Presiden Joko Widodo mengatakan gelombang digitalisasi di berbagai sektor bergerak lebih cepat akibat adanya pandemi COVID-19. Hal ini dibuktikan dengan maraknya inovasi di dalam teknologi perbankan, asuransi, dan transaksi keuangan lainnya yang berbasis digital. Sayangnya, perkembangan ini tidak seiring dengan peningkatan literasi keuangan sehingga banyak yang terjerat pinjaman online (pinjol) illegal.
“Tetapi pada saat yang sama saya juga memperoleh informasi banyak penipuan dan tindak pidana keuangan telah terjadi. Saya mendengar masyarakat bawah yang tertipu dan terjerat bunga tinggi oleh pinjaman online yang ditekan dengan berbagai cara untuk mengembalikan pinjamannya,” ungkap Jokowi dalam acara OJK Virtual Innovation Day 2021, di Istana Negara, Jakarta, Senin (11/10).
Maka dari itu katanya, perkembangan digitalisasi yang cepat ini harus dikawal dan sekaligus difasilitasi agar bisa tumbuh sehat untuk perekonomian masyarakat. Menurutnya, jika hal ini disikapi secara tepat dan cepat Indonesia berpotensi untuk menjadi raksasa digital setelah China dan India dan bisa membawa Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar ke-7 di dunia pada tahun 2030 mendatang.
Ia mengatakan, momentum gelombang digitalisasi ini harus disikapi dengan membangun ekosistem keuangan digital yang kuat dan berkelanjutan. Ekosistem keuangan digital ini, katanya, harus bertanggung jawab memitigasi risiko kemungkinan timbulnya permasalahan hukum dan sosial untuk mencegah terjadinya kerugian dan meningkatkan perlindungan kepada masyarakat.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga menekankan, pembiayaan financial technology (fintech) harus di dorong untuk kegiatan produktif yang bisa membangun kemudahan akses bagi masyarakat yang tidak terjangkau oleh layanan perbankan, serta membantu pelaku UMKM agar lebih banyak melakukan transaksi digital yang ia yakini akan membuat para UMKM tersebut naik kelas.
Presiden juga mengingatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan akselerasi literasi keuangan dan literasi digital yang tidak terpusat di pulau Jawa saja. Hal ini menurutnya, akan mempercepat transformasi keuangan digital hingga ke seluruh penjuru tanah air.
“Oleh karena itu saya minta seluruh industri jasa keuangan untuk melaksanakan program literasi keuangan dan literasi digital mulai dari desa, mulai dari pinggiran bukan hanya agar masyarakat bisa memanfaatkan jasa dari industri keuangan, tapi juga untuk memfasilitasi kewirausahaan mereka dengan risiko yang rendah,” jelasnya.
BACA JUGA: Satgas Waspada Investasi Hentikan Operasional 3.365 Pinjol IlegalPresiden berharap ekosistem keuangan digital yang tangguh dan berkelanjutan terus dijaga, agar dapat mendorong percepatan pergerakan ekonomi nasional yang inklusif serta berkontribusi lebih besar pada pemulihan ekonomi akibat pandemi COVID-19.
“Komitmen keberpihakan dan kerja keras bapak-ibu sekalian sangat ditunggu pelaku ekonomi, utamanya pelaku ekonomi kecil khususnya juga usaha mikro kecil dan menengah untuk segera bangkit dari dampak pandemi COVID-19 dan terfasilitasi memanfaatkan peluang-peluang baru yang bermunculan,” pungkasnya.
OJK Bekomitmen Memitigasi Risiko Transformasi Digital
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyatakan pihaknya berkomitmen kuat dan mengambil sikap pro aktif dalam memitigasi risiko siber yang mungkin muncul dari transformasi digital di sektor keuangan ini.
“Yang menjadi fokus adalah bagaimana cyber security harus ditingkatkan dan juga bagaimana perlindungan data pribadi juga menjadi perhatian kami yang bekerja sama dengan seluruh pemangku kepentingan agar masyarakat dapat terlindungi berkaitan dengan berbagai risiko tadi,” ungkap Wimboh.
Guna meningkatkan literasi keuangan digital kepada seluruh lapisan masyarakat, pihaknya juga bekerja sama dengan beberapa pihak lain seperti Asian Development Bank (ADB). Kolaborasi ini diharapkan dapat mengatasi tantangan kesenjangan pemahaman serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap berbagai produk dan jasa keuangan digital yang ditawarkan.
"Upaya nyata OJK dalam mengatasi kesenjangan tersebut, yakni melalui kerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) menyusun buku Fintech dan membuat modul program literasi keuangan digital dengan topik Peer to Peer Lending, didukung oleh World Bank dan akan segera launching," pungkasnya.
Teror Ekonomi
Director Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira keberadaan pinjol ilegal menimbulkan kerugian cukup besar. Bagaimana tidak, ia melihat ada pinjol ilegal yang membebankan bunga tinggi hingga di atas 300 persen dari pokok pinjaman.
“Itu sangat tidak adil, dan manusiawi. Kemudian pinjol ilegal bermain dengan pemberian denda keterlambatan yang tidak masuk akal, denda dengan bunga bisa lebih tinggi denda. Jadi ini sudah masuk kategori teror ekonomi,” ungkapnya kepada VOA.
Ia mengatakan, mengawasi pinjol ilegal ini terbilang sangat sulit karena tidak terdaftar dan berizin di bawah OJK, sehingga kecepatan regulator dalam memberantas semakin terhambat apalagi cukup banyak server pinjol ilegal yang berpusat di luar negeri.
“Ketika diblokir, dengan mudah si pinjol ini membuat marketing baru, atau aplikasi dan website yang baru. Jadi langkahnya regulator selalu kalah dengan pinjol ilegal. Apalagi ada kekosongan hukum karena tidak adanya UU Fintech, atau UU Perlindungan Data Pribadi, jadi sulit sekali mempindanakan pinjol ilegal,” jelasnya.
Bhima menyebut banyak faktor yang membuat masyarakat tergiur pada pinjol ilegal. Salah satunya adalah rasio kredit perbankan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang terlalu rendah. Bank Dunia mencatat rasio kredit perbankan terhadap PDB di Indonesia hanya mencapai 38,7 persen, jauh dibandingkan negara lain seperti Malaysia (134 persen), Thailand (160,3 persen) dan Singapura (132 persen) yang mengakibatkan sebagian besar populasi di tanah air belum mendapatkan akses pembiayaan yang merata dari lembaga perbankan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kemudian penetrasi digital sampai ke level pedesaan dan pada semua lapisan masyarakat jadi sasaran empuk pemasaran pinjol. Tinggal klik, isi formulir, uang ditransfer. Kemudahan yang ditawarkan pinjol ilegal ini membuat calon korban seakan tidak memiliki opsi lain ketika kebutuhan dana cepat meningkat. Mungkin ada yang di PHK karena pandemi, ada yang buat bayar kebutuhan anak sekolah, biaya kebutuhan pokok, yang akhirnya melihat pinjol ini jadi opsi pertama,” jelasnya.
Tips Menghindari Pinjol Ilegal
Ia berpesan kepada masyarakat, jika memang membutuhkan pinjaman dana untuk selalu mengecek apakah memang pinjol tersebut terdaftar atau berizin di bawah OJK yang bisa dengan mudah di cek langsung di website OJK. Kemudian, ia juga menekankan jangan mau untuk mengambil, menarik dan mengajukan pinjaman melalui SMS, karena tidak ada lembaga keuangan resmi yang menawarkan jasa atau produknya lewat SMS.
BACA JUGA: Literasi Keuangan, Upaya Melindungi Konsumen dari Dampak 'Pinjol'“Kemudian, bagaimana caranya pengawasan bagi masyarakat ini juga harus melibatkan institusi pendidikan, sehingga dari mulai usia dini bahaya soal pinjaman online, khususnya pinjaman illegal yang merugikan masyarakat karena literasi keuangan beberapa masih rendah. Jadi harus diitingkatkan literasi keuangan dengan cara mempelajari produk secara lebih detail, mempelajari kontrak. Jangan mau data pribadi terutama yang sensitif seperti nama ibu kandung, tanggal lahir, data yang ada di e-KTP, SIM itu diberikan begitu saja dengan foto-foto dan izin aplikasi untuk bisa mengakses galeri ini yang perlu diperhatikan,” katanya.
Ia menyarankan kepada masyarakat untuk sebisa mungkin meminjam dana kepada lembaga keuangan formal. Ia mencontohkan masyarakat bisa melakukan pinjaman usaha lewat Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada bank-bank BUMN, kemudian ada pembiayaan Ultra Mikro (Umi) yang bunganya sangat kecil dan proses pinjamannya relatif mudah, serta meminjam kepada koperasi, Bank Prekreditan Rakyat (BPR) maupun kredit tanpa agunan (KTA) di perbankan. [gi/ab]