Jokowi Optimis Indonesia Jadi Pemain Utama di Industri Kendaraan Listrik, Pakar: Perluas Pasar Domestik Dulu

Presiden Joko Widodo meninjau pabrik baterai dan kendaraan listrik PT. Hyundai- LG Indonesia (HLI) Green Power, di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7). (Biro Pers Sekretariat Presiden)

Presiden Joko Widodo optimis Indonesia kelak bisa menjadi pemain utama dalam pengembangan ekosistem dan industri kendaraan listrik di dunia. Namun beberapa pakar menyerukan perluasan pasar domestik lebih dulu. 

Jokowi menyampaikan kesiapan Indonesia menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik global itu saat meresmikan ekosistem baterai dan kendaraan listrik PT. Hyundai- LG Indonesia (HLI) Green Power, di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7). Presiden menyebut pabrik ini sebagai fasilitas sel baterai electric vehicle (EV) pertama dan terbesar di Asia Tenggara.

“Saya sangat menghargai investasi yang telah dilakukan oleh Hyundai dan LG dan keputusan membangun (pabrik) sel baterai listrik terbesar di Asia Tenggara, ini yang pertama dan sekarang selesai, sudah berproduksi yang kita harapkan nanti kapasitasnya setiap tahun akan bertambah dan itu selanjutnya kita bisa masuk di supply chain global, golnya ke sana,” ungkap Jokowi.

Keyakinan Jokowi itu bukan tanpa alasan, karena Indonesia menurutnya memiliki semua elemen yang dibutuhkan untuk membangun dan mengembangkan ekosistem kendaraan listrik seperti bahan mineral mentah, smelter, prekursor dan lainnya.

“Saya yakin bahwa kompetisi kita dengan negara-negara lain akan kita bisa menangkan karena tambangnya ada di sini, nikel dan bauksitnya ada di sini, tembaganya ada di sini. Ada smelter, masuk ke katode dan prekursor, kemudian masuk ke EV baterai, kemudian pabrik mobilnya ada di sini, terintegrasi dalam sebuah ekosistem untuk mobil listrik. Siapa yang bisa menghadang kita kalau kondisinya sangat kompetitif seperti itu?,” tegasnya.

Presiden Joko Widodo meninjau pabrik baterai dan kendaraan listrik PT. Hyundai- LG Indonesia (HLI) Green Power, di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7) (Biro Pers Sekretariat Presiden)

Pabrik sel baterai listrik seluas 319.000 meter persegi ini merupakan usaha patungan (joint venture) antara Hyundai Motor Group dan LG Energy Solution dengan nilai investasi mencapai Rp160 triliun. Pada paruh pertama tahun 2024, kapasitas tahunan pabrik ini akan mencapai 10 GWh sel baterai, yang mana cukup untuk 150.000 kendaraan listrik.

Luhut: Lewat Pemutakhiran Teknologi, Indonesia Siap Jadi Pemain Kunci

Kesiapan untuk menjadi pemain kunci dalam industri kendaraan listrik ini juga disampaikan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang bahkan siap memutakhirkan teknologi yang ada.

“Indonesia siap menjadi pemain kunci dalam rantai pasokan global untuk kendaraan listrik, dari hulu sampai hilir, dengan ekosistem yang terintegrasi dan melibatkan para pemangku kepentingan internasional. Langkah strategis ini tidak hanya akan meningkatkan perekonomian kita, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja, mendorong inovasi dan pengembangan keterampilan di antara tenaga kerja kita,” ujar Luhut.

Jokowi menjajal kendaraan listrik di pabrik sel baterai kendaraan listrik PT Hyundai-LG Indonesia (HLI) Green Power. (biro Setpres)

Menurutnya, langkah pemerintah Indonesia dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik ini merupakan sebuah bukti dan komitmen yang kuat terhadap inovasi, pengelolaan lingkungan, penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi.

“Hari ini menandai tonggak penting dalam perjalanan Indonesia menuju pembangunan berkelanjutan dan kemajuan teknologi dengan meresmikan ekosistem baterai lithium dan kendaraan listrik di Indonesia,” tambahnya.

Target 600 Ribu Baterai Mobil Listrik pada Tahun 2030

Indonesia memiliki target 600 ribu kapasitas produksi Battery Electric Vehicle (BEV) di tahun 2030, sehingga produksi Kona Electric 50 ribu unit per tahun ini akan menambah kapasitas produksi Indonesia secara signifikan. Produksi ini diperkirakan dapat mengurangi emisi CO2 sekitar 160 ribu ton per tahun, mengurangi impor BBM 45 juta liter per tahun, serta penghematan subsidi BBM mencapai Rp131 miliar per tahun, dan akan bertambah seiring jumlah kendaraan yang beredar.

Pakar Serukan Perluasan Pasar Domestik Lebih Dulu

Diwawancarai VOA, ekonom dari Universitas Indonesia, Josua Pardede, membenarkan bahwa dengan berbagai potensi yang dimiliki, Indonesia bisa saja menjadi pemain utama dalam rantai pasokan dan industri kendaraan listrik global. Apalagi hilirisasi yang dilakukan dalam bahan mentah mineral seperti nikel bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi lainnya untuk Indonesia di masa yang akan datang.

Namun Josua menyarankan sebelum masuk ke pasar global, ada baiknya pemerintah memperbesar target pasar domestic dulu. Ini dikarenakan hingga saat ini pangsa pasar penjualan kendaraan listrik di tanah air masih sekitar tiga persen.

Presiden Joko Widodo meresmikan pabrik baterai dan kendaraan listrik PT. Hyundai- LG Indonesia (HLI) Green Power, di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu (3/7). (Biro Pers Sekretariat Presiden)

“Kalau kita bicara pricing masih relatif mahal. Kalau kita bicara demand dan tingkat kemampuan masyarakat untuk membeli memang masih lebih ke segmen LCGC yang harganya Rp200-300 juta. Artinya bagaimana nanti meningkatkan ekonomi upskilling-nya dulu dari industri EV agar harga dari mobil listrik ini bisa se-ekonomis yang LCGC karena pada akhirnya ya kalau EV nya yang ditawarkan masih mahal artinya demandnya masih belum ada. Dan meskipun komitmen pemerintah ini inline dengan program net zero emission pemerintah di tahun 2060,” ungkap Josua.

Selain itu, Josua berharap peresmian pabrik baterai sel kendaraan listrik hari Rabu (3/7) juga diikuti dengan investasi ekosistem kendaraan listrik lainnya, karena selama ini hilirisasi yang dilakukan khususnya yang terkait kendaraan listrik, masih belum signifikan dirasakan dampaknya langsung kepada masyarakat.

“Yang pasti kita berharap bahwa proses hilirisasi tadi end to end-nya semuanya bisa bisa terjadi di dalam negeri, sehingga akan ada dampak multiplier effect pada penyerapan tenaga kerja, karena permasalahannya kalau kita hanya dua step saja misalnya dari bahan mentahnya, itu kita gak dapat banyak. Artinya cuma kinerja ekspornya saja yang tinggi, tetapi apakah masyarakat sekitar merasakan hal yang sama? Ini bukan dalam konteks masalah lingkungan. Tetapi artinya tackle down effect-nya ke masyarakat belum terasa, karena ya prosesnya itu masih terjadi di luar, dan end to end-nya belum terjadi di Indonesia,” pungkasnya. [gi/em]