Jokowi: Izin Tambang untuk Ormas Keagamaan Syaratnya Ketat

Lokasi penambangan nikel Vale di Sorowako, Sulawesi Selatan, 29 Maret 2023. (Foto: REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Presiden Joko Widodo angkat bicara setelah organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan diberi izin usaha pertambangan (IUP). Sejumlah aktivis memprihatinkan kebijakan baru itu.

Menurut Jokowi, ormas keagamaan harus memenuhi persyaratan cukup ketat untuk mendapatkan IUP.

“Yang diberikan itu adalah sekali lagi badan-badan usaha yang ada di ormas, persyaratannya juga sangat ketat,” ungkap Jokowi di sela-sela kunjungan kerjanya di Kalimantan Timur, Rabu (5/6).

Presiden Jokowi Optimis bisa mulai Berkantor di IKN pada Juli mendatang. (Biro Setpres)

Menurutnya, ormas biasanya memiliki badan usaha lain yang terfokus pada bisnis, dan bisnis yang dimaksud, termasuk usaha pertambangan,

“Baik itu diberikan kepada koperasi yang ada di ormas, maupun mungkin PT dan lain-lainnya. Jadi badan usahanya yang diberi (IUP), bukan ormasnya,” tambahnya.

Sebelumnya, mantan gubernur DKI Jakarta ini telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang merupakan revisi atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Dalam regulasi ini tertera aturan baru yang memberi izin kepada ormas keagamaan untuk mengelola usaha pertambangan. Secara detil, aturan itu tertuang dalam Pasal 83A yang membahas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas.

BACA JUGA: JATAM: Pencabutan Izin Tambang oleh Kementerian Investasi Diduga Sarat Konflik Kepentingan

Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh ormas dan organisasi keagamaan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Ekonom: Potensi Konflik Kepentingan Tinggi

Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gajah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan kebijakan tersebut lebih mencerminkan kepentingan politik ketimbang kepentingan ekonomi.

Fahmy menduga kebijakan ini merupakan realisasi dari janji kampanye Jokowi agar kelak dirinya bisa dianggap meninggalkan “warisan” yang baik di mata ormas-ormas keagamaan..

Ia menegaskan bahwa kebijakan pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan sangat tidak tepat, bahkan cenderung blunder. Alasannya, menurut Fahmy, ormas keagamaan tidak punya kapabilitas dan kemampuan dana untuk melakukan eksplorasi pertambangan.

“Dalam kondisi tersebut, dengan berbagai cara diperkirakan ormas keagamaan hanya akan berperan sebagai “broker” alias makelar dengan mengalihkan WIUPK kepada perusahaan tambang swasta,” ungkap Fahmy dalam siaran pers tertulisnya kepada VOA.

Bekas tambang di Kalimantan Timur, 18 November 2015. (Foto: Antara/Wahyu Putro A via Reuters)

Lebih jauh, Fahmy menjelaskan bahwa sampai detik ini usaha pertambangan di Tanah Air masih berada di wilayah abu-abu yang penuh dengan tindak pidana kejahatan. Maka dari itu, katanya, ketika terjun mengelola bisnis pertambangan, ormas keagamaan secara tidak langsung memasuki wilayah usaha abu-abu, dan bukan tidak mungkin terjerembab ke dalam dunia hitam pertambangan.

“Pemerintah sebaiknya membatalkan, paling tidak merevisi PP Nomor 25 Tahun 2024 karena lebih besar mudharatnya ketimbang manfaatnya,” tegasnya.

Salahi UU, Berpotensi Perparah Kerusakan Lingkungan

Sementara itu Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Fanny Tri Jambore mengatakan kebijakan memberi IUP kepada ormas keagamaan jelas-jelas menyalahi UU. Ia menjelaskan, di dalam UU Minerba disebutkan bahwa pemberian IUP ke badan usaha swasta harus melewati proses lelang bukan dengan proses pemberian prioritas dari pemerintah.

Selain itu, menurutnya, regulasi tersebut seolah-olah menjadi pembenaran atas kerusakan lingkungan yang ada di Indonesia. Fanny menilai, upaya pemulihan lingkungan terhadap dampak usaha pertambangan sangat minim.

Penambang ilegal bekerja di tambang timah terbuka di Pulau Bangka, 24 September 2013. (Foto: Reuters)

“Sejauh ini, hampir lima juta hektare konsesi pertambangan batu bara di Indonesia, hampir dua juta hektare dari konsesi itu ada di dalam kawasan hutan, dan belum pernah ada upaya pemulihan lingkungan secara serius akibat pemberian izin-izin ini. Yang terjadi adalah semakin masifnya dampak kerusakan lingkungan akibat pemberian izin-izin tambang tersebut,” ungkap Fanny ketika berbincang dengan VOA.

Menurutnya, jika izin usaha pertambangan, khususnya di wilayah tambang batu bara, diserahkan kepada ormas maka kebijakan ini akan menjadi sebuah justifikasi dari pemerintah untuk melanjutkan proses perusakan lingkungan dengan berlindung di balik nama ormas-ormas tersebut.

“Kalau kemudian ormas-ormas ini hanya dijadikan bemper dari pembenaran pemberian izin tambang, dikhawatirkan bahwa kalau terjadi konflik sosial antara masyarakat yang merasa dirugikan dari kerusakan wilayah itu, yang kemudian mendapatkan nama buruk adalah ormas-ormas yang mendapat izin pada wilayah itu,” jelasnya.

BACA JUGA: Hilirisasi Nikel, Siapa yang Untung dan Siapa yang 'Buntung'?

Lebih jauh Fanny mengungkapkan bahwa ormas-ormas keagamaan tersebut tidak memiliki kapasitas yang mumpuni untuk menjalankan bisnis atau usaha pertambangan. Sehingga ia khawatir, usaha ini akan dikelola sekelompok pihak yang sudah berpengalaman mengerjakan tata niaga pertambangan batu bara.

“Ada kekhawatiran besar adanya penumpang gelap akan bermain di situ dan mereka akan mendapatkan keuntungan karena mereka tidak perlu mengajukan izin lagi, mereka tidak perlu mengikuti lelang, tapi mendapatkan turunan dari pemberian izin dari ormas-ormas ini. Kalau mereka juga masih menggunakan model bisnis tambang as usual yang rentan terhadap perusakan lingkungan dan pelanggaran HAM, lagi-lagi bempernya adalah ormas-ormas yang mendapatkan izin-izin tambang ini,” tambahnya.

Kegiatan pertambangan batu bara di Kalimantan. (Foto: Antara/Prasetyo Utomo via REUTERS)

Menurutnya, sudah semestinya sebuah ormas keagamaan dibiarkan dengan fungsi dan tugas awal yakni menyebarkan ajaran baik kepada masyarakat.

“Kenapa juga harus diberikan kepada ormas keagaman? Kan ormas-ormas ini tidak dibentuk untuk mengelola pertambangan. Mereka itu sudah punya visi dan misi, serta tujuan mulia untuk mengabarkan kebaikan, untuk kemudian membawa misi-misi sosial kepada masyarakat dan mereka dibentuk untuk itu," ujarnya.

Kalau tiba-tiba pemerintah mengeluarkan satu bentuk program untuk mengajak mereka mengerjakan sesuatu yang bukan bidangnya, yang dikhawatirkan justru akan membawa dampak buruk, ini akan menjadi legacy buruk kepada organisasi yang sebenarnya dibentuk dengan niat baik,” pungkas Fanny. [gi/ab]