Di tengah meningkatnya persaingan geopolitik antara Amerika Serikat (AS), China, dan Rusia, Presiden Joko Widodo menyampaikan seruan tegas kepada para pemimpin agar meredakan ketegangan dan menghindari konflik di kawasan.
Berbicara pada Kamis (7/9) di Jakarta pada pembukaan KTT Asia Timur (EAS) yang mempertemukan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan mitra-mitranya, yaitu AS, China, Rusia, Australia, India, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan, Jokowi menggarisbawahi perlunya stabilitas di kawasan itu untuk melanjutkan perdamaian dan kemakmuran yang telah berlangsung selama puluhan tahun.
“Semua yang ada di ruangan ini mempunyai tanggung jawab yang sama untuk tidak menimbulkan konflik baru, tidak menimbulkan ketegangan baru, tidak menimbulkan peperangan baru,” ujarnya dalam bahasa Indonesia. “Pada saat yang sama, kita mempunyai tanggung jawab untuk meredakan ketegangan yang memanas, mencairkan keadaan yang membeku, menciptakan ruang untuk dialog, dan menjembatani perbedaan yang ada.”
Namun, para pemimpin tiga negara besar – Presiden AS Joe Biden, Presiden China Xi Jinping, dan Presiden Rusia Vladimir Putin – tidak menghadiri KTT tersebut dan hanya mengirimkan utusan mereka masing-masing, Wakil Presiden Kamala Harris, Perdana Menteri Li Qiang, dan Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov.
Kamala Harris mengatakan, “Amerika Serikat memiliki komitmen jangka panjang terhadap Asia Tenggara dan lebih luas lagi terhadap Indo-Pasifik.”
Sementara itu, Li Qiang mengatakan: “Selama 10 tahun terakhir, China dan ASEAN telah maju bersama dan berkontribusi terhadap keberhasilan satu sama lain.”
Para pemimpin KTT berfokus pada dampak global perang terhadap Ukraina, program nuklir Korea Utara, meningkatnya agresivitas China di Laut China Selatan, dan krisis di Myanmar.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, “Konflik ini memperburuk kesenjangan dan kerentanan yang dihadapi perempuan dan anak perempuan, termasuk kekerasan seksual, kawin paksa, dan perdagangan manusia.”
Sebagai ketua ASEAN yang akan habis masa jabatannya, awal pekan ini Jokowi menyatakan bahwa blok tersebut “telah sepakat untuk tidak menjadi wakil bagi kekuatan mana pun. Dia menegaskan kembali bahwa Asia Tenggara tidak akan menjadi garis depan Perang Dingin baru – sebuah janji yang dibuatnya ketika dia mengambil alih kepemimpinan ASEAN dari Kamboja pada 2022.
Pendekatan Indonesia terhadap politik kekuatan besar sudah konsisten, kata Aaron Connelly, peneliti di International Institute for Strategic Studies, sebuah lembaga penelitian yang berbasis di London.
“Mereka memandang persaingan negara-negara besar sebagai ancaman utama terhadap kepentingan mereka di kawasan,” katanya kepada VOA. “Dan mereka melihat persaingan itu sendiri sebagai ancaman, bukan satu negara yang menciptakan persaingan.”
Para Pemimpin Menolak
Pernyataan Jokowi itu juga diamini oleh para pemimpin Asia Tenggara lainnya yang berupaya melawan ancaman perpecahan di kawasan.
“Lingkungan internasional penuh dengan ketegangan geopolitik dan ketidakpastian ekonomi,” kata Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Dia meminta Washington dan Beijing untuk “menunjukkan kepemimpinan” dalam mengatasi masalah global.
Penolakan ini memang wajar, kata Evi Fitriani, guru besar hubungan internasional di Universitas Indonesia. “Sudah waktunya kita memberi tahu negara-negara adidaya bahwa apa yang mereka lakukan di kawasan ini sudah keterlaluan,” katanya kepada VOA.
EAS muncul pada 2005 sebagai forum dialog regional ASEAN dan enam mitranya, dengan tujuan menggalakkan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran ekonomi. AS dan Rusia bergabung pada 2011.
BACA JUGA: Jokowi Minta KTT Asia Timur Jadi Wadah untuk Perkuat KolaborasiTimor Leste diundang sebagai pengamat pertemuan puncak pada tahun ini, serta Bangladesh dan Kepulauan Cook, masing-masing sebagai ketua Asosiasi Negara-Negara Lingkar Samudera Hindia (Indian Ocean Rim Association/IORA) dan Forum Kepulauan Pasifik.
Para pemimpin KTT berfokus pada ketidakmampuan ASEAN untuk mendesak junta di Myanmar agar mematuhi rencana perdamaiannya, meningkatnya agresivitas China atas wilayah yang disengketakan di Laut China Selatan, dampak global perang Rusia di Ukraina, dan ancaman program nuklir Korea Utara.
Harris “mengecam keras” perang terhadap Ukraina yang telah “memperburuk kerawanan pangan.” Dia mengecam program rudal balistik dan nuklir Korea Utara, dan menyuarakan keprihatinan atas “pelanggaran hak asasi manusia yang parah” yang dilakukan oleh China, menurut Gedung Putih.
Menggemakan pernyataan keras ASEAN terhadap Myanmar, wakil presiden Amerika itu mengutuk “kampanye kekerasan brutal” yang dilakukan oleh rezim militer dan mendesak tindakan lebih lanjut untuk meningkatkan tekanan guna melaksanakan rencana perdamaian ASEAN.
EAS mengakhiri kunjungan dua malam Harris di Jakarta sebelum wakil presiden itu kembali ke Washington.
Pada Rabu (6/9) malam dia bertemu dengan Presiden Ferdinand Marcos Jr. dari Filipina dan Perdana Menteri Fumio Kishida dari Jepang. Dalam kedua pertemuan itu dia menggarisbawahi “penolakan AS terhadap perubahan sepihak terhadap status quo di Laut China Selatan dan Laut China Timur.” [lt/ab]