Presiden Joko Widodo meyakini Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara atau ASEAN mampu menjadi katalisator perdamaian dunia. Bukan hanya menjadi epicentrum of growth atau pusat pertumbuhan, tetapi juga dapat menjadi epicentrum of harmony yang menjaga stabilitas kawasan dan perdamaian dunia.
“Saya yakin masyarakat ASEAN mampu menjadi katalisator perdamaian dunia,” ujar Jokowi dalam sambutannya saat membuka konferensi ASEAN Intercultural and Interreligious Dialogue (IIDC) 2023 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Senin (7/8).
Lebih lanjut Presiden mengatakan di tengah maraknya konflik global, negara-negara ASEAN memiliki komitmen yang sama untuk menjadikan organisasi tersebut sebagai jangkar perdamaian dunia, serta menjadi teladan dalam hal toleransi dan persatuan.
Pada kesempatan itu, Jokowi juga menyinggung masyarakat dunia yang semakin tidak religius. Ia mengutip hasil studi IPSOS Global Religion 2023 yang dilakukan terhadap 19.731 responden dari 26 negara. Studi itu menunjukkan 29 persen dari responden tersebut menyatakan sebagai penganut agnostik dan ateis. Dan menurut data Pew Research Center, dengan menggunakan nama agama dan kepercayaan, jumlah kasus kekerasan fisik malah semakin meningkat.
Namun, Jokowi tetap meyakini bahwa masyarakat ASEAN justru memiliki semangat keagamaan yang semakin meningkat. Indonesia misalnya, kata Presiden, adalah negara yang masyarakatnya paling percaya Tuhan dan angkanya tertinggi di dunia.
“Menurut Pew Research Center, 96 persen responden di Indonesia menyakini bahwa moral yang baik ditentukan kepercayaan kepada Tuhan,” tukasnya.
Menurutnya, ASEAN telah menunjukan bukti. Negara-negara ASEAN, antara lain Indonesia, telah berhasil mempertahankan tradisi toleransi yang kuat di tengah keberagaman budaya dan agama. Indonesia mampu terus menjaga kerukunan dan mengelola keragaman etnisitas, suku, budaya, agama dan kepercayaan.
Dalam kesempatan itu, Presiden juga menyambut hangat peran konstruktif para pemimpin agama dan budaya di ASEAN dalam pertemuan IIDC yang diprakarsai oleh Pengurus Besar Nahdatul Ulama dan Kementerian Luar Negeri.
Kredibilitas Agama
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama Yahya Cholil Staquf menjelaskan para pemimpin agama secara keseluruhan mengekspresikan keinginan untuk mengupayakan nilai-nilai agama, moral dan etika yang “diinspirasi” agar dapat ikut mempengaruhi kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik, baik secara domestik maupun nasional. Hal tersebut terungkap dalam penyelenggaraan forum antaragama yang dihadiri negara-negara G20 dan juga negara lainnya pada November 2022.
Untuk mengupayakan hal itu, kata Yahya, kredibilitas agama harus dipulihkan dengan mengatasi terlebih dahulu masalah-masalah yang ada di dalam agama. Para pemimpin agama tersebut telah mengindentifikasi bahwa memang di dalam setiap ajaran agama, terdapat unsur-unsur wawasan keagamaan yang bisa dijadikan pembenaran atau bahkan memicu pertentangan dan konflik antaragama.
BACA JUGA: Aktivis Keberagaman Sesalkan Keluarnya Surat Edaran MA tentang Pernikahan Beda Agama“Nah unsur-unsur wawasan keagamaan yang seperti ini harus di-rekontekstualisasi (revitalisasi -red) supaya agama-agama bisa bergerak bersama-sama ke arah koeksistensi damai yang lebih jujur, tulus dan lebih asli. Berakar pada nilai-nilai ajaran agama itu sendiri,” kata Yahya.
Para pemuka agama itu, kata Yahya, mengakui bahwa agama perlu melakukan sesuatu secara bersama-sama untuk mengembalikan kredibilitas agama sebagai sumber moralitas. Caranya dengan menggalang para pemimpin atau otoritas agama di lingkungan masing-masing untuk meninjau kembali terhadap unsur-unsur wawasan keagamaan tersebut.
Dialog Antaragama
Sementara itu Direktur The Wahid Institute, Yenny Wahid, menekankan perlunya penguatan dialog antaragama di negara-negara ASEAN agar bisa saling melindungi, terutama terhadap kelompok minoritas di negara masing-masing.
“Muslim di Indonesia bisa berkomunikasi dengan muslim Rohingya di Myanmar, misalnya, dan kita bisa meminta kepada Pemerintah Myanmar agar bisa lebih meminta kepada Pemerintah Myanmar agar lebih memperhatikan kepentingan masyarakat minoritas muslim di sana. Demikian juga sebaliknya, kita juga harus memberikan perlindungan kepada masyarakat minoritas di Indonesia, misalnya Buddha,” kata Yenny.
Ia berpendapat Indonesia bisa memainkan peran yang besar dalam mendesak negara-negara di ASEAN untuk membuat mekanisme dalam melindungi kaum minoritasnya. Dan untuk itu, Indonesia harus dapat menjadi contoh.
Your browser doesn’t support HTML5
Yenny menuturkan bahwa kawasan ASEAN adalah permadani dengan beragam keyakinan dan praktik keagamaan. Hal tersebut bisa dilihat dari negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, seperti Thailand dan Myanmar, negara-negara mayoritas Islam seperti Indonesia, Malaysia dan Brunei, dan negara-negara Kristen seperti Filipina.
Hampir semua negara ASEAN, ujar Yenny, memiliki populasi minoritas yang signifikan seperti Sikhm Yahudi, Baha’i dan tradisi-tradisi agama lokal. [fw/ah]