Jokowi Klaim Kasus COVID-19 di Jawa dan Bali Mulai Turun

Presiden Jokowi didampingi Menteri BUMN dan Dirut PT Pertamina meninjau dan meresmikan RS Modular di Tanjung Duren, Jakarta. (Courtesy: Setpres RI)

Presiden Joko Widodo mengklaim jumlah kasus positif virus corona dan tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy ratio (BOR) untuk pasien COVID-19 di Jawa dan Bali sudah menurun. Namun, angka kematian masih berada di atas 1.000 per harinya. Ada apa? 

Presiden Joko Widodo mengklaim kasus terkonfirmasi positif COVID-19 di Jawa dan Bali sudah mulai murun. Hal ini katanya terlihat dari penurunan BOR di rumah sakit, terutama di DKI Jakarta, yang signifikan.

“Saya melihat selalu angka-angka BOR, saya lihat setiap hari dan tadi pagi. Kalau mungkin enam-delapan minggu yang lalu di Wisma Atlet, BOR-nya di sekitar 90 persen, pagi hari ini tadi saya mendapatkan informasi angkanya sudah berada pada posisi 25 persen BOR-nya,” ungkap Jokowi saat meresmikan Rumah Sakit Modular PT Pertamina, di Tanjung Duren, Jakarta, Jumat (6/8).

Meski sudah turun, Jokowi pun menginstruksikan semua pihak, terutama kepala-kepala daerah untuk terus waspada mengantisipasi kemungkinan terjadinya kenaikan kasus lagi di masa yang akan datang. Pemerintah pun, menurutnya, terus membangun tempat penampungan pasien COVID-19.

Presiden Jokowi pada Jumat (6/8) mengklaim kasus Corona di Jawa dan Bali sudah mulai menurun (biro Setpres).

Salah satunya adalah membangun Rumah Sakit Modular dengan dukungan PT Pertamina (persero). Rumah sakit yang berkapasitas 305 tempat tidur ini dilengkapi dengan fasilitas HICU dan ICU yang didedikasikan mayoritas khusus untuk anak-anak, bayi dan ibu hamil.

Angka Kematian Usia Produktif Meningkat

Meskipun kasus corona di Tanah Air sudah menunjukkan tren penurunan, angka kematian masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Satgas COVID-19, angka kematian pada Jumat (6/8) tercatat 1.635. Ketua Bidang Data dan Teknologi Informasi Satgas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan dalam beberapa waktu terakhir telah terjadi tren peningkatan kematian yang berasal dari kelompok usia produktif.

Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, dr. Dewi Nur Aisyah. (Sumber: BNPB)

"Usia 46-59 tahun, yang awalnya total kematian 2.500 orang menjadi 13.000 orang, atau naik lima kali lipat atau 437 persen," ungkap Dewi.

Ia juga mengungkapkan bahwa kelompok usia lain yang menyumbang angka kematian tertinggi adalah 31 hingga 45 tahun. Pada Juni lalu, kelompok ini hanya mencatat 964 kematian, namun kemudian meningkat 435 persen menjadi 5.159 pada Juli lalu.

"Pada Juli banyak kematian (pada kelompok) usia lebih muda di bawah 60 tahun. Hati-hati, siapa pun juga, karena ada kenaikan kematian signifikan," pungkasnya.

Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Prof Wiku Adisasmito mengatakan, adanya peningkatan tren kematian pada usia produktif dikarenakan lonjakan kasus pada rentang usia produktif tersebut. Selain itu menurutnya angka kematian yang tinggi ini merupakan dampak dari keterlambatan penanganan pasien COVID-19.

Jubir Satgas COVID-19 Prof Wiku Adisasmito. (Foto: VOA)

“Menurut WHO bahwa varian delta yang sudah ditemukan di hampir 133 negara di dunia telah menyebabkan kenaikan kasus sebesar 80 persen selama empat minggu terakhir. Secara fakta, kematian pada pasien dapat meningkat peluangnya jika terlambat ditangani atau dirujuk maupun kepemilikan riwayat komorbid,” ungkap Wiku.

Lebih jauh, Wiku menjelaskan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan yang diolah Satgas COVID-19, sebanyak 46,7 persen kematian berasal dari populasi yang berusia di atas 60 tahun. Kontribusi jumlah kematian sebesar 36,7 persen berasal dari usia 46-59 tahun, dan 12,7 persen kematian berasal dari usia 31-45 tahun.

Pemerintah Gagal Tangani Pandemi Dari Sisi Hulu

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengungkapkan penurunan BOR di Indonesia tidak serta merta menggambarkan situasi infeksi COVID-19 yang sudah mereda di masyarakat. Sekitar 80 persen masyarakat Indonesia. Katanya, enggan berobat apabila sedang sakit. Dan menurutnya, hal ini sudah terjadi jauh sebelum pandemi COVID-19.

Epidemiolog Universitas Griffith, Australia, Dicky Budiman, dalam tangkapan layar. (Foto: VOA/Nurhadi Sucahyo)

“Apalagi kalau saat pandemi dengan stigma takut di-COVID-kan dan lain sebagainya ya. Jadi yang tinggal di rumah semakin banyak bisa sampai 80 persen. Ini artinya, yang BOR turun itu hanya 15 persen-20 persen dari total orang yang sakit. Jadi yang 80 persen yang harusnya ke rumah sakit, ada di rumah-rumah makanya kematian tinggi. Selain itu, karena strategi “3T” , visitasi, deteksi kasus kita pasif dan sedikit sehingga di hulunya bobol,” ungkapnya kepada VOA.

Wiku mengusulkan kepada pemerintah untuk secara massif dan agresif melakukan strategi “3T” (yakni testing, tracing, dan treatment), kemudian mengedukasi masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan “5M”, serta menggenjot vaksinasi. Menurutnya, hanya tiga strategi tersebut yang ampuh mengendalikan pandemi sepanjang dilakukan dengan komitmen dan konsistensi yang tinggi.

Dicky mengatakan,pemerintah juga kini menghadapi tantangan lonjakan kenaikan kasus COVID-19 di luar Jawa dan Bali. Sebagai negara kepulauan, perlahan namun pasti kasus COVID-19 di setiap pulau besar di Indonesia pasti akan meningkat. Strategi yang sama pun harus terus dilakukan agar tingkat penularan bisa dicegah semaksimal mungkin. [gi/ab]