Barangkali anda pernah membaca atau mendengar slogan penanaman satu juta pohon di suatu wilayah. Atau, lebih spektakuler lagi, penanaman satu miliar pohon oleh lembaga pemerintah. Entah bagaimana menghitungnya, yang jelas sebagai slogan kalimat itu bagi Presiden Joko Widodo terasa kosong.
Berbicara dalam peringatan Hari Menanam Pohon di Gunungkidul, Yogyakarta, Sabtu (9/12), Jokowi menyentil anggaran penanaman pohon yang begitu besar. Begitu besar, kata presiden, bahkan seharusnya laut pun sudah dapat ditanami pohon lewat anggaran itu.
“Karena biasanya, setiap tahun itu kita melihat, kalau pas Hari Menanam Pohon di Indonesia, yang ditanam satu miliar pohon. Kemudian, di setiap daerah ada program satu juta pohon. Saya hitung-hitung, kalau sudah sekian tahun, sekian puluh tahun, itu sampai laut-laut itu sudah ada pohonnya. Artinya, apa angka itu. Satu juta, satu miliar itu apa?,” ujar Presiden Jokowi.
Dengan gaya yang khas, presiden meminta target penanaman yang realistis. Seperti dalam kesempatan di Yogyakarta pekan lalu, yang mematok target penanaman 45.000 pohon oleh 3.000 petani. Jokowi berjanji akan mengecek, apakah penanaman ini sekadar seremonial belaka, atau berlanjut dengan program perawatan dan pengelolaan yang terpadu.
Program satu miliar pohon adalah warisan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada 2010, pemerintah ketika itu meluncurkan program Penanaman 1 Miliar Pohon dengan motto “Satu Miliar Pohon Indonesia untuk Dunia” atau “One Billion Indonesian Trees for the World”. Target itu diklaim tercapai sehingga diulang pada tahun berikutnya, meski tidak diperoleh kepastian bagaimana angka itu dipenuhi.
Suratimin, aktivis penghijauan Gunungkidul mengaku bisa memahami kegalauan Jokowi. Peraih penghargaan Kalpataru tahun 2013 ini, mempunyai pengalaman nyata menghijaukan kawasan karst di wilayahnya. Bukan hanya soal menanam, katanya, tantangan terberat penghijauan justru mengelola kawasan agar lestari.
Salah satu caranya, ujar Suratimin, adalah mempersiapkan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk memahami fungsi penghijauan itu sendiri.
“Seharusnya masyarakatnya itu ditata betul terlebih dahulu. Betul-betul programnya dari bawah. Kalau program Pak Jokowi ini benar-benar dari pinggiran, ya yang diperhatikan harus dari bawah dahulu. Tidak hanya seremonial saja,” kata Suratimin. “Harus dilihat apakah di kawasan itu ada kelompok pengelolanya, kalau tidak ada, apakah lewat tokoh-tokoh yang berprestasi. Itu akan lebih mudah mendekatkan ke masyarakat. Karena kalau hanya menanam, itu kan mudah. Siapa saja bisa menanam, tetapi merawatnya bagaimana,” kata dia menambahkan.
Proses penghijauan kawasan juga harus mempertimbangkan sisi ekonomi. Masyarakat yang merawat hutan, harus dapat memperoleh pendapatan atas apa yang dilakukannya. Misalnya, sebagian tanaman diperuntukkan konservasi, namun juga diselingi tanaman produktif yang dapat dimanfaatkan kayunya dalam periode 5-10 tahun.
“Kalau pengelola hutan rakyat memperoleh manfaat kayu, pemerintah tidak perlu berpikir soal penghijauan lagi. Karena secara otomatis mereka akan melakukan penanaman,” kata Suratimin.
Dalam model yang lain, upaya penghijauan wilayah dikaitkan dengan upaya pelestarian air bagi masyarakat. Tomon Hartowirosobo, Kepala Desa Wonokero, Sleman, Yogyakarta, rutin mengadakan kegiatan penanaman pohon di kawasan lereng Gunung Merapi. Untuk menarik peran serta aktif masyarakat, Tomon menekankan pentingnya mata air bagi kehidupan mereka.
“Ini evolutif, pelan-pelan dengan penyadaran. Pemerintah desa membuat kebijakan untuk merubah perilaku masyarakat. Makanya kami kaitkan dengan pentingnya air bagi masyarakat. Ketika mereka sadar tidak bisa hidup tanpa air, maka menanam pohon otomatis dilakukan,” kata Tomon.
Di kawasan ini, upaya penghijauan juga dilakukan dengan pendekatan budaya. Masyarakat menyelenggarakan Kenduri Pohon, sebagai gabungan antara pelestarian seni, penyadaran lingkungan dan kampanye penghijauan. Mahasiswa perguruan tinggi juga dilibatkan, termasuk berbagai komunitas pendukung.
“Kita ini tidak mungkin sekonyong-konyong berhasil. Juga tidak bisa memakai pola perintah dari atas. Harus atas kesadaran masyarakat, lalu difasilitasi. Kami ini berada di lereng Merapi, menjaga pasokan air di wilayah bawah. Jadi, butuh kesadaran bersama pentingnya hutan,” tambah Tomon.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Daerah Istimewa Yogyakarta, Halik Sandera, mengkritisi program penghijauan yang disertai alih fungsi hutan lindung. Pemerintah menanam di sini, tetapi menghancurkan atau membiarkan penghancuran oleh pihak swasta di lokasi lain. Secara matematis, bukan tidak mungkin justru posisinya defisit, di mana pohon yang ditebang jauh lebih banyak dari yang ditanam.
“Misalnya, kawasan hutan di Gunung Slamet, Jawa Tengah yang menjadi lokasi Pembangkit Listrik Panas Bumi. Wilayah itu sebenarnya adalah kawasan hutan lindung yang tidak boleh dialihfungsikan. Belum lagi di kawasan Sumatera, Kalimantan atau Papua,” kata Halik.
Halik menambahkan, untuk kesuksesan program penghijauan, penetapan kawasan penyangga yang bermanfaat ekonomi, akan membantu masyarakat menjaga kawasan hutan lindung. Halik memberi contoh, penanaman pohon buah mengelilingi hutan lindung mendorong masyarakat mengambil manfaat kebun buah, dan membiarkan kawasan lindung tetap lestari.
Dalam pelaksanaan program penghijauan, masyarakat dan pemerintah harus memiliki pola pikir yang sama. Halik menggarisbawahi pentingnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan program ini secara berkelanjutan. Sangat tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengawasi sendiri pengelolaan kawasan setelah penghijauan dilakukan. Halik menyebut kawasan semacam ini sebagai wilayah kelola rakyat.
“Menanam di lokasi yang kritis itu menjadi sebuah kewajiban. Tetapi juga harus melindungi kawasan-kawasan yang memang seharusnya menjadi kawasan lindung. Kalau kami biasanya menyebutnya wilayah kelola rakyat, dan wilayah inilah yang harus dilindungi dan diakui oleh negara. Proses pengelolaan oleh masyarakat secara berkelompok dalam skala kecil itu yang harus didorong,” kata Halik Sandera menjelaskan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, lahan kritis di Indonesia kini seluas sekitar 24,3 juta hektar, dari luas wilayah hutan mencapai 190 juta hektar.
Mulai tahun ini, KLHK menggunakan kode batang atau bar code sebagai penanda pohon untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi perkembangan tanaman. Kode batang ini berisi informasi koordinat dan nama pohon dan tersambung dengan sistem di kementerian. Selain itu, KLHK juga memprogramkan penyediaan bibit gratis sebanyak 50 juta batang per tahun.
Your browser doesn’t support HTML5