Presiden Joko Widodo menegaskan netralitas aparatur sipil negara (ASN) dalam Pemilihan Presiden 2024 mendatang akan tetap terjaga.
“Dan yang paling penting yang sudah sering saya sampaikan, netralitas dari TNI, Polri, PNS, birokrasi kita betul-betul jaga, agar tetap netral. Jadi tidak usah ada kekhawatiran mengenai itu,” ungkap Jokowi di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, Senin (3/7).
Ia menjelaskan bahwa penyelenggara pemilu sudah sangat jelas, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Pemerintah memberikan dukungan baik dari sisi keamanan, maupun membantu nanti dalam distribusi logistik," tambahnya
Pengamat: Netralitas ASN dalam Pilpres Hanya Omong Kosong Belaka
Pengamat politik Ujang Komaruddin mengatakan netralitas ASN dalam pilpres memang sudah diatur dalam Undang-Undang (UU). Namun, fakta yang terjadi di lapangan adalah netralitas tersebut hanya sebatas di atas kertas.
Menurutnya, banyak pejabat daerah maupun pusat bermain di belakang layar dalam hal dukung mendukung kandidat capres dan cawapres tertentu.
“Kenapa mereka itu tidak netral? Mesti dukung mendukung di belakang layar, karena memang kalau tidak dukung mendukung, kalau misalnya kalah disingkirkan, tidak jadi dirjen lagi misalnya. Tidak punya jabatan lagi. Makanya birokrasi itu dipaksa ya memang seolah-olah netral padahal tidak netral. Jadi kalau soal netralitas, bagi saya masih omong kosong. Masih belum bisa dipegang karena netralitasnya hanya ada dalam kertas. Kenyataannya, fakta di lapangan, itu berbeda,” ungkap Ujang.
Meskipun Jokowi telah menjamin bahwa ASN akan netral dalam Pilpres 2024 nanti, Ujang mempertanyakan siapa yang bisa menjamin bahwa alat negara nantinya tidak akan digunakan untuk menggapai sebuah kekuasaan ke depannya.
“Tentu yang harus kita lakukan adalah mengawasinya sebisa mungkin. Rakyat Indonesia mengawasi, organisasi massa, media juga mengawasi terkait dengan perilaku elite seandainya mereka tidak netral. Tapi bagaimana? Sulit untuk mengawasi itu semua,” tutur Ujang.
Sementara itu, pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago mengatakan pernyataan Jokowi sebelumnya yang secara terang-terangan mengatakan akan ikut campur atau cawe-cawe dalam Pilpres 2024 ini telah keluar dari norma dan tradisi demokrasi yang sehat. Seorang presiden, kata dia, seharusnya tidak terlibat dan melibatkan diri secara langsung dalam menentukan siapa penerusnya.
BACA JUGA: Survei Indikator: Partai Politik Paling Tidak Dipercaya Publik“Ikut terlibat dan bahkan menyatakan secara terbuka tidak akan netral dalam rangkaian proses Pemilu 2024 adalah pernyataan yang tidak lazim dalam negara yang demokratis, walaupun dibungkus dengan alasan demi “bangsa dan negara”, keberlanjutan pembangunan, stabilitas politik dan segudang alasan lainnya,” ungkap Pangi dalam pesan tertulisnya kepada VOA.
Lebih jauh, Pangi menuturkan bahwa cawe-cawe ini ke depannya dapat menimbulkan keraguan dan ketidakpercayaan terhadap proses politik yang lebih luas. Maka dari itu, menurutnya, penting untuk senantiasa menjaga keseimbangan antara stabilitas politik dan prinsip-prinsip dasar demokrasi.
Selain tingkat kepercayaan publik yang berpotensi menurun, sikap cawe-cawe politik Jokowi dalam Pilpres 2024 mendatang ini, kata Pangi, dapat menimbulkan sejumlah dampak negatif.
Pertama, katanya, netralitas institusi akan dipertanyakan, karena campur tangan Jokowi berpotensi mengaburkan garis pemisah antara kekuasaan eksekutif dan lembaga negara lainnya.
“Pemerintahan yang seharusnya netral dalam memfasilitasi pemilihan dan menjamin proses demokratis menjadi terlihat tidak objektif. Hal ini dapat merusak integritas lembaga negara, menciptakan kesan bahwa keputusan politik dipengaruhi oleh kepentingan pribadi atau partisan,” jelasnya.
Kedua, kata Pangi, campur tangan Jokowi dalam menentukan penerusnya bisa mengurangi pluralitas politik dan partisipasi warga negara. Ia mengatakan, dalam sebuah demokrasi yang sehat, rakyat seharusnya memiliki kebebasan untuk memilih calon presiden sesuai dengan preferensi mereka.
BACA JUGA: Partai Harus Berbenah Usai Putusan MK Soal Sistem Pemilu“Ketiga, yaitu potensi kekuasaan berlebihan. Campur tangan Jokowi dapat menimbulkan kekhawatiran tentang akumulasi kekuasaan yang berlebihan. Dalam demokrasi, penting untuk memastikan adanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika presiden terlibat secara aktif dalam menentukan calon penerusnya, hal itu dapat menciptakan ‘preseden’ yang berbahaya di mana presiden memiliki kendali penuh terhadap proses politik dan pemilihan,” tuturnya.
“Presiden Jokowi cawe-cawe, tetap menyimpan masalah, ada potensi abuse of power. Presiden masih punya kendali total terhadap infrastruktur dan suprastruktur Pemilu 2024. Cara menghentikan itu semua, presiden harus netral dan cuti. Kita Indonesia masih membutuhkan kekuasaan presiden dan negara yang netral, sebab sistem pemilu kita masih lemah, yang bisa berpotensi tergelincir pada pemilu partisan. Terus terang kita ingin trayek pemilu yang adil, terbuka dan demokratis,” pungkasnya. [gi/ab]
Your browser doesn’t support HTML5