Presiden Joko Widodo memperingatkan semua pihak untuk waspada terhadap serbuan barang impor murah dari China di tanah air. Menurutnya produksi berlebihan (over production) di negeri tirai bambu tersebut membuat ekspor mereka ke berbagai negara, termasuk Indonesia, tergolong masif.
“Sudah banyak dibahas secara luas soal produksi berlebihan di China, banyak negara sudah mulai khawatir dan bersiap melindungi pasar domestiknya dari masuknya produk impor dari China yang masif dengan harga yang jauh lebih murah,” ungkap Jokowi di Jakarta, Rabu (9/10).
Indonesia sebagai salah satu negara yang padat penduduknya menjadi sasaran empuk pasar China yang sedang mengalami produksi berlebihan. Dengan harga yang cukup terjangkau, barang-barang impor dari China beredar di pasar domestik dan menarik minat masyarakat untuk membelinya, sehingga produk-produk lokal pun kalah saing. Menurutnya, semua pihak harus bergerak cepat untuk melindungi pasar domestik.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dan kita sebagai negara dengan pasar yang besar, dengan jumlah penduduk tertinggi terbesar ke-4 dunia, 280 juta jiwa, harus mampu melindungi pasar domestik. Kita harus mampu memasarkan produk kita agar mampu menguasai pasar di dalam negeri dan juga terus merambah secara luas di pasar luar negeri,” tambahnya.
Diakui Jokowi upaya untuk menguasai pasar secara global tidaklah mudah. Hal ini, katanya, dikarenakan perekonomian dunia yang masih belum pulih dan bahkan melambat yakni hanya pada angka 2,7 persen sementara perkiraan inflasi global 5,9 persen.
Meski begitu, Jokowi mengimbau para pelaku industri lokal untuk tidak mudah menyerah. Pada saat ini, ujar Jokowi, pemasaran tidak hanya bisa dilakukan dengan cara konvensional sehingga selalu ada peluang yang terbuka.
“Sekarang sudah eranya digital, kita harus masuk secara masif ke sana, untuk memasarkan produk-produk negara kita. Saat banyak negara melakukan restriksi akibat perang dagang, menurut saya di situ ada peluang. Saat banyak negara mengalami inflasi tinggi, menurut saya di situ juga ada peluang,” tegasnya.
Mengapa Produk Impor China Bisa Murah?
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan banyak faktor yang menyebabkan produk China tidak hanya merajai Indonesia, tetapi juga negara-negara lain. Josua mengatakan dari sisi produksi, pelaku industri di sana diberikan berbagai insentif oleh pemerintahnya sehingga bisa menghasilkan skala produksi yang besar dengan cara efisien.
Selain itu, China juga didukung dengan teknologi dan inovasi yang mumpuni, serta kualitas SDM yang lebih baik, sehingga produktivitasnya terjaga dengan baik. Walhasil, biaya bisa ditekan, dan produk dapat ditawarkan dengan harga lebih rendah.
“Jadi kita melihat, produk-produk manufaktur kita perlu ditingkatkan kualitasnya, lalu peningkatan investasi dan produktivitas dari sektor manufaktur kita karena itu sebenarnya kata kuncinya, selain bicara logistic cost, labor cost tapi juga kita bicara investment. Kalau kita bicara tekstil garmen, mesin-mesin kita dikatakan sudah usang dan itu menjadi salah satu faktor yang membuat produk-produk kita menjadi tidak kompetitif sehingga kalah pasarnya dengan produk-produk tekstil misalnya dari Bangladesh, India ataupun China,” ungkap Josua ketika berbincang dengan VOA.
Ekonom Indef Nailul Huda mengatakan, banjirnya produk impor murah dari China tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang justru mempermudah barang-barang itu masuk ke tanah air.
“Ini ada kaitannya dengan Permendag no.8 tahun 2024. Pada saat itu ketika barang di China terjadi oversupply, kita malah memberikan kemudahan, karena Permendag itu memberikan kemudahan untuk impor yang pada akhirnya itu ditentang oleh industri habis-habisan. Jadi kita seolah memberikan karpet merah terhadap produk impor tersebut,” ungkap Nailul.
Apalagi, kata Nailul, daya beli masyarakat saat ini sedang lesu sehingga produk dari China yang harganya jauh lebih murah kerap menjadi pilihan. Meski begitu, ia berharap pemerintah tidak berpikir untuk menggenjot belanja masyarakat di dalam negeri dengan produk impor, karena hal tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
“Meskipun daya beli masyarakat digenjot tetapi barangnya ya harusnya bukan barang impor. Karena misalkan daya beli masyarakat digenjot dengan beli barang impor, yang terjadi adalah bisa dibilang tidak ada manfaatnya, tidak ada multiplier effect yang dihasilkan dari belanja barang impor tersebut. Kita maunya dorong daya beli masyarakat tapi yang memberikan multiplier effect yang besar ke perekonomian. Ketika daya beli masyarakat kurang terus kita welcome terhadap barang impor terutama dari China, ya multiplier effect-nya lebih banyak kepada ekonomi China,” jelasnya.
Ke depan, Nailul berharap pemerintahan baru bisa melindungi industri dalam negeri terlebih dahulu dengan berbagai kebijakan dan insentif. Semua itu, pada gilirannya akan menggenjot investasi di sektor manufaktur dan mendorong produktivitas dan kualitas sehingga bisa bersaing di pasar global.
“Industrialiasi yang penting, bukan hilirisasi seperti sekarang. Dan ekosistemnya harus diperbaiki,” pungkasnya. [gi/ab]