Jelang Pemungutan Suara, Trump Gugat CBS, Ajukan Keluhan terhadap Washington Post

Republican presidential nominee Trump campaigns in North Carolina

Capres Partai Republik, Donald Trump memberi isyarat pada saat berkampanye di kota Greensboro, North Carolina, AS, 2 November 2024.

Pada minggu terakhir kampanye pemilihan presiden AS, calon presiden Partai Republik Donald Trump menggugat CBS News dan mengajukan keluhan kepada Komisi Pemilihan Umum terhadap surat kabar The Washington Post. Inilah kasus-kasus terbaru yang paling menarik perhatian publik antara mantan presiden dan outlet berita yang sering dituduhnya bias.

Trump menggugat CBS atas wawancara dengan Wakil Presiden Kamala Harris dalam program “60 Minutes” yang ditayangkan pada awal Oktober. Sebelumnya Trump juga telah setuju untuk memberikan wawancara kepada “60 Minutes,” namun kemudian mundur.

Gugatan yang diajukan di Texas pada tanggal 31 Oktober itu menuduh jaringan televisi tersebut menayangkan dua tanggapan yang berbeda dari Harris tentang perang Israel-Hamas.

Dalam sebuah pernyataan, CBS mengatakan program “60 Minutes” memberikan kutipan wawancara tersebut kepada acara CBS lainnya – “Face the Nation” – yang menggunakan bagian yang lebih panjang dari jawabannya yang disiarkan dalam program “60 Minutes.”

Namun, gugatan Trump – yang meminta juri pengadilan dan ganti rugi sebesar US$10 miliar – menuduh CBS telah melanggar undang-undang Texas yang melarang tindakan menipu dalam menjalankan bisnis.

Seorang juru bicara CBS mengatakan kepada VOA bahwa wawancara itu tidak direkayasa. Gugatan tersebut “sama sekali tidak beralasan dan kami akan melawannya dengan penuh semangat,” ujar juru bicara itu melalui email.

Your browser doesn’t support HTML5

Profil Donald Trump, Capres Partai Republik

Trump Ajukan Keluhan kepada KPU Federal AS

Pada hari yang sama Trump juga mengajukan keluhan kepada Komisi Pemilihan Umum Federal dengan menuduh bahwa The Washington Post secara ilegal memberikan kontribusi untuk kampanye Harris.

Pengaduan itu menuduh kampanye iklan media sosial yang menyoroti liputan kritis surat kabar tersebut terhadap mantan presiden Trump merupakan “kontribusi perusahaan dalam bentuk barang dan jasa yang ilegal dan pengeluaran independen di menit-menit terakhir yang tidak dilaporkan.” Perwakilan hukum Trump menuduh bahwa kampanye iklan tersebut berarti The Washington Post “bertindak seperti pemain partisan lainnya dalam proses pemilu.”

Seorang juru bicara The Washington Post mengatakan kepada VOA bahwa “postingan” yang dipromosikan di media sosial itu mencerminkan konten berkinerja tinggi dari surat kabar tersebut. “Kami yakin tuduhan yang menyatakan bahwa praktik rutin media ini tidak pantas adalah tidak beralasan,” ujar juru bicara tersebut dalam sebuah email.

Gabe Rottman, Direktur Kebijakan di Komite Wartawan untuk Kebebasan Pers, menolak kasus yang menimpa The Washington Post. “Iklan oleh organisasi berita adalah fungsi pers yang sah dan rutin dan mendapat perlindungan Amandemen Pertama yang kuat di pengadilan,” katanya kepada VOA melalui pesan teks.

Tim kampanye dan kantor Trump tidak membalas beberapa permintaan VOA untuk memberikan komentar atas tindakan hukum baru-baru ini atau catatan kebebasan pers mantan presiden tersebut untuk laporan ini.

Kekuasaan untuk Mencabut Izin Penyiaran

Donald Trump memiliki hubungan yang penuh perdebatan dengan beberapa kantor berita sejak mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2015. Ia kerap menyebut wartawan sebagai “musuh rakyat”, mengeluh di media sosial dan dalam pidatonya tentang bias ideologis dan perlakuan tidak adil terhadap suara-suara konservatif, sementara juga memperjuangkan media yang mencerminkan pandangannya.

Dia telah berjanji untuk memenjarakan wartawan yang tidak menyebutkan nama sumber rahasia dalam berita yang dia yakini memiliki implikasi keamanan nasional, dan menyarankan untuk mengubah perlindungan Amandemen Pertama agar dapat menghukum orang yang membakar bendera Amerika atau mengkritik hakim-hakim Mahkamah Agung.

Trump sebelumnya telah mengancam akan mencabut lisensi siaran CBS jika terpilih. Di platform media sosialnya, Truth Social, ia mengatakan bahwa “60 Minutes” telah “menciptakan Penipuan Terbesar dalam Sejarah Penyiaran” dan bahwa CBS harus kehilangan lisensinya karena “korup.”

Setelah debat capres pada bulan September lalu di ABC News, Trump menyerukan agar lisensi penyiaran jaringan itu dicabut atas apa yang ia gambarkan sebagai pemeriksaan fakta yang “tidak adil”.

Dan sebagai presiden, pada tahun 2017 Trump mengancam akan mencabut izin penyiaran NBC setelah outlet tersebut melaporkan perselisihan antara presiden saat itu dan penasihat militernya tentang ukuran persenjataan nuklir.

FCC Tegaskan Sikap

Dalam sebuah pernyataan pada bulan Oktober, Ketua Komisi Komunikasi Federal, yang mengeluarkan lisensi, mengatakan FCC “tidak dan tidak akan mencabut lisensi untuk penyiaran stasiun penyiaran hanya karena seorang kandidat politik tidak setuju atau tidak menyukai konten atau liputan.”

Banyak pendukung Trump memuji serangannya terhadap media, yang sebagian mencerminkan erosi kepercayaan yang tajam terhadap pers yang telah terlihat dalam sejumlah jajak pendapat publik selama bertahun-tahun.

Namun para analis media mengatakan bahwa serangan Trump menunjukkan bagaimana para pemimpin di negara-negara seperti Hungaria telah merongrong norma-norma jurnalistik.

Clayton Weimers, Kepala kantor Reporters Without Borders atau RSF di Amerika Serikat, mengatakan gugatan terhadap CBS “terlihat seperti aksi publisitas.” Namun, tambahnya, “Hal ini memperkuat ancaman yang sangat nyata yang telah dikeluarkan Trump untuk menggunakan pemerintah AS untuk menghukum media yang tidak disukainya jika dia kembali ke Gedung Putih.”

Your browser doesn’t support HTML5

Profil Kamala Harris, Capres Partai Demokrat

Trump Sering Unggah Pernyataan Anti-Media

Menjelang dan selama menjabat sebagai presiden, Trump menerbitkan lebih dari 2.000 unggahan di media sosial yang diklasifikasikan oleh U.S. Press Freedom Tracker sebagai anti-media. Setelah Trump meninggalkan Gedung Putih, retorika anti-media terus berlanjut.

Antara 1 September dan 24 Oktober, Trump secara verbal menghina, menyerang, atau mengancam media setidaknya 108 kali di depan umum, demikian temuan RSF dalam sebuah penelitian. RSF belum melakukan penelitian serupa terhadap Wakil Presiden Harris karena dia tidak membuat pernyataan anti-media semacam itu, kata Weimers.

Diwawancarai melalui telepon, Weimers mengatakan “Dengan hanya menerima hal itu sebagai bagian dari momen politik ini, saya rasa ada risiko bahwa publik Amerika telah mati rasa terhadap betapa seriusnya hal ini, betapa menyimpang, dan betapa berbahayanya hal ini di masa mendatang.”

Serangan publik Trump terhadap media sering kali sangat disukai oleh para pendukungnya. Dalam banyak rapat umum, sang kandidat sering berhenti sejenak setelah mengkritik media untuk memberikan kesempatan kepada para pendukungnya untuk mencemooh para wartawan yang hadir.

Bulan lalu, kampanye kepresidenan Trump mengirimkan kepada VOA sebuah pernyataan yang awalnya diberikan oleh juru bicara Komite Nasional Partai Republik, Taylor Rogers, kepada situs berita konservatif The Daily Caller. Dalam pernyataan itu, Rogers menggambarkan Trump sebagai “pejuang kebebasan berbicara” dan mengatakan bahwa “semua orang lebih aman di bawah Presiden Trump, termasuk para jurnalis” karena “hukum yang masuk akal.” [em/lt]