Ketika berbincang dengan Presiden Joko Widodo dalam World Economic Forum yang dilangsungkan secara virtual hari Kamis (20/1), Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) Klaus Schwab mengatakan Indonesia masih memiliki ketergantungan yang cukup besar pada batu bara. Ia mempertanyakan komitmen Indonesia untuk mempercepat transisi penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan ke depan.
“Kita memerlukan transisi energi berkelanjutan bersama dengan negara berkembang lainnya. Pembangkit listrik di Indonesia masih bergantung pada batu bara. Apa pendorong utama bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi?” tanya Schwab pada Jokowi.
Senada dengan yang telah disampaikan dalam KTT COP26 di Glasglow beberapa waktu lalu, Jokowi kembali menggarisbawahi komitmen untuk memulai transisi ke energi yang lebih ramah lingkungan.
Meskipun demikian presiden mengatakan transisi ini membutuhkan pendanaan yang sangat besar dan akses pada teknologi hijau.
Menurutnya, bagi negara berkembang seperti Indonesia harus ada dukungan teknologi dan pendanaan agar tidak terlalu membebani keuangan negara, industri dan masyarakat. Jokowi minta bantuan kepada negara maju untuk mewujudkan hal tersebut.
“Indonesia misalnya membutuhkan $50 miliar untuk transformasi menuju ke energi baru terbarukan dan butuh $37 miliar untuk sektor kehutanan guna lahan dan karbon laut. Indonesia dan negara berkembang meminta kontribusi negara maju untuk pembiyaaan dan transfer teknologi. Sumber pendanaan dan alih teknologi akan jadi game changer pengembangan skema pendanaan inovatif harus dilakukan,” ungkap Jokowi.
Presiden menyatakan dalam mewujudkan transisi menuju penggunaan energi hijau, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Diperlukan kerja sama baik domestik maupun global sehingga percepatan transisi ini bisa dilakukan dengan baik. Di dalam negeri sendiri, kata Jokowi, pihaknya telah bekerja sama dengan BUMN energi dan swasta untuk segera mendesain transisi energi yang cukup adil dan terjangkau oleh masyarakat. Sedangkan pada taraf internasional, pihaknya bekerja sama dengan Asian Development Bank (ADB).
Lebih jauh Klaus mempertanyakan kontribusi Indonesia pada gerakan global untuk menuju masa depan yang lebih hijau dengan menggunakan aset negara?
Jokowi menjelaskan pemerintahnya telah memiliki peta jalan untuk menuju nol emisi karbon atau net zero emission pada tahun 2060, termasuk net sink sektor kehutanan dan lahan pada 2030. Indonesia, tambah Jokowi, juga telah memberikan stimulus hijau kepada para pelaku usaha untuk mendorong peningkatan realisasi ekonomi hijau.
BACA JUGA: Jokowi: Transisi Menuju Energi Baru Terbarukan Butuh Biaya Sangat TinggiIndonesia juga telah melakukan upaya konservasi dan restorasi lingkungan yang diklaimnya berhasil dilakukan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Jokowi mengatakan bahwa laju deforestasi turun signifikan sampai 75 persen pada periode 2019-2020 di angka 115.000 hektare. Sementara itu, kebakaran hutan juga disebut turun drastis, di mana titik hot spot pada tahun 2021 tercatat hanya 1.300 turun dari 8.900 hot spot pada tahun 2014.
“Kemudian restorasi lahan gambut juga berjalan dengan baik dari 2016-2021 3,7 juta ha telah kita lakukan. Rehabilitasi mangrove juga dilakukan secara besar-besaran di tahun ini," kata Jokowi.
Misalnya 2020-2021, lanjutnya, Indonesia telah merehabilitasi 50.000 hektar hutan mangrove dan target pemerintah adalah dapat merehabilitasi hingga 600.000 hektare sampai 2024.
"Saya kira ini terluas di dunia dengan daya serap karbon empat kali lipat dibandingkan hutan tropis, bahkan dengan below ground mangrove dapat capai 10-12 kali lipat,” jelasnya.
Pemerintah, tambah Presiden, juga telah menerbitkan green sukuk sebagai skema pembiayaan inovatif untuk pembiayaan agenda pembangunan yang ramah lingkungan dan juga adanya penerbitan government bond dengan kategori enviromental social dan governance. Pihaknya, juga telah mewacanakan penerapan pajak karbon untuk menangani krisis perubahan iklim.
“Indonesia berpotensi menjadi Global Market Leaders dalam skema perdagangan karbon dunia bahkan di prediksi mampu mengalahkan potensi perdagangan karbon di Peru, Kenya dan Brazil sebagai sesama negara yang memiliki luasan hutan tropis terbesar di dunia,” tuturnya.
BACA JUGA: Sejumlah Perusahaan Inggris akan Investasi dalam Proyek Ramah Lingkungan IndonesiaLangkah Konkret
Pengamat Ekonomi CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan sebenarnya Indonesia tidak perlu menunggu insentif dari negara maju untuk melakukan transisi pengunaan energi hijau mengingat berbagai potensi yang dimiliki.
Ia mencontohkan, wacana pemberlakukan pajak karbon yang dapat digunakan untuk menstimulus dan memberikan insentif kepada perusahaan pembangkit listrik untuk segera beralih kepada energi baru dan terbarukan (EBT).
Selain itu, dalam 20 tahun terakhir penggunaan EBT sebenarnya sudah bisa lebih murah jika dilihat dari segi kelayakan bisnis, dan harga kekonomian sehingga mulai bisa terjangkau oleh konsumen, swasta dan industri.
Your browser doesn’t support HTML5
Adapun langkah OJK yang meluncurkan taksonomi hijau merupakan langkah awal yang baik dan cukup kongkret, tambahnya. Taksonomi hijau sendiri merupakan daftar yang memuat berbagai perusahaan yang klasifikasinya dinilai memenuhi syarat standar lingkungan hidup yang tinggi.
Dengan begitu, perusahaan tersebut layak diberikan insentif dari pemerintah atau diperbolehkan menerbitkan obligasi hijau atau green bond sehingga bisa mendapatkan prioritas pendanaan dari lembaga keuangan karena dianggap memiliki komitmen tinggi dalam menjaga lingkungan.
“Jadi seharusnya kita tidak berada dalam tahap excuses, soal kita butuh waktu lebih lama. Jangan disamakan Indonesia dengan negara maju, biayanya juga mahal, harusnya kita melakukan langkah-langkah kongkret. Kalau enggak nanti kasian Indonesia mungkin akan terkucil dari negara-negara lain, karena dianggap komitmennya lemah terhadap arah EBT atau green economy secara umum,” ungkap Bhima kepada VOA. [gi/em]