Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia harus berhenti mengekspor bahan mentah dan melakukan hilirisasi industri secara masif.
“Ini harus menjadi kesadaran kita semua, karena kita sudah 400 tahun ekspor bahan mentah, sejak VOC. Jangan diteruskan!,” ungkap Jokowi dalam pembukaan Rakernas Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) di Tangerang, Jawa Barat, Kamis (31/8).
Ia menambahkan berbagai tekanan dan kritik keras dari Uni Eropa, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Dana Monter Internasional (IMF) terkait kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah jangan membuat Indonesia mundur.
Jokowi menyatakan, bahwa ekspor bahan mentah ini sangat merugikan. Hilirisasi, katanya, bisa memperluas lapangan pekekerjaan, dan meningkatkan pendapatan per kapita per tahun. Menurut hitungan Bappenas, kata Jokowi, jika hilirisasi industri berjalan dengan lancar maka pendapatan per kapita Indonesia dalam 15 tahun mendatang akan mencapai USD15.800 per tahun dan akan melonjak lagi sebesar USD25.000 per tahun pada 2045.
“Nanti akan saya pesan juga kepada presiden berikutnya, jangan sampai menghentikan hilirisasi. Rugi besar kita,” tambahnya.
Dalam kesempatan ini, Jokowi juga menyatakan bahwa pemerintah akan melakukan hilirisasi industri secara menyeluruh di semua sektor, termasuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Menurutnya, berbagai pihak kerap salah kaprah dengan menilai bahwa hilirisasi industri hanya dilakukan kepada sektor pertambangan.
“Jadi jangan berpikir bahwa hilirisasi itu misalnya hanya nikel ore menjadi baja, bukan hanya itu saja. Saya melihat rumput laut juga banyak yang belum dihilirisasikan. Kita ini nomor dua di dunia (penghasil) rumput laut, tapi ekspornya mentahan. Saya cek kemana ini? Ke Filipina, ke Thailand, kenapa tidak buat industri sendiri di sini? Tepung agar bisa buat, jadi nanti nilai tambahnya langsung melompat semuanya. Jangan biarkan mentahan-mentahan itu terus diekspor, industrialisasikan hilirisasikan di dalam negeri agar ada kesempatan kerja, nilai tambah kita dapatkan,” jelasnya.
Tata Kelola Hilirisasi Industri
Ekonom CORE Indonesia Muhammad Faisal sependapat dengan Jokowi bahwa hilirisasi industri akan menguntungkan karena bisa memperluas kesempatan kerja dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Termasuk pertanian, perkebunan, dan perhutanan, diyakini juga akan meningkatkan peluang UMKM untuk bertumbuh lebih pesat lagi.
Tekanan dari dunia internasional, kata Faisal, tak bisa dipungkiri pasti eksis. Maka dari itu, katanya, pemerintah harus lebih memperkuat diplomasi perdagangan untuk mencegah munculnya hambatan. Artinya apa? Kalau kita mau melakukan hilirisasi yang berkonsekuensi larangan ekspor bahan mentah, berarti kita harus siap dengan berbagai macam argumen, data, riset, dan memperkuat diplomasinya. Itu satu paket, penguatan trade diplomacy dengan upaya mendorong hilirisasi dari visi ekonomi di dalam negeri,” ungkap Faisal.
Lebih jauh lagi, Faisal menyarankan kepada pemerintah untuk memperbaiki tata kelola hilirisasi industri yang masih belum sempurna. Dengan begitu, katanya, hilirisasi industri yang ada di tanah air bisa berkembang untuk mengolah barang setengah jadi hingga barang jadi. Pasalnya sampai saat ini hilirisasi industri yang dilakukan oleh pemerintah masih dalam tahap awal sekali, sehingga pihak luar yang mengeruk keuntungan lebih besar.
“Misalnya dalam kasus nikel, hilirisasi yang terjadi baru sampai pada mengolah nikel menjadi nikel pig iron, atau feronikel. Itu adalah hilirisasi awal, masih hulu. Jadi memang ada peningkatan berkali-kali lipat dari sisi nilai tambah, tapi kalau hilirisasi lebih jauh lagi sampai ke produk akhir, itu akan beratus kali lipat dan ini belum terjadi di Indonesia tapi terjadinya di luar negeri. Misalnya feronikel dan nikel pig iron itu langsung diekspor dan diolah lagi di China. Jadi artinya nilai tambah yang diperoleh China jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai tambah yang diperoleh Indonesia,” jelasnya.
Maka dari itu, kata Faisal, guna meningkatkan hilirisasi industri, pemerintah harus bisa mengundang investor untuk menanamkan modalnya di tanah air.
“Itu sebabnya kita perlu investor dari luar dengan harapan ada transfer teknologi, kalau kita ingin membangun yang lebih ke hilir lagi. Artinya dari yang sudah seperempat jadi, ada lagi industri pengolahan untuk menjadi barang setengah jadi, sampai kepada hilirnya misalnya baterai listrik. Karena ini masih awal banget (hilirisasi), padahal ini barang yang akan habis. Kalau dia keburu habis sebelum kita bangun industri yang lebih hilir berarti kita yang rugi,” pungkasnya. [gi/ab]