Presiden Joko Widodo menyatakan mendukung kebijakan kenaikan harga tarif tiket masuk Taman Nasional Komodo menjadi Rp3,75 juta yang berlaku mulai 1 Agustus.
Jokowi menjelaskan, kenaikan harga tiket tersebut merupakan upaya pemerintah untuk menjaga kelestarian kawasan konservasi dan menjaga perekonomian agar tetap tumbuh lewat kedatangan para wisatawan. Saat ini tiket harga masuk ke taman nasional tersebut hanya dibanderol di Rp150.000.
Lebih jauh, ia menuturkan bahwa di Labuan Bajo, Komodo ini tersebar di beberapa pulau, yakni Pulau Komodo, Pulau Padar dan Pulau Rinca. Setelah dilakukan pembicaraan, telah diputuskan bahwa wilayah konservasi akan bertempat di Pulau Komodo dan Pulau Padar.
“Yang untuk wisatawan diberikan Pulau Rinca sehingga ini kita benahi untuk wisatawan dan juga untuk komodonya. Komodo di Pulau Rinca, dan di Pulau Komodo itu juga komodonya sama, wajahnya juga sama. Jadi kalau mau lihat Komodo silakan di Pulau Rinca, di sini ada Komodo. Mengenai bayarnya berapa tetap. Tapi kalau mau misalkan “Pak saya pengen sekali lihat yang di Pulau Komodo” ya silahkan juga, tapi ada tarifnya yang berbeda,” jelasnya.
Ia menilai kebijakan tersebut sudah tepat, sehingga tidak ada yang perlu dipersoalkan.
“Itu sebenarnya simple seperti itu, jangan dibawa kemana-mana, karena pegiat lingkungan, pegiat konservasi juga harus kita hargai masukan mereka,” tegasnya.
Libatkan Semua Stakeholder Pariwisata
Pengamat Pariwisata Taufan Rahmadi mengatakan, mengacu kepada Global Quote of Ethic for Tourism dari UNWTO, kebijakan di bidang pariwisata harus mengacu kepada tiga hal.
Pertama, katanya, kebijakan tersebut harus bisa memastikan kelestarian daripada destinasi wisata. Kedua, harus ada keberlanjutan ekosistem yang ada di setiap destinasi pariwisata, dan ketiga terkait kesejahtreraan, yakni menyangkut masyarakat yang hidup di sekitar kawasan destinasi.
Maka dari itu, menurutnya sebuah kebijakan harus bisa mengakomodasi semua kepentingan stakeholder pariwisata, yakni tidak hanya pemerintah dan investor, tetapi juga ada masyarakat dan komunitas yang perlu diajak berbicara sebelum memberlakukan sebuah kebijakan.
BACA JUGA: Pembangunan vs Konservasi di Taman Nasional Komodo“Poin penting yang ingin saya sampaikan kepada pemerintah adalah, semoga Bapak Presiden Jokowi bisa melihat dalam segala perspektif. Ini kan masalahnya adalah merasa tidak diajak bicara, ketika masyarakat tidak di ajak bicara kan faktanya terjadi penolakan, itu fakta di lapangan terjadi penolakan. Memang ada pro kontra, ada sebagian stakeholder yang mengambil sikap mendukung ada juga yang tidak mendukung,” ungkapnya kepada VOA.
Lebih jauh Taufan menjelaskan, pariwisata ini pasti terhubung kepada segala macam bisnis yang ada di sekitarnya. Maka dari itu, satu kebijakan saja, pasti akan berdampak kepada turunan bisnis yang ada di bawahnya, sehingga menimbulkan berbagai kekhawatiran dari para agen travel, dan masyarakat sekitar yang selama ini menggantungkan hidupnya dari pariwisata ini.
“Saya melihat mereka sampai bersurat ke Presiden, ini juga perlu diberikan atensi kawan-kawan ini sehingga kebijakan terkait harga tiket Rp3,75 juta itu saran saya bisa dikaji ulang , bisa diajak bersama kawan-kawan urung rumbuk terkait hal ini," katanya.
"Sehingga apa yang menjadi kekhawatiran kawan-kawan itu bisa didengar oleh Bapak Presiden ataupun pemerintah sehingga kedua belah pihak bisa menemukan solusi bersama terkait permasalahan ini,” tambah Taufan.
Lalu apakah kenaikan tarif tiket masuk Taman Nasional Komodo hingga Rp3,75 juta ini diperlukan? Taufan menjawab sebenarnya yang bisa merumuskan besaran tarif tiket tersebut adalah merupakan kesepatan bersama antara pihak stakeholder terkait. Namun, menurut para asoasiasi maupun agen travel di Labuan Bajo harga tersebut dinilainya cukup mahal. Mereka, ujar Taufan, khawatir bahwa bisnis mereka akan semakin terpuruk.
“Saya melihat sebenarnya kawan-kawan ini dia memahami tentang pentingnya konservasi, masyarakat di sekitar lingkar Komodo itu juga merasa mereka punya tingkat kesadaran terkait menjaga destinasinya pun semakin tinggi. Yang tadinya informasinya suka melakukan kegiatan yang merusak , seperti pengeboman di sana, sekarang sudah menghindari untuk tidak melakukan itu," katanya.
"Artinya, kesadaran masyarakat di sana agar tidak merusak destinasi ada, karena periuk mereka ada di pariwisata. Jadi kalau bicara 3,7 juta itu pasti mahal artinya bagi market pariwisata itu yang selama ini mereka layani. Sehingga ada resistensi, kekhawatiran besar nanti wisatawan dari segmentasi tertentu akan mengurungkan niatnya untuk jalan-jalan ke Komodo,” ujar Taufan. [gi/ah]