadi calon pemimpin daerah, misalnya, naik dari 94 pada 2018 menjadi 149 pada 2020.
“Ibu Puan Maharani, sekarang ini satu-satunya perempuan yang menjadi ketua DPR RI, setelah sebelumnya tidak ada sama sekali,” tambah Sarifa.
Presiden Joko Widodo juga menempatkan sejumlah perempuan pada posisi menteri yang dulu kerap diisi laki-laki. Bukan hanya sebagai menteri sosial atau pemberdayaan perempuan, saat ini menteri perempuan juga ada di Kementerian Keuangan, Kementerian Luar Negeri dan Kementerian LHK. Di kabinet sebelumnya, Susi Pudjiastuti juga menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan.
Posisi duta besar, ketika Safira masih bertugas ada 12 perempuan menjabat sebagai duta besar dari 94 kedutaan yang ada.
BACA JUGA: Mengapa Perempuan Tak Kunjung Capai Kuota 30% di DPR?Safira menyebut sejumlah karakter perempuan yang sebenarnya mendukung kiprah mereka pada jabatan publik. Salah satunya, adalah kemampuan membangun relasi, di mana pemimpin perempuan secara konsisten dinilai lebih tinggi daripada laki laki.
“Karena memang nature-nya punya kemampuan untuk membangun relasi dengan cara perempuan. Sehingga ketika ada hal-hal yang sifatnya kritikal, dengan pendekatan-pendekatan relasi yang dibangun oleh perempuan, umumnya jauh lebih berhasil daripada yang dilakukan laki-laki,” tambah Safira.
Sektor Swasta Berbenah
Di sektor swasta, ada sejumlah perusahaan yang menunjukkan keberpihakan cukup baik dalam isu ini. Salah satunya adalah PT HM Sampoerna, yang kini berada di bawah Philip Morris International.
Elvira Lianita, Direktur Hubungan Eksternal Sampoerna meyakini, kehadiran perempuan mampu mendorong pertimbangan menyeluruh dari berbagai aspek.
“Inilah kenapa keputusan perempuan untuk makin berperan baik di sektor publik maupun swasta, sangat dipertimbangkan. Karena bukan saja ini langkah yang tepat, tetapi secara riset membuktikan pencapaian yang dihasilkan akan lebih baik jika keberadaan perempuan lebih setara dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Dalam kesetaraan gender, Indonesia ada di peringkat 101 dari 156 negara. Sementara riset lembaga buruh internasional ILO pada 2020 menyebut hanya delapan persen perusahaan di Indonesia yang memiliki dewan direksi perempuan. Riset yang sama juga menyebut, di sektor swasta perempuan mengalami kesenjangan gaji 20-23 persen.
Berkiprah di perusahaan swasta sejak 1995, Elvira menyebut ada sejumlah tantangan bagi perempuan dalam karirnya. Pertama, tentu adalah bias gender. Perempuan juga sering dinilai tidak memiliki kemampuan sama pada bidang yang didominasi laki-laki. Perempuan memiliki beban membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga, serta butuh dukungan lingkungan kerja yang ramah.
Your browser doesn’t support HTML5
Perempuan, secara umum rentan posisinya di dalam perusahaan.
“Pekerja perempuan memilliki kerentanan dua kali lipat dibanding laki-laki, ketika sampai pada keputusan jika ada PHK,” tegasya.
BACA JUGA: Satu Tujuan Lagi, Pilot Remaja akan Selesaikan Penerbangan Solo Keliling DuniaSampoerna mencatatkan kesetaraan gender hampir lebih dari 39 persen pada level manajemen maupun pemimpn puncak. Akhir tahun ini, angkanya akan mencapai 40 persen. Di dewan direksi, komposisi perempuan bahkan sudah 50 persen. Perusahaan ini juga menerapkan kesetaraan dalam kompensasi dengan pengakuan secara internasional.
“Tidak ada kesenjangan kompensasi, baik bagi laki-laki dan perempuan untuk posisi yang sama, pekerjaan yang sama, dan level yang sama,” tambah Elvira. [ns/ab]