Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa taget di bawah tiga persen sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada.
"Defisit APBN tahun 2023 makin mengecil, yaitu sebesar Rp598,2 (triliun) atau 2,84 persen. Ini secara konsisten melaksanakan Perpu 1 2020 atau Undang-Undang 2 2020 yaitu konsolidasi fiskal di mana pada tahun 2023 defisit harus dijaga di bawah 3 persen dari GDP," ungkap Menkeu Sri Mulyani, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (1/12).
Menkeu menjelaskan, selama kurang lebih tiga tahun APBN telah telah digunakan untuk menanggulangi pandemi COVID-19. Menurutnya, anggaran negara tersebut senantiasa melindungi masyarakat dan perekonomian dalam masa-masa yang cukup sulit. Maka dari itu, langkah pengetatan kebijakan fiskal dan moneter perlu ditempuh oleh pemerintah untuk kembali menyehatkan APBN.
“Saatnya APBN mulai disehatkan kembali. Risiko dari perekonomian serta APBN bergeser dari tadinya pandemi menjadi risiko global, terutama karena kenaikan barang-barang yang berhubungan dengan pangan dan energi yang menyebabkan inflasi global melonjak tinggi yang kemudian menimbulkan respon kebijakan dalam pengetatan moneter dan kenaikan suku bunga,” tuturnya.
Postur APBN 2023, kata Menkeu, juga dirancang untuk menghadapi berbagai potensi krisis, termasuk pangan, energi dan keuangan.
“Ekonomi global di sisi lain dengan inflasi tinggi dan pengetatan moneter diperkirakan juga akan mengalami stagflasi dan tensi geo politik meningkatkan juga risiko dari non ekonomi. APBN 2023 dirancang sebagai instrumen untuk tetap menjaga optimisme dengan terus meningkatkan kewaspadaan terhadap perubahan dari risiko global,” tuturnya.
Ia memaparkan pendapatan negara pada tahun depan ditargetkan mencapai Rp2.463 triliun dan berasal dari sektor perpajakan sebesar Rp2.021 triliun, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp441,4 triliun, dan hibah Rp0,4 triliun. Sementara itu, belanja negara tahun depan mencapai Rp3.061,2 triliun, yang terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp2.246,5 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp814,7 triliun.
"Untuk belanja negara, seperti tadi telah disampaikan oleh Bapak Presiden, fokusnya pada yang pertama dan paling penting adalah belanja untuk meningkatkan kualitas SDM (sumber daya manusia)," jelasnya.
Belanja negara, katanya, juga akan difokuskan pada penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN), infrastruktur untuk mendukung transformasi ekonomi, dan pengembangan ekonomi hijau, termasuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Pemerintah juga terus memperluas, memperkuat, dan mereformasi jaring pengaman sosial dengan memperbaiki dan memperbarui data-data kemiskinan masyarakat rentan melalui Survei Register Ekonomi dan Sosial.
Menkeu Sri Mulyani juga memerinci alokasi anggaran pada APBN 2023 untuk sektor pendidikan mencapai Rp612,2 triliun, yang terdiri atas pemerintah pusat sebesar Rp237,1 triliun, transfer ke daerah sebesar Rp305,6 triliun, dan pembiayaannya sebesar Rp69,5 triliun.
"Untuk bidang kesehatan, tidak hanya anggarannya Pak Menkes yang disampaikan, ada anggaran Rp178,7 triliun di mana belanja dari pemerintah pusat Rp118,7 triliun, transfer ke daerah 60 triliun," imbuhnya.
Sementara itu, anggaran untuk bantuan-bantuan sosial dalam rangka memberikan perlindungan pada saat terdapat berbagai “guncangan” mencapai Rp476 triliun, yang terdiri atas anggaran pemerintah pusat sebesar Rp454,7 triliun, transfer ke daerah sebesar Rp17 triliun, dan pembiayaan sebesar Rp4,3 triliun.
Terkait ketahanan pangan,ujar Menkeu,pemerintha akan menganggarkan sebesar Rp104,2 triliun, yang terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp81,7 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp22,5 triliun. Untuk sektor energi, yang termasuk di dalamnya untuk subsidi dan kompensasi, sebesar Rp341,3 triliun.
"Infrastruktur tahun depan mencapai Rp392,1 triliun di mana belanja pusat adalah Rp211,1 triliun, transfer ke daerah Rp95 triliun, dan pembiayaan Rp86 triliun. Terakhir, pertahanan keamanan, TNI-Polri, dan seluruh yang melaksanakan itu termasuk tahapan pemilu mencapai Rp316,9 triliun," tandasnya.
Apakah Postur APBN 2023 Cukup Ideal?
Ekonom CORE Indoensia Muhammad Faisal melihat bahwa pemerintah memang sedang melakukan pengetatan baik dari fiskal maupun moneter. Hal tersebut, katanya, terlihat dari sisi belanja negara dan insentif yang banyak dikurangi.
Namun, menurutnya, pemerintah terus menggenjot target penerimaan negara dengan mencari sumber-sumber penerimaan =baru. Padahal, menurutnya, sumber penerimaan negara pada tahun depan tidak akan sebanyak tahun ini, terutama yang eksternal.
“Di tahun depan karena faktor global tidak sama lagi, jadi potensi dari penerimaan sebetulnya agak sedikit berkurang dari sisi eksternalnya. Sehingga kalau target penerimaan kan justru naik, Rp2.400-an triliun, itu kan lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yang Rp2.200 triliun. Jadi artinya kalau faktor luarnya itu tidak lebih banyak dibanding tahun ini jadi yang dikejar dalam negeri, ini yang perlu hati-hati karena ini berdampak nanti terhadap ke sektor riil. Kalau banyak terlalu dikuras atau dikejar dari sisi penerimaan,” ungkap Faisal kepada VOA.
Menurutnya, hal tersebut menimbulkan kehawatiran di kalangan pelaku usaha, apalagi banyak insentif yang dikurangi lewat normalisasi kebijakan pada tahun depan. Menurutnya, pemerintah harus sangat berhati-hati dalam melakukan normalisasi kebijaka karena banyak tantangan baru yang sedang menanti.
Ia menyarankan kepada pemerintah untuk menentukan skala prioritas khususnya tetap memberikan insentif pada sektor yang cukup rentan. Pasalnya, katanya, masih banyak sektor yang masih belum pulih akibat dihantam pandemi COVID-19.
“Target (defisit) di bawah tiga persen mungkin masih bisa menurut saya , tapi harus melihat skala prioritas itu tadi yakni dari kebutuhan masing-masing sektor dan dari sisi skala industri. Misalkan industtri besarnya sudah bisa OK, tapi UKM-nya belum karena melihat dari efek pandemi, berarti yang insentif untuk UKM-nya jangan dihilangkan dulu seperti banpres untuk usaha mikro, jangan dulu dikurangi,” katanya.
“Contohnya, barusan kita ada PHK di industri tekstil, atau alas kaki. Ini berarti kalau dibandingkan dengan sebelumnya industri tekstil ini adalah salah satu sektor yang paling rentan untuk menghadapi 2023 yang dikhawatirkan lebih buruk kondisinya di sisi global , karena industri ini berorientasi pasar global. Sehingga pengurangan insentif juga jangan untuk industri seperti ini, jangan dikurangi dulu. Jadi ada skala prioritas yang menurut kondisi sektor. Detail seperti itu yang harus dilihat untuk tahun depan,” pungkasnya. [gi/ab]