Jelang COP26, Jokowi Tegaskan Komitmen Indonesia Atasi Krisis Iklim

Isyarat Presiden Joko Widodo saat wawancara dengan Reuters di Istana Kepresidenan Jakarta, 13 November 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Presiden Joko Widodo akan menghadiri secara langsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim atau COP26 di Glasglow, Skotlandia, pada 1-2 November. Menjelang acara yang akan dipimpin langsung oleh PM Inggris Boris Johnson ini, Jokowi menegaskan posisi RI terkait isu perubahan iklim tidak berubah.

Dalam telekonferensi pers di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Jumat (29/20), Jokowi mengatakan: “Posisi Indonesia untuk isu perubahan iklim adalah sangat konsisten dan kita bekerja keras untuk memenuhi apa yang sudah kita komitmenkan. Kita tidak ingin ikut dalam retorika yang pada akhirnya tidak dapat kita jalankan."

Menurutnya, peran Indonesia dalam isu perubahan iklim sangat penting dan strategis karena merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis dan hutan mangrove terbesar di Indonesia. Karena itu katanya ia menegaskan, bahwa sudah menjadi komitmen Indonesia untuk menjadi bagian dari sebuah solusi terkait isu perubahan iklim ini.

Presiden Jokowi meninjau Bali yang akan menjadi tempat pelaksanaan G20 pada 2022. Presiden ingin ajang KTT G20 memperlihatkan kesuksesan Indonesia dalam mengendalikan pandemi COVID-19. (Foto: Courtesy/Biro Setpres)

“Isu perubahan iklim harus terus diletakkan dalam kerangka pencapaian target SDGs sehingga hasilnya akan dapat berkelanjutan,” tuturnya SGDs atau Sustainable Development adalah kesepakatan pembangunan baru yang mendorong perubahan-perubahan yang bergeser ke arah pembangunan berkelanjutan yang berdasarkan HAM dan kesetaraan untuk mendorong pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.

Presiden juga berencana untuk mengunjungi pavilion Indonesia, di mana pihaknya akan menunjukkan capaian peluang-peluang kerja sama dalam penanganan perubahan iklim. Di dalam pertemuan COP26 ini juga, Jokowi juga akan melakukan sejumlah pertemuan bilateral dan juga pertemuan bisnis dengan para pemimpin dunia bisnis Inggris yang berencana untuk berinvestasi ke Indonesia.

Asap dan uap uap dari PLTU Batubara milik Indonesia Power, di sebelah Proyek PLTU Batubara Jawa 9 dan 10 di Suralaya, Banten, 11 Juli 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan )

Kurang Ambisius

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, menilai komitmen Indonesia dalam upaya mengatasi krisis iklim kurang ambisius. Hal ini terlihat dari target Indonesia yang ingin mencapai net zero emission di tahun 2060. Padahal untuk mengupayakan kenaikan temperatur global 1,5 derajat celcius, target net zero emission tersebut harus tercapai setidaknya pada 2050.

Dalam KTT COP26 ini, katanya, ekspektasi kepada Indonesia tentu sangat besar, mengingat Indonesia berada pada posisi ke-7 dalam 10 negara pengemisi terbesar di dunia.

Leonard Simanjuntak dari Greenpeace Indonesia. (Foto: Courtesy)

“Padahal kalau kita lihat skenario yang dibangun oleh Bappenas 2045 bisa. Artinya sangat tergantung pada kemauan politiknya, tentunya kan sekarang Presiden Jokowi sampai 2024 sangat krusial waktu ini karena 2050 net zero emission itu tidak akan tercapai kalau 2030 tidak bisa setengahnya penurunan emisinya. Kita masih jauh sekali dari situ,” ungkap Leonard kepada VOA.

Ia mengatakan keadaan ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang masih akan melakukan penambahan PLTU Batu Bara dalam beberapa waktu dekade ke depan. Padahal, satu PLTU Batu Bara akan beroperasi setidaknya selama 40 tahun, yang berarti pembakaran batu bara tersebut akan mengemisi karbon lebih banyak lagi ke atmosfer.

BACA JUGA: Dicolek "Coldplay", Bagaimana Komitmen Jokowi Dalam Upaya Memerangi Krisis Iklim?

“Jadi di rencana umum pengembangan tenaga listrik terbaru yang keluar dua minggu yang lalu, itu masih ada 13,8 giga watt PLTU Batu Bara di situ yang baru mau dibangun. Padahal sains bilang tidak akan tercapai 2030 (penurunan) setengah karbon emisi kalau 80 persen dari PLTU Batu Bara yang ada di dunia ini. Itu tidak berhenti beroperasi di 2030. Indonesia punya rencana untuk meninggalkan batu bara, tetapi baru akan meninggalkan batu bara secara total di 2055, dan akan masih menambah yang baru. Jadi itu persoalan besar,” jelasnya.

Maka dari itu, menurut Leonard, Indonesia harus secepatnya melakukan transisi energi yang memerlukan keputusan politik yang sangat kuat sekali. Perubahan tersebut, katanya, harus sistemik dan fundamental sehingga keputusan politik yang kuat ini nantinya akan diterjemahkan ke dalam sebuah keputusan ekonomi, lalu dibuat suatu perundang-undangan sehingga transisi menuju ke energi baru terbarukan (EBT) akan dapat dilakukan secara masif.

Lebih lanjut ia melihat bahwa kemauan politik pemerintah yang tidak kuat untuk mengatasi krisis iklim ini, karena masih tersandera kepada kekuatan politik ekonomi para penguasa batu bara dan sawit yang cukup berpengaruh di kalangan pemerintahan.

Tongkang batu bara terlihat mengantre di sepanjang Sungai Mahakam di Samarinda, Kalimantan Timur, 31 Agustus 2019. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Political will-nya masih kurang kuat, masih kurang ambisius, karena kami mengamati bahwa tangan-tangan pemerintah ini agak terikat dengan kekuatan ekonomi politik pro status quo, yang sering kami sebut sebagai oligarki. Dan itu utamanya kalau di Indonesia penguasa-penguasa batu bara, dan sawit," katanya.

"Terlihat dari produk-produk hukum yang dihasilkan dalam beberapa tahun terakhir, misalnya UU Omnibus Law Cipta Kerja, yang memperlonggar berbagai environment safe guard yang sebenarnya gak kuat-kuat amat, kemudian revisi UU Minerba yang benar-benar mencerminkan kepentingan enam group perusahaan batu bara yang paling kuat di Indonesia,” tambah dia.

Menurut Leonard, itulah yang menyebabkan transisi energi di Tanah Air cenderung stagnan sehingga berdampak pada krisis iklim yang berpotensi menjadi krisis iklim yang permanen apabila Indonesia tidak melakukan aksi nyata untuk mengatasinya.

BACA JUGA: Transportasi, Pembangkit Listrik dan Sampah Sumber Polusi Udara di Jakarta

“Komitmen Indonesia tidak seluruhnya buruk, tapi tidak cukup ambisius untuk merespon kepada krisis iklim karena krisis iklim ini kita harus bicara sains saja. Sebagai referensi utamanya, kalau tidak bisa mencapai ukuran 2030 setengah, 2050 harus zero, sehingga kemudian di akhir abad ini kita masih bisa 1,5 derajat,” pungkasnya.

Kunjungan Kerja

Sebelum menghadiri KTT COP-26, Presiden dijadwalkan untuk menghadiri KTT G20 di Roma, Italia, pada 30-31 Oktober 2021. Di akhir acara ini Indonesia akan menerima posisi keketuaan Presidensi G20 dari Italia.

“Keketuaan Indonesia ini akan dimulai 1 Desember 2021-30 November 2022. Kegiatan G20 di bawah kepemimpinan Indonesia sudah akan dmulai Desember ini, ini merupakan sebuah kehormatan bagi kita, bagi Indonesia dan sekaligus tanggung jawab yang besar yang harus kita jalankan dengan baik,” tuturnya.

BACA JUGA: Kesetaraan dan Pemberdayaan Perempuan Jadi Isu Utama Selama RI Jadi Presidensi G20

Di sela-sela KTT G20 ini, Jokowi dijadwalkan menghadiri sebuah acara sampingan di mana ia akan menjadi pembicara dalam pertemuan yang membahas mengenai usaha mikro, usaha kecil dan peran perempuan. Menurutnya, undangan tersebut menunjukkan pengakuan dunia terhadap kebijakan keberpihakan Indonesia kepada UMKM dan peran perempuan dalam bisnis UMKM.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga dijadwalkan berkunjung ke Persatuan Emirat Arab pada 3-4 November 2021. Kunjungan bilateral tersebut merupakan kunjungan pertama Presiden di masa pandemi. Jokowi diperkirakan akan mempergunakan kunjungan tersebut untuk memperkuat kerja sama antar kedua negara terutama di bidang perdagangan dan investasi.

“Tentunya saya akan melakukan pertemuan dengan Putera Mahkota dan juga ruler of Dubai dan acara di Dubai akan saya akhiri dengan mengunjungi Dubai Expo di mana kita memiliki pavilion Indonesia,” pungkasnya. [gi/ab]