Joki Pendidikan Panen di Masa Pandemi

  • Arif Budiman

Seorang perempuan sedang mengetik di laptop. Pandemi ternyata membuat praktik menggunakan joki dalam tugas sekolah marak. (Foto: AP)

Pandemi COVID-19 membuat banyak pelajar kesulitan mengikuti metoda pembelajaran daring. Sebagian karena belum terbiasa dengan sistem belajar jarak jauh, sebagian lainnya karena gagap teknologi. Banyak di antara mereka memanfaatkan joki pendidikan untuk memenuhi tugas, dan bahkan mengikuti ujian.

“Awalnya iseng saja cari tambahan uang jajan, eh ternyata malah keterusan karena dapat banyak tambahan uang.”

Begitu Sutan, bukan nama sebenarnya, menceritakan awal mulanya menjadi joki. Mahasiswa sebuah perguruan tinggi terkemuka di kawasan Jabotabedek ini mengatakan saat pemerintah mulai memberlakukan sistem pembelajaran jarak jauh pada Maret 2020, ia banyak dimintai tolong oleh teman-temannya. Bantuannya itu ternyata membuatnya kebanjiran hadiah – dan bahkan uang – dari teman-temannya.

“Wah saya pikir, kenapa saya tidak jadikan ini bisnis. Tugas kuliah memang cukup merepotkan, tapi saya masih punya banyak waktu," katanya.

Seorang pria mengetik di keyboard sebagai ilustrasi. Pandemi meningkatkan permintaan jasa joki dalam bidang pendidikan.(Foto: REUTERS/Steve Marcus)

Sutan tidak menampik bahwa apa yang dilakukannya sesungguhnya sulit dibenarkan. Namun, mahasiswa dengan indeks prestasi akademis selalu hampir sempurna ini juga mengatakan ia perlu membiayai kuliahnya, dan bahkan keluarganya. Ayahnya kehilangan pekerjaan tidak lama setelah pandemi melanda Indonesia. Sutan mengaku kliennya tidak hanya mahasiswa, tapi juga pelajar SMA dan SMP.

Sutan juga mengatakan, tidak semua kegiatan joki yang dilakukannya berdampak negatif terhadap para pelajar yang dibantunya. Menurutnya, ia tak jarang membantu mereka meringkas pelajaran sekolah sehingga mudah dipahami para kliennya.

Sutan hanyalah satu dari ratusan atau bahkan ribuan orang yang memanfaatkan peluang menguntungkan di masa pandemi. Keterbelakangan atau gagap teknologi di kalangan murid dan guru, membuat permintaan akan eksistensi mereka meningkat.

Komunikasi digital yang kian populer di kalangan masyarakat juga memudahkan mereka beraksi. Di semua media sosial, kini dengan mudah bisa ditemukan orang-orang yang menawarkan bantuan mulai dari menghadiri kelas atau ruang kuliah online, menyelesaikan tugas sekolah, mengikuti ujian, dan bahkan menyusun skripsi atau tesis. Mereka bahkan tak sungkan mengungkap nomor telepon Whatsapp yang bisa dihubungi di media-media sosial.

Seorang delegasi pertemuan Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IDB) berjalan di depan logo-logo media sosial di Jakarta Convention Center, Jakarta, 16 Mei 2016. (Foto: Reuters)

Hendra, juga bukan nama sebenarnya, bahkan tidak bekerja sebagai joki sendirian. Ia punya jaringan yang terdiri dari para mahasiswa dan pelajar SMA. Ia umumnya bertugas menerima order, dan kemudian mendistribusikannya ke kolega-koleganya.

“Joki-joki itu tidak menguasai semua mata pelajaran. Jadi kami bagi-bagi tugas. Ada yang senang mendapat order matematika, ada yang senang menerima order kimia. Pokoknya macam-macam," ujar Hendra.

Hendra mengaku sebagai agen joki, ia bisa mendapatkan pendapatan tambahan hingga belasan juta rupiah setiap bulan. Pendapatan terbesar biasanya diperoleh menjelang akhir semester, sewaktu tugas-tugas sekolah bertumpuk dan ujian berlangsung.

Sutan membenarkan bahwa pekerjaan sebagai joki cukup menguntungkan. Ia sendiri bisa mengumpulkan uang Rp4 hingga Rp6 juta setiap bulan, dan sekitar Rp7 hingga Rp10 juta menjelang akhir semester.

BACA JUGA: Mencegah Generasi Hilang pada Sektor Pendidikan Akibat Pandemi

Hendra dan Sutan sama-sama mengatakan, joki dan kliennya, harus pandai-pandai menjaga kerahasiaan. Tak heran komunikasi antara joki dan klien sering tidak sepenuhnya terbuka. Joki terkadang tidak tahu siapa yang mereka bantu, begitupun halnya orang yang dibantu tidak mengetahui siapa jokinya.

“Prinsipnya, kita sama-sama paham. Kalau urusan ini terbongkar, mereka bisa diberhentikan dari sekolah atau kena tindakan administrasi. Kalau identitas joki terungkap, wah kita bisa tersandung hukum," katanya.

Tina, bukan nama sebenarnya, mengaku membatasi kegiatannya sebagai joki. Ia hanya menawarkan jasa menghadiri kelas online untuk meringkas pelajaran sekolah dan kemudian memberikan bimbingan atau tutorial pada kliennya. Ia mendapatkan pemasukan sekitar Rp500 ribu setiap bulan.

Mahasiswa S-1 Sistem Informasi ini memulai karier jokinya sejak awal pandemi, tetapi kemudian serius menggelutinya ketika memasuki semester keenam masa kuliahnya. Menurutnya, pekerjaannya sebagai joki tidak merugikan para pelajar yang dibantunya, melainkan meningkatkan pemahaman akan mata pelajaran yang harus mereka ikuti.

Seorang mahasiswa tahun pertama, memulai pembelajaran online dari rumah menggunakan ponselnya sebagai ilustrasi. (Foto: AFP)

Sebetulnya, tidak hanya mahasiswa atau pelajar yang kesulitan uang yang terjun dalam bisnis joki. Banyak warga yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) terkait pandemi juga memanfaatkan peluang ini.

Dewanto, bukan nama sebenarnya, pegawai sebuah perusahaan pakaian di kawasan Puncak, adalah satu di antaranya. Sejak diberhentikan karena program perampingan perusahaannya, pria berusia 26 tahun itu memperlakukan joki sebagai pekerjaan utama. Ia tidak hanya menerima para pelajar sebagai klien, tapi juga orang-orang yang bukan pelajar. Lulusan perguruan tinggi terkemuka di Bandung ini juga menawarkan jasa membuat CV (curriculum vitae), surat lamaran kerja dan lain-lain.

Jasa Dewanto ditawarkan lewat Twitter dan Instagram. Pria yang mengaku pandai berbahasa Inggris ini sesumbar bisa membuat CV dalam bahasa Inggris yang bisa membuat perusahaan tertarik untuk merekrut. Ia tak sungkan bekerja tanpa kenal waktu demi membiayai hidup bersama istri dan seorang anaknya yang masih bayi.

Your browser doesn’t support HTML5

Joki Pendidikan Panen di Masa Pandemi

Sutan, Hendra dan Dewanto sama-sama mengakui bahwa pekerjaan mereka sebagai joki menawarkan tantangan mental.

“Sementara beberapa menganggap kami sebagai penyedia layanan profesional, yang lain mencaci maki kami. Mereka menganggap kami membuat para pelajar malas. Tak sedikit orang men-DM saya, dan mencaci maki," ujar Sutan.

Dianka, bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswi S-1 di Jakarta, mengaku menggunakan layanan joki untuk membantu pemahaman mata kuliahnya. "Jadi saya bisa fokus pada tugas lain yang bisa saya lakukan tanpa joki. Tapi, saya agak menyesal sih karena sekarang saya merasa tidak memiliki cukup pengetahuan dalam mata pelajaran itu," katanya.

Supriyoko, Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. (Foto: Dok Pribadi)

Supriyoko, seorang pakar pendidikan yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, menyayangkan maraknya bisnis perjokian di bidang pendidikan di Indonesia. Menurutnya, fenomena ini muncul karena ketidaksiapan dunia pendidikan nasional dalam memberlakukan pendidikan daring. Ia mengatakan. sementara banyak guru dan murid yang gagap teknologi, sistem pendidikan Indonesia masih sangat terfokus pada sistem pembelajaran tatap muka yang konvensional.

“Ini kekurangan pendidikan daring. Ada guru yang tidak tahu kalau siswanya tidak aktif. Bahkan ada guru yang tidak tahu bahwa siswanya tidak ikut. Lalu ada guru yang tidak tahu bahwa siswanya tidak fokus pada pembelajaran. Karena, kalaupun menggunakan Google Meet, misalnya, wajahnya diperlihatkan tapi ia mengerjakan pekerjaan lain," katanya.

Mantan sekretaris Komisi Nasional Pendidikan ini mengatakan, joki pendidikan seharusnya diberantas karena merugikan proses pembelajaran.

Suyanto, mantan rektor Universitas Negeri Yogyakarta. (Foto: Dok Pribadi)

Namun, mungkinkah itu dilakukan? Suyanto, pakar pendidikan yang pernah menjabat sebagai rektor Universitas Negeri Yogyakarta meragukannya, mengingat tingginya permintaan akan joki pendidikan di masa pandemi.

“Harus! Tapi apakah itu bisa? Persoalannya kan begitu. Itu akibat adanya demand. Kalau ada demand, sesuai hukum pasar, apapun terjadilah," kata Suyanto.

Supriyoko dan Suyanto sama-sama sepakat bahwa untuk bisa memberantas joki pendidikan, infrastruktur pembelajaran daring harus diperbaiki, termasuk pemerataan akses internet yang handal, pengadaan perangkat teknologi bagi siswa miskin, dan peningkatan kemampuan teknologi komunikasi untuk siswa dan guru. [ab/uh]