Jepang pada Minggu (24/11) menyelenggarakan upacara peringatan di dekat Tambang Emas Pulau Sado meskipun Korea Selatan memboikot acara tersebut pada saat-saat terakhir. Hal tersebut menyoroti ketegangan antara kedua negara bertetangga terkait isu tenaga kerja paksa Korea di lokasi itu sebelum dan selama Perang Dunia II.
Ketidakhadiran Korea Selatan pada peringatan yang turut mengundang para pejabat pemerintah Korea dan keluarga warga Korea yang menjadi korban, merupakan kemunduran besar dalam hubungan kedua negara yang sedang membaik dengan pesat. Sejak tahun lalu Tokyo dan Seoul telah mengesampingkan perselisihan historis mereka untuk memprioritaskan kerja sama keamanan yang dipimpin Amerika Serikat.
Berkomentar mengenai pemboikotan itu, Wali Kota Sado Ryugo Watanabe mengatakan, “Saya harus katakan bahwa ini benar-benar sangat mengecewakan, karena terlepas dari persiapan yang kami lakukan, inilah hasilnya.”
Tambang Sado pada Juli lalu tercatat sebagai lokasi Warisan Dunia UNESCO setelah Jepang melupakan perselisihan bertahun-tahun dengan Korea Selatan. Tokyo dengan berat hati mengakui riwayat kelam tambang itu, menjanjikan acara peringatan tahunan bagi seluruh korban, termasuk ratusan orang Korea yang dimobilisasi untuk bekerja di tambang-tambang.
Pada Sabtu, Korea Selatan mengumumkan tidak akan menghadiri acara, dengan mengatakan mustahil menyelesaikan perselisihan pendapat yang tidak dijelaskan antara kedua pemerintah itu tepat pada waktunya.
Keluarga orang-orang Korea yang menjadi korban kecelakaan tambang itu diperkirakan akan mengadakan upacara mereka sendiri secara terpisah di dekat tambang di lain waktu.
Masashi Mizobuchi, asisten sekretaris pers di Kementerian Luar Negeri Jepang, mengatakan, Jepang telah berkomunikasi dengan Seoul dan menyebut keputusan Korea Selatan itu “mengecewakan.”
BACA JUGA: Kapal Berisi Jasad Diduga dari Korea Utara Ditemukan di JepangUpacara peringatan berlangsung sesuai rencana pada hari Minggu di sebuah fasilitas di dekat pertambangan, di mana lebih dari 20 kursi untuk hadirin asal Korea tetap kosong.
Tambang dari era abad ke-16 di Pulau Sado itu dioperasikan selama hampir 400 tahun sebelum ditutup pada 1989 dan pernah menjadi produser emas terbesar dunia.
Para ahli sejarah mengatakan sekitar 1.500 orang Korea dimobilisasi ke Sado sebagai bagian dari ratusan ribu tenaga kerja paksa Korea yang digunakan Jepang - termasuk yang dibawa secara paksa dari Semenanjung Korea – di tambang-tambang dan pabrik Jepang untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja, karena sebagian besar lelaki usia kerja Jepang telah dikirim ke medan perang di Asia dan Pasifik.
Pemerintah Jepang telah bersikukuh bahwa seluruh isu ganti rugi masa perang antara kedua negara telah diselesaikan berdasarkan perjanjian normalisasi tahun 1965.
Korea Selatan telah lama menolak dicatatnya lokasi itu ke dalam daftar Warisan Dunia dengan alasan bahwa tenaga kerja paksa Korea, terlepas dari peran penting mereka dalam produksi tambang semasa perang, tidak ditampilkan. Dukungan Seoul bagi Sado muncul sewaktu Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol memprioritaskan perbaikan hubungan dengan Jepang.
Pemerintah Jepang mengatakan upacara itu dimaksudkan untuk memberi penghormatan kepada “seluruh pekerja” yang tewas di tambang, tetapi tidak akan menyebutkan disertakannya tenaga kerja Korea – hal yang disebut para pengkritik sebagai kebijakan terus menerus untuk menutupi sejarah eksploitasi seksual dan tenaga kerja oleh Jepang sebelum dan selama perang. [uh/ab]