Jokowi ke Merapi: Geliat Tambang dan Mimpi Konservasi

  • Nurhadi Sucahyo

Jokowi di pusat bibit Jurangjero, Magelang, Jawa Tengah, 14 Februari 2020. (Foto: Setkab.go.id)

Presiden Jokowi berkunjung ke kawasan Jurangjero, Lereng Gunung Merapi di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Jumat (14/02). Dia menanam pohon, melepasliarkan satwa dan berbicara mengenai pelestarian alam.

“Seneng enggak nanam jengkol, nanam petai, nanam durian? Nanti bisa diambil bibitnya di depan, nanti ditanam dan dirawat,” kata Jokowi.

Jengkol, petai, dan duren. Tiga tanaman itu ditawarkan Jokowi pada ratusan warga desa yang menemuinya di kawasan Jurangjero, di Srumbung, Magelang, Jawa Tengah, Jumat (14/02). Para warga itu, yang sudah berkumpul sejak pagi menunggu kedatangan Jokowi, dipersilahkan mengambil tanaman di pusat pembibitan. Jokowi hanya berpesan, bibit itu ditanam dan dirawat dengan baik.

Jokowi menanam pohon Pulai di Jurangjero, Srumbung, Magelang, Jawa Tengah, kawasan Nasional Gunung Merapi (TNGM), 14 Februari 2020. (foto: courtesy: setkab.go.id)

Jokowi sendiri menanam pohon Pulai di kawasan yang masuk Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) itu. Sepasang Elang Jawa, yang merupakan burung endemik Merapi, turut dilepasliarkan.

“Saya kira kita ingin memulai hal-hal yang berkaitan dengan ekosistem flora dan fauna, penanaman kembali, dan reboisasi di kawasan-kawasan yang sering banjir atau longsor,” ujar Jokowi.

TNGM disangga oleh 30 desa yang dihuni kurang lebih 107.448 jiwa. Jokowi mengajak kerja sama berbagai pihak untuk mengembalikan dan menjaga kelestarian lingkungan, terutama di kawasan tersebut. Jokowi juga menyinggung bibit tanaman vetiver, yang ia minta untuk ditanam di wilayah berpotensi banjir dan longsor.

Dalam keterangan resmi situs kepresidenan, disebut bahwa tanaman vetiver memiliki kemampuan menahan aliran hujan deras dan menjaga kestabilan tanah sehingga mencegah tanah longsor dan erosi. Akarnya tertanam 3 - 4 meter sehingga memperkuat tanah di lahan miring. Pemerintah mengaku memiliki stok 50 juta bibit vetiver yang terus dipromosikan Jokowi ke daerah-daerah yang sering longsor.

Rusak Karena Tambang

Jurangjero adalah hutan wisata cukup terkenal di era 80-an. Kawasan itu kemudian rusak sejak Pemerintah Soeharto membuka hutan dan membangun Sabo Dam yang merupakan proyek kerja sama pemerintah Jepang. Tujuannya, untuk mengendalikan banjir lahar jika Merapi meletus. Penambangan pasir yang terus berlangsung sampai saat ini dalam skala besar, memiliki peran kunci terhadap kerusakan kawasan itu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar menyebut, presiden ingin desa-desa di kaki Merapi terlindungi dari bencana. Karena itu, penanaman pohon digiatkan kembali. Jika hutan kembali hadir, diharapkan bukan hanya banjir yang dihindari, tetapi juga tersedia ekosistem yang mendukung kehidupan satwa. Menurut catatan Kemen LHK, di lereng Merapi hidup Elang Jawa, kucing hutan dan kijang. Dari daftar itu, Elang Jawa menjadi yang paling terancam karena hanya ada tujuh ekor tersisa, kata Siti Nurbaya.

Sementara, dengan wilayah jelajah lima km persegi, Taman Nasional Gunung Merapi masih bisa menerima belasan ekor Elang Jawa di masa depan.

Jokowi menerima penjelasan pemanfaatan teknologi dalam pemantauan kawasan TNGM. (foto Setkab.go.id)

Siti Nurbaya memaparkan, Sabo Dam yang dibangun tahun 80-an di aliran sungai telah menjadikan lereng Merapi sebagai simpanan material pasir yang sangat berharga. Ada lima sampai enam tingkat bendungan di satu aliran sungai yang dapat menampung ratusan ribu kubik material Merapi. Pasir itu terus ditambang sampai saat ini, dan karena itu kementerian mendorong perubahan mata pencaharian masyarakat sekitar.

“Mengapa Kementerian LHK berkepentingan disini, di waktu pasir-pasir itu menjadi kegiatan tradisional masyarakat, itu kita lihat sebenarnya sampai dilihat sampai mana dia boleh dipakai. Sekarang, masyarakat sudah 3-4 tahun ini bertransformasi ke ekowisata,”

Siti menambahkan, peredaran uang di kawasan itu dalam setahun sekitar Rp 60 M. Sekitar 32 persen terkait peternakan dan pertanian, 28 persen ada di sektor tambang batu dan pasir, sementara baru 20 persen berasal dari ekowisata, dan sisanya ada di sektor lain. Dia menegaskan, kesejahteraan masyarakat bisa dibangun, dengan tetap menjaga keseimbangan dan perlindungan alam. Pemerintah akan membantu masyarakat beralih, dari penambangan yang merusak alam ke sektor yang lebih ramah. Siti yakin, bagi masyarakat prisipnya adalah mereka tetap dapat hidup dari alam.

“Pemerintah adalah simpul dari segala kepentingan. Kepentingan rakyat, kepentingan konservasi, bisnis, dan tradisional. Jadi, dalam konteks tambang ini, kita anggap itu tradisional. Kalau bisnis gampang mengontrolnya, bisa memakai izin dan pengawasan. Tetapi kalau tradisional, berarti dia harus diberikan solusi,” papar Siti.

Aturan Ketat Tambang

Hanya beberapa kilometer dari lokasi Jokowi menanam pohon, ribuan truk menderu di jalanan berdebu. Mereka berderet pelahan karena jalan yang rusak di daerah Kamongan, Srumbung. Mayoritas bergoyang kanan-kiri karena kelebihan muatan. Truk-truk ini membawa muatan pasir, dari tambang-tambang di sepanjang sabuk luar kawasan TNGM. Ratusan alat berat dan ribuan penambang terlibat dalam bisnis tersebut.

“Tambang itu banyak di area Kali Cawang Kulon, Kali Cawang Wetan, Kali Bebeng dan Ngori. Itu daerah di sebelah timur Jurangjero,” kata seorang warga bernama Mansur kepada VOA.

Pegiat lingkungan kawasan Merapi, Sukiman yang turut hadir di Jurangjero mengaku terkesan dengan gaya Presiden Jokowi.

“Teknik terjun ke lapangan sidak ala Pak Jokowi ini bagus. Tetapi jangan sampai, ada sesuatu yang di skenario. Seperti hari ini, saya sebenarnya ingin Pak Jokowi melihat lokasi kegiatan tambang pasir di sini,” kata Sukiman.

Jokowi dan hamparan bekas tambang yang kawasan Jurangjero, Magelang, Jawa Tengah. (Foto: via Fadjroel Rahman-Jubir)

Khusus mengenai tambang pasir, Sukiman berharap ada pengaturan yang lebih ketat.

“Jika memang ada zona, tetap jangan dengan alat berat. Cukup tambang tradisional yang sesuai dengan suplai dari merapi saja. Tetap legal dan terkontrol,” tambahnya.

Sukiman juga berharap, program penanaman pohon jangan hanya simbolis. Setelah penanaman hari ini, suatu saat harus dilakukan evaluasi oleh pemerintah. Tanaman yang dipilih juga sebaiknya tidak hanya perindang untuk konservasi air. Sukiman mengusulkan di hutan, diperlukan juga tanaman yang berfungsi sebagai penyedia makanan bagi satwa. Di sisi yang lain, ada juga pilihan tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk sektor pariwisata.

Korporasi di Balik Tambang

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera menyebut, tambang pasir Merapi dijalankan beberapa perusahaan besar. Perusahaan ini berkonsentrasi membeli lahan milik masyarakat di luar area TNGM. Dari luar, kegiatan ini seperti tambang tradisional yang dijalankan masyarakat. Namun jika ditilik lebih dalam, di satu titik tambang saja bisa terdapat puluhan alat berat. Hanya pemodal besar yang mampu menyediakan alat berat sebanyak itu untuk operasional tambang.

“Dari beberapa pengalaman di lapangan, aktivitasnya malam. Siang itu alat berat tidak ada aktivitas, bahkan disembunyikan. Tetapi saat malam beraktivitas, yang kalau dikalkulasi bersama warga, satu alat berat bisa mengisi sampai 60-70 truk dalam satu malam. Artinya kan sangat masif,” kata Halik.

Halik menegaskan, lereng Merapi adalah penyangga kawasan di bawahnya, misalnya dalam ketersediaan air. Beroperasinya tambang galian C sudah berdampak pada berkurangnya debit air dan matinya banyak mata air. Kondisi ini paling dirasakan masyarakat yang berada di kawasan bawah. Konflik horisontal sudah kerap terjadi dan Walhi turut berperan dalam mengadvokasi masyarakat menolak tambang.

“Di Boyolali kita mendampingi masyarakat yang lahannya menjadi lokasi pertambangan, padahal itu lahan pertanian produktif. Tahapan perijinan ada di provinsi. Saya tidak tahu apakah pemerintah Provinsi Jawa Tengah melihat betul lahan yang diajukan ijin pertambangan ini kondisinya seperti apa. Di Sleman, Yogyakarta, tambang ada di aluran sungai dan ini mematikan mata air, karena itu diprotes warga,” ujar Halik.

Your browser doesn’t support HTML5

Jokowi ke Merapi: Geliat Tambang dan Mimpi Konservasi

Halik mendorong pemerintah pelan-pelan menumbuhkan kegiatan ekonomi non-ekstraktif di kawasan Merapi.

“Saat ini sebagian masyarakat masih tergiur dana cepat dan besar melalui tambang pasir. Bagaimana kemudian, potensi non ekstraktif misalnya perkebunan buah dan peternakan bisa menggantikan secara perlahan. Harapannya, dengan pengembangan ekonomi memanfaatkan lahan pertanian dan perkebunan, bisa mengubah pola perekonomian masyarakat yang dulunya ekstraktif menjadi lebih berkelanjutan,” tambah Halik.

Pemerintah, lanjut Halik, juga harus teliti dalam penggunaan material untuk proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai negara. Harus dipastikan, material yang dipakai tidak berasal dari kegiatan tambang yang merusak lingkungan. [ns/ab]