Jelang Pemilihan Presiden Sri Lanka, Keamanan Ditingkatkan di Kolombo

Petugas keamanan berjaga di luar gedung parlemen di Kolombo, Sri Lanka, di tengah krisis ekonomi negara tersebut, 16 Juli 2022. (REUTERS/Adnan Abidi)

Keamanan ditingkatkan di ibu kota Sri Lanka, Kolombo, menjelang pemilihan presiden dijadwalkan berlangsung hari Rabu (19/7), setelah pencalonan diumumkan di parlemen pada hari Selasa (18/7).

Penjabat Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe menetapkan situasi darurat, sementara protes berlanjut di negara pulau yang sedang berjuang mengatasi krisis ekonomi itu.

Wickremesinghe mengemukakan dalam pernyataan hari Senin mengenai perundingan paket dana talangan dengan Dana Moneter Internasional (IMF), tetapi IMF belum berbicara mengenai status pembicaraan itu.

Wickremesinghe mengatakan, “Perundingan telah dimulai dengan IMF untuk membangun kembali perekonomian. Diskusi juga sedang berlangsung dengan negara-negara sahabat. Runtuhnya ekonomi telah menyebabkan kerugian sangat besar. Langkah-langkah harus diambil untuk menghadapi itu.”

Presiden sementara Ranil Wickremesinghe (kanan), menyapa Ketua Hakim Jayantha Jayasuriya menjelang upacara pengambilan sumpah di Kolombo, Sri Lanka, Jumat, 15 Juli 2022. (Kantor Kepresidenan Sri Lanka via AP)

Wickremesinghe dilantik sebagai penjabat presiden menyusul pengunduran diri Gotabaya Rajapaksa pada Kamis lalu.
Ia diperkirakan menjadi salah satu kandidat utama bagi jabatan presiden.

Tetapi protes besar-besaran yang melanda negara itu juga menuntut pengunduran dirinya, dan banyak demonstran yang mengatakan mereka akan melanjutkan kampanye untuk menyingkirkannya jika ia menang.

BACA JUGA: Jelang Pemilihan Presiden, Sri Lanka Berlakukan Keadaan Darurat

Mahinda Jayasinghe, guru dan Sekjen Pusat Serikat Pekerja Nasional mengatakan, “Mereka menginginkan pemerintah yang ramah rakyat, dan mereka ingin mengubah kultur politik ini dan mereka juga ingin mengubah sistem ini, sistem ekonomi dan sosial. Dengan Ranil Wickremesinghe dan kelompok pemerintah yang sekarang ini, kami pikir kita tidak akan mencapai sasaran-sasaran ini.”

Para demonstran menuduh Rajapaksa dan keluarganya, yang menguasai pemerintahan, salah mengelola ekonomi dan melakukan korupsi.

Program Pangan Dunia PBB mengatakan krisis ekonomi Sri Lanka telah memaksa hampir 90 persen keluarga mengurangi jumlah konsumsi makanan mereka. [uh/ab]