Presiden Joko Widodo menyebut tantangan ke depan tidak semakin mudah. Ia menjelaskan ketidakpastian global semakin menjadi-jadi menyusul perang antara Rusia dan Ukraina.
“Dulunya, ketidakpastian itu karena distrupsi teknologi, karena revolusi industri 4.0, tetapi ini ditambah lagi dengan pandemi, tambah lagi dengan perang di Ukraina, sehingga apa? Ketidakpastian global yang itu juga merembet kepada ketidakpastian negara-negara dimana pun di dunia ini menjadi semakin meningkat,” ungkapnya pada Pengarahan Rapim TNI-Polri, di Jakarta, Selasa (1/3).
Ia mencontohkan, dampak perang tersebut berimbas kepada naiknya harga bahan pangan akibat rantai pasokan global yang terganggu dan kelangkaan pangan, sehingga masyarakat harus membayar harga yang lebih mahal dari biasanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Kenaikan harga pangan tersebut, ujar Jokowi, tentu berdampak pada naiknya inflasi. Ia mencontohkan inflasi di Amerika Serikat sudah lebih dari tujuh persen, sementara negara-negara lain ada yang sudah mencapai 30 persen-50 persen. Ia juga mengatakan, perang tersebut juga berdampak kepada kelangkaan energi sehingga harga minyak mentah melambung hingga mencapai di atas USD100 per barel, dari sebelumnya yang hanya USD50 hingga USD60 per barel.
“Ini efek berantainya seperti itu, supaya kita ngerti betapa ketidakpastian itu menimbulkan tantangan yang tidak mudah. Oleh sebab itu, kerja sekarang tidak bisa makro saja tidak mungkin bisa menyelesaikan masalah, semuanya kerja makro, kerja mikro, makronya tahu, mikronya juga harus dikerjakan di lapangan,” jelasnya.
Jokowi mengatakan, untuk meminimalisir dampak tersebut pemerintah akan melakukan transformasi ekonomi. Jika sebelumnya ekonomi Indonesia hanya mengandalkan sektor konsumsi (yang besarannya mencapai 56-58 persen), ke depannya akan bertumpu pada sektor produksi.
Guna mencapai tujuan itu, pemerintah akan semakin menggencarkan hilirisasi industri. Jokowi menyebut sejak 400 tahun yang lalu Indonesia selalu mengekspor bahan mentah sehingga keuntungan yang didapat oleh negara tidak maksimal. Ke depannya, pemerintah tidak akan lagi melakukan itu.
“Oleh sebab itu, 2020 saya sudah sampaikan setop nikel, gak boleh ekspor nikel mentah. Kiriman harus minimal barang setengah jadi, berikutnya harus barang jadi, sehingga nilai tambah itu ada di sini. Nilai tambah itu akan terbuka lapangan pekerjaan yang gede di Indonesia, pajaknya bayar di Indonesia, pihak luar bayar di Indonesia. PPN bayar di Indonesia, PNBP ada di Indonesia, dapat semua kita di sini,” jelasnya.
BACA JUGA: 99 WNI Telah Dievakuasi dari UkrainaUntuk mengatasi kemungkinan kelangkaan energi, kata Jokowi, pemerintah akan mulai melakukan transformasi ke ekonomi hijau yang diyakini kelak akan menjadi kekuatan Indonesia. Menurutnya, Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar dalam hal ini yang tidak dimiliki oleh negara lain.
“Di situlah nanti pintu gerbang kita untuk membuka yang namanya ekonomi hijau Indonesia yang energinya di dapat dari PLTA, hydropower di Sungai Kayan, yang akan menghasilkan kira-kira sampai 12 ribu MW. Inilah kekuatan negara kita, karena kita mempunyai sungai 4400 sungai, lalu kita punya geothermal 29 ribu MW, ada angin, arus bawah laut, panas permukaan laut, tenaga surya/matahari semuanya bisa masuk ke energi hijau, ini kekuatan negara kita yang negara lain tidak punya,” paparnya.
Target Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2022 Kemungkinan Tidak Tercapai
Pengamat Ekonomi CELIOS Bhima Yudistira mengatakan, sentimen negatif eksternal yang berasal dari perang Ukraina-Rusia bisa berimbas kepada tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi tanah air tahun ini yang dipatok 5,2 persen oleh pemerintah.
Apalagi, sebelum terjadi perang, IMF sudah memprediksi akan ada perlambatan ekonomi global.
“Pertumbuhan ekonomi masih akan positif, tapi sulit untuk mencapai lima persen, jadi akan ada dikisaran 4-4,5 persen. Tetapi tidak akan minus karena kita masih diuntungkan dengan booming komoditas, yaitu batu bara dan sawit yang masih support,” ungkapnya kepada VOA.
Lebih jauh, Bhima menjelaskan setidaknya ada dua dampak yang bisa dirasakan oleh Indonesia akibat perang Ukrainia-Rusia. Pertama adalah transmisi perdagangan, di mana banyak harga komoditas akan mengalami kenaikan yang cukup siginifikan. Ia mencontohkan, Indonesia sebagai pengimpor gandum dari Ukraina akan mengalami gangguan yang cukup signifikan akibat adanya permasalahan ini.
Kedua adalah transmisi moneter. Guncangan geopolitik di Ukraina, ujar Bhima bisa memicu percepatan naiknya suku bunga acuan. Sehingga akhirnya, selain harga kebutuhan pokok menjadi lebih mahal, masyarakat juga akan dihadapkan kepada kenaikan bunga pinjaman, bunga KPR dan bahkan bunga kredit kendaraan bermotor.
Ia menyarankan, untuk mengatasi kenaikan harga bahan pokok pemerintah harus bisa memobilisasi harga kebutuhan pokok, dengan tidak lagi melemparkan harga ke mekanisme pasar.
“Karena bagaimana pun juga ada peran bulog maupun BUMN untuk melakukan stok ataupun pembelian pasokan meskipun harga saat ini mahal misalnya untuk kasus kedelai, harusnya tetap diserap oleh bulog, kemudian diberikan kepada pengrajin dengan harga yang wajar. Itu salah satu peran intervensi pemerintah untuk stabilitas pangan. Jadi kalaupun subsidi, subsidinya adalah ke bulog sehingga bisa lebih transparan dalam pengawasan,” jelasnya.
Kemudian, dari sisi energi keuntungan yang didapat oleh pemerintah dengan tidak menurunkan harga BBM pada tahun 2020 lalu bisa digunakan sebagai kompensasi untuk menahan kenaikan harga BBM dan gas elpiji tiga kilogram setidaknya sampai akhir tahun ini.
“Jadi sekarang pemerintah mengalami lonjakan penerimaan negara dari komoditas, jadi harusnya ada subsidi silang. Kalau penerimaan dari sisi komoditas meningkat baik pajak maupun PNBP bisa digunakan untuk realokasi ke subsidi energi yang lebih meningkat. Jadi apa memang yang terjadi di level internasional tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah, yang bisa dilakukan adalah mitigasi risiko dan dampaknya,” pungkasnya. [gi/ab]