Presiden Joko Widodo mengingat masyarakat dan jajaran agar tetap waspada di tengah kondisi Indonesia yang telah memasuki masa transisi COVID-19. Kewaspadaan perlu dilakukan karena kondisi global masih diliputi dengan ketidakpastian.
"Setelah PPKM kita cabut di akhir tahun 2022, masa ini adalah masa transisi. Dan kita tetap harus waspada, hati-hati dalam memutuskan kebijakan utamanya ekonomi yang sekarang ini kita berada pada posisi yang sangat baik. Kuartal ketiga berada di angka 5,72 (persen), dan year on year di tahun 2022 seperti tadi Pak Menko Airlangga menyampaikan 5,3 (persen) kalau itu tercapai saya kira sebuah prestasi yang sangat baik yang bisa kita capai," ungkap Jokowi.
Presiden mengakui bahwa tantangan dalam menghadapi pandemi bukan merupakan persoalan yang mudah. Terlebih, pada waktu yang bersamaan pihaknya juga harus menghadapi berbagai permasalahan lain yang tentunya berimbas pada perkonomian Tanah Air.
Lebih jauh Jokowi menilai, bahwa penanganan pandemi COVID-19 yang dilakukan oleh pemerintah yang mana salah satunya dengan tidak melakukan lockdown merupakan keputusan yang tepat. Menurutnya, keputusan tersebut adalah lebih kepada pertimbangan ekonomi.
"Hitungan saya, dalam dua atau tiga minggu, rakyat sudah nggak bisa memiliki peluang yang kecil untuk mencari nafkah, semuanya ditutup, negara tidak bisa memberikan bantuan kepada rakyat, apa yang terjadi? Rakyat pasti rusuh. Itu yang kita hitung sehingga kita putuskan saat itu tidak lockdown,” paparnya.
Selain itu, mantan gubernur DKI Jakarta ini juga menilai membaiknya situasi penanganan pandemi di tanah air, juga berkat cakupan vaksinasi COVID-19 yang saat ini kurang lebih telah disuntikkan 448 juta dosis kepada masyarakat.
"Itu semuanya bisa kita lakukan dan kita melihat TNI dan Polri betul-betul bekerja melampaui tugas intinya. Ke kampung-kampung ngajakin_rakyat untuk mau divaksin, bukan pekerjaan yang mudah," ujarnya.
Jokowi juga menuturkan langkah lain yang diambil oleh pemerintah dalam penanganan pandemi ini, yaitu manajemen “gas dan rem.” Kebijakan itu dilakukan dalam rangka menyeimbangkan kesehatan dan perekonomian nasional. Presiden menyebut langkah tersebut bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan.
"Begitu hitungan salah sedikit, ekonomi akan jatuh. Tetapi begitu gasnya terlalu kencang juga pandeminya bisa naik. Itulah yang kita lakukan menjaga keseimbangan antara kesehatan dan ekonomi yang semuanya menekan manajemen negara, tidak mudah," tuturnya.
Jokowi mengatakan hal terpenting dalam penanganan pandemi ini adalah besarnya partisipasi masyarakat. Menurutnya peran besar masyarakat inilah yang turut mendukung keberhasilan pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19.
"Partisipasi inilah yang harus kita apresiasi, kita hargai, karena semua memberikan dukungan dunia usaha, masyarakat di bawah, semuanya bergerak semuanya," tandasnya.
Sementara itu, pakar epidemiologi dari Universitas Airlangga Windhu Purnomo mengungkapkan sejauh ini strategi pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19 memang sudah berdasarkan berbagai data epidemiologis yang ada.
Ia menjelaskan, penanganan pandemi berdasarkan data epidemiologis tersebut saat ini sudah berubah mulai dari adanya penerapan berbagai pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat seperti PSBB dan PPKM menjadi untuk menekan jumlah kasus dan kematian melalui program vaksinasi.
“Dengan tujuan mencegah gejala berat (yang berakibat ke hospitalisasi dan kematian) bila ada masyarakat yang terinfeksi. Jadi itu lah di masa transisi yang harus terus dilakukan, yaitu mengejar cakupan vaksinasi setinggi mungkin, terutama dosis kedua dan booster pertama (dosis ke-3) dengan prioritas tetap mereka yang berisiko tinggi mengalami gejala berat ketika terinfeksi yaitu kelompok lansia,” ungkap Windhu.
Adapun langkah pemerintah yang saat ini tengah menggelar program vaksinasi booster atau penguat dosis kedua cenderung belum tepat. Pasalnya , cakupan vaksinasi booster dosis pertama yang masih di bawah 30 persen.
“Menurut saya sebetulnya kejar dulu cakupan vaksinasi booster pertama bagi masyarakat umum (prioritas tetap lansia) sampai melewati 50 persen, baru memulai vaksinasi booster kedua untuk masyarakat umum. Jadi booster kedua mestinya tetap untuk nakes dan lansia, sebagai kelompok berisiko tinggi, terlebih dulu. Memang, menurut saya, pemerintah terlalu cepat melakukan vaksinasi booster kedua untuk masyarakat umum, ya tidak apa-apa. Tapi tetap cakupan yang harus dikejar terlebih dulu sebagai prioritas adalah booster pertama,” paparnya.
BACA JUGA: Banjir Turis China pada Februari, Jokowi Pastikan Tak akan Lakukan PembatasanPemerintah pun, katanya, harus tetap bisa melakukan komunikasi publik kepada masyarakat dengan baik, agar cakupan vaksinasi booster tersebut terus meningkat terutama ke kalangan rentan.
“Yang harus dilakukan adalah bagaimana meng-counter berbagai infodemik yang isinya adalah hoaks dan atau informasi yang menyesatkan tentang vaksin dan vaksinasi. Yang menangkal tentu harus institusi yang berkaitan dengan substansi yang disesatkan oleh infodemik/hoaks dan disampaikan oleh orang punya kompetensi itu dengan cara yang baik dalam bahasa dan kalimat yang mudah dipahami masyarakat luas,” pungkasnya.