Presiden Joko Widodo tidak berbicara banyak pasca anak sulungnya Gibran Rakabuming Raka yang baru-baru ini diusung oleh Partai Golkar menjadi cawapres Prabowo Subianto. Namun, sebagai orang tua, kata Jokow,i ia hanya bisa mendoakan dan merestui tanpa banyak ikut campur.
“Orang tua hanya tugasnya mendoakan dan merestui. Keputusan semuanya… karena sudah dewasa, jangan terlalu mencampuri urusan yang sudah diputuskan anak-anak kita,” ungkapnya saat menghadiri Apel Hari Santri Nasional 2023, di Tugu Pahlawan, Surabaya, Minggu (22/10).
Ditambahkan Jokowi, persoalan capres dan cawapres dalam kontestasi Pilpres 2024 sedianya ditanyakan kepada partai politik, karena menurutnya hal tersebut tidak berkaitan dengan dirinya.
“Tanyakan ke partai politik, itu wilayahnya partai politik atau koalisi partai politik atau gabungan partai poliitk. Bukan urusan presiden. Rapimnas Golkar ya urusannya Golkar. Urusannya apa Golkar melaporkan kepada presiden? Tambahnya.
Dalam kesempatan ini, Jokowi menyatakan bahwa dirinya mendukung semua capres dan cawapres yang akan bertarung di pesta demokrasi 2024 mendatang.
“Dukung semuanya untuk kebaikan negara ini. Semuanya cocok. Pak Anies dengan Pak Muhaimin cocok, Pak Ganjar dengan pak Mahfud cocok, Pak Prabowo juga cocok,”tuturnya.
Jokowi Effect
Sementara itu pengamat politik Pangi Syarwi Chaniago berpendapat bahwa apabila memang Prabowo Subianto akhirnya nanti menjatuhkan pilihannya kepada Gibran, maka pilihan tersebut semata-mata bukanlah karena elektabilitas Gibran yang tinggi melainkan karena Jokowi effect.
BACA JUGA: Golkar Resmi Dukung Gibran Jadi Cawapres Dampingi PrabowoBerdasarkan survei yang ada, sebenarnya elektabilitas Gibran masih jauh di bawah tokoh-tokoh lainnya seperti Erick Thohir, Khofifah Indar Parawansa, Ridwan kamil, sampai Agus Harimurti Yudhoyono.
“Terkesan Pak Prabowo ketergantungan kepada Pak Jokowi. Jadi kematangan dan kepercayaan diri untuk menang hanya seolah-olah kalau ada Jokowi di belakang Prabowo,” ungkap Pangi kepada VOA, Minggu (22/10).
Bersama Gibran, kata Pangi, Prabowo diyakini ingin menarik suara pemilih dari generasi milenial dan generasi Z yang setidaknya mencapai 53 persen.
Namun, ia menggarisbawahi tidak ada jaminan Prabowo bisa menarik suara kawula muda tersebut ketika berpasangan dengan anak sulung Jokowi.
“Apakah semudah itu kita mensimpilkasikan bahwa betulkah pemilih muda akan memilih yang muda? Kalau pemilih rasional dia tetap akan memilih dari sisi kompetensi, jam terbang, prestasi, kinerjanya,” jelasnya.
Lebih jauh, Pangi menuturkan jika Prabowo benar-benar memilih Gibran sebagai cawapresnya, maka penyelenggaraan pemilu yang adil, jujur dipertanyakan. Pasalnya, Jokowi sebagai presiden sekaligus ayah dari Gibran memunculkan kemungkinan adanya abuse of power dan konflik kepentingan.
BACA JUGA: Survei Capres RI: Prabowo Masih Unggul Tipis“Saya bukan persoalan anak muda, sebenarnya kita mendorong anak muda maju, ok tidak ada masalah. Tapi yang kita kritik adalah bukan pada dinasti politik, tapi abuse of power, pemilu yang tidak datar. Penyelenggara pemilunya partisan, Bawaslu partisan, penegak hukumnya partisan, fitur demokrasinya partisan,” jelasnya.
Ia menambhkan, “Aparat, penengak hukum, penyelenggara pemilu itu semuanya masih dalam kendali presiden. Pertanyaannya adalah memang bisa Jokowi tidak sayang anak? Orang tua mana yang tidak sayang sama anaknya? Potensi itu yang kemudian dibilang ya pokoknya harus menang. Itu yang repot. Itu yang kita khawatirkan, bahwa pemilu kita nanti tidak fair, tidak adil.”
Your browser doesn’t support HTML5
Ia pun menyayangkan sikap koalisi partai politik yang mendukung majunya Gibran sebagai cawapres ketika ayahnya masih menjabat sebagai presiden. Menurutnya, para parpol tersebut serta merta hanya mengamankan posisinya sehingga tidak memiliki banyak pilihan.
“Seperti sudah bertekuk lutut tanpa bisa ngapa-ngapain. Kasihan kader partai yang dibangun, katanya ada kaderisasi, partai itu berjenjang, tidak bisa instan, harus proses kaderisasi yang matang. Saya pastikan ideologi partai hampir berada di titik nadir yang paling rendah. Gampang orang datang dan pergi, pindah-pindah partai. Seperti tidak punya loyalitas, tidak punya harga diri,” pungkasnya. [gi/ah]