Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki meyakini pembangunan pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan minyak makan merah (red palm oil/RPO) mini berbasis koperasi bisa menjadi solusi untuk menyerap tandan buah segar (TBS) sawit dari petani.
Pasalnya, sejak terjadi pelarangan ekspor CPO dan turunannya bahkan hingga kebijakan tersebut dicabut, para petani sawit masih kesulitan untuk menjual hasil panennya.
“Presiden tadi sudah menyetujui untuk pembangunan (pabrik) minyak makan merah berbasis koperasi. Ini saya kira akan menjadi solusi karena 35 persen produksi sawit atau CPO ini berasal dari petani mandiri, petani swadaya. Kalau dilihat dari luas lahannya 41 persen lebih. Jadi ini cukup," ungkap Teten.
Pemerintah, ujarnya menargetkan pembangunan pabrik CPO dan RPO mini berbasis koperasi ini dimulai pada Januari 2023. Adapun investasi yang dibutuhkan untuk membangun satu pabrik CPO dan RPO mini ini mencapai Rp23 miliar dengan return of investment (ROI) selama 4,3 tahun.
"Jadi dalam model kami si koperasi membeli tunai TBS-nya dari petani sehingga si petani itu tidak lagi dipusingkan harus menjual sawitnya ke mana. Lalu koperasi mengolahnya menjadi CPO dan menjadi RPO dan kemudian mereka pasarkan,” lanjutnya.
Pabrik kecil tersebut ditargetkan dapat memproduksi 10 ton minyak makan merah per hari dari 50 ton sawit. yang setara dengan hasil sawit dari kebun seluas 1.000 hektare.
"Sekarang sudah ada sebenarnya beberapa koperasi petani sawit yang luasan lahannya di atas 1.000 hektare. Ini sudah siap, baik yang di Sumatra Utara, Riau, Bengkulu, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan. Tapi Presiden sekali lagi minta piloting dulu. Ini juga kami nanti akan kerja samakan juga dengan PTPN (PT Perkebunan Nusantara, red)," katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Ia menjelaskan, sebelum pembangunan pabrik mini berbasis koperasi ini disetujui, teknologi untuk memproduksi minyak makan merah sudah dirancang oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) di Kota Medan. Teten berharap PPKS dapat segera membuat detail engineering design (DED) sehingga mesin tersebut bisa segera diproduksi untuk menjadi proyek pilot.
"Nanti ya kita akan putuskan (pilotnya di mana), tapi salah satunya ya tentu Sumatra, Kalimantan, tapi ada koperasi-koperasi yang juga secara keuangan mereka bisa membangun sendiri dengan keuangan dan mereka juga kan koperasi ini punya anggota cukup besar dan anggotanya juga UMKM kan," jelasnya.
Terkait minyak makan merah, Teten mengklaim, kualitasnya lebih unggul dibandingkan dengan minyak goreng sawit pada umumnya. RPO memiliki kandungan protein dan vitamin A yang tinggi dan dapat mencegah stunting pada anak. Dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebih murah, ia yakin RPO akan bisa mengatasi kelangkaan dan menstabilkan harga minyak goreng curah di pasar dalam negeri.
Pemerintah, ungkap Teten, berharap ke depannya solusi ini dapat menstabilkan harga TBS petani dan suplai minyak goreng di dalam negeri. Selain itu, kesejahteraan para petani sawit dapat segera membaik.
"Ya ini optimalisasi jadi hilirasi sawit rakyat yang selama ini mereka jual sawitnya ke industri. Mereka selalu ada problem dengan harga TBS yang tidak stabil, atau mereka terlambat diserap itu susut 20 persen kan semalam, sehingga petani dirugikan. Kalau sekarang petani mengolahnya sendiri dengan punya pabrik pengolahan CPO dan RPO-nya, saya kira nilai tukar petani akan baik, kesejahteraan petani akan lebih baik," tandasnya.
Solusi Terbaik
Ketua Asosiasi Petani Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengapreasiasi keputusan pemerintah tersebut. Pasalnya, selama ini petani sawit rakyat atau petani swadaya bergantung sepenuhnya kepada pabrik kelapa sawit (PKS) besar untuk menjual hasil panennya.
“Itulah biang keroknya. Begitu, terjadi larangan ekspor kalau kita lihat kemarin urutannya itu paling aman sementara itu adalah pabrik refinery , turun ke bawah adalah PKS, turun ke bawah itu lagi adalah petani sawit. Kalau kita lihat dari urutannya itu, yang paling aman refinery dimana bisa bertahan enam bulan , kalau PKS paling tiga bulan , tapi kalau petani sawit cuma bertahan dua hari sawitnya. Oleh karena itu rencana pendirian pabrik kelapa sawit dan pabrik minyak goreng yang terintegrasi dengan perkebenunan kepala sawit rakyat, itu 100 persen kami dukung,” ungkapnya kepada VOA.
Lebih jauh Gulat menjelaskan, kebijakan ini merupakan salah satu usulan dari para petani untuk mengakhiri kekisruhan industri sawit di dalam negeri. Menurutnya, apabila hal ini tidak dilakukan maka masalah yang sama akan terulang kembali.
Para petani, kata Gulat, juga memberikan usulan lain untuk mengakhiri kegaduhan industri sawit di dalam negeri, yakni menurunkan atau bahkan menghilangkan pungutan ekspor dari kelapa sawit ini, yang mana hal tersebut sudah dikabulkan.
Kedua, pihaknya meminta pembangunan pabrik CPO dan RPO mini berbasis koperasi ini di setiap provinsi. Ketiga, para petani juga meminta hanya ada satu referensi penetapan harga CPO yakni harga referensi Kementerian Perdagangan berdasarkan Permendag no 55 tahun 2015.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah selama pabrik tersebut belum dibangun petani masih akan menjual hasil panennya ke negeri tetangga Malaysia karena harganya yang lebih baik? Gulat pun menjawab, selama harga CPO di tanah air dan Malaysia cenderung berbeda jauh, maka petani tidak mempunyai pilihan.
“Jadi apakah petani masih menjual ke Malaysia, sepanjang disparitasnya jauh sekali antara negara tetangga dengan Indonesia itu tetap akan terjadi. Itu hanya bisa diputus kalau harga TBS petani Indonesia dengan Malaysia itu tidak jauh berbeda. Cara agar untuk tidak jauh berbeda adalah dongkrak harga TBS, caranya? Yaitu tadi PE sudah diturunkan, dinolkan malah, kami minta juga flush out (FO) dihilangkan supaya beban CPO Indonesia hanya bea keluar,” pungkasnya. [gi/ab]