Juru Bicara Presiden RI Fadjroel Rachman mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo selalu terbuka atas kritik yang dilayangkan kepada pemerintahannya selama dua tahun ini. Menurutnya, berbagai kritikan dan demonstrasi dari masyarakat kepada pemerintah menandakan bahwa demokrasi di Tanah Air berjalan dengan cukup baik.
“Jadi kami ingin mengatakan bahwa adanya demonstrasi dari semua pihak di masyarakat, adanya kritik, kami ingin mengatakan bahwa demokrasi di Indonesia, tetap berjalan dan sedang baik-baik saja, karena kalau tidak ada kritik itu berarti demokrasi tidak berjalan di republik ini," ungkap Fadjroel kepada wartawan, di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (22/10).
Terciptanya ruang demokrasi yang diklaim berjalan dengan baik ini, kata Fadjroel, dibuktikan dengan tidak pernah marahnya Jokowi terhadap kritikan pedas yang dilayangkan oleh masyarakat. Ia mencontohkan, ketika BEM Universitas Indonesia (UI) yang menyebut Jokowi sebagai “The King of Lip Service” di media sosial yang membuat pihak Rektorat UI langsung memanggil perwakilan BEM UI untuk meminta pertanggungjawaban. Jokowi pun langsung mengingatkan untuk tidak melakukan tindakan yang berlebihan.
Lalu, ada juga kasus seorang peternak asal Blitar bernama Suroto yang membawa poster bertuliskan “Pak Jokowi Bantu Peternak Beli Jagung dengan Harga Wajar” saat Jokowi melakukan kunjungan kerja. Menanggapi hal itu, Presiden malah memanggil peternak tersebut ke Istana untuk menyampaikan terima kasih secara langsung karena dengan poster tersebut Jokowi bisa mengetahui permasalahan yang ada di lapangan.
Fadjoroel menambahkan ketika ada yang menyalurkan kritik lewat mural yang salah satunya menggambarkan wajah Jokowi yang disertai tulisan 404: Not Found yang menutupi mata Presiden, justru Jokowi malah meminta Kapolri agar tidak reaktif terhadap pelaku mural tersebut.
Presiden, kata Fadjroel, selalu melakukan evaluasi dan monitoring dalam menjalankan tugas konstitusionalnya. Karena sejatinya di dalam konstitusi tugas Presiden adalah selalu menjaga atau mempromosikan hak asasi manusia (HAM) termasuk hak konsitusional setiap warga negara Indonesia (WNI).
“Makanya kalau ada kritik masyarakat dari mahasiswa, dari media, atau manapun, Presiden Jokowi, dan kami selalu mengucapkan terima kasih dan kemudian bergembira berarti kritik itu masih tetap ada dan demokrasi tetapi hidup di dalam republik ini. karena nggak ada kritik, nanti kita tidak tahu di mana ada kekeliruan,” paparnya.
Negara Otoriter
Pengamat Politik Ujang Komarudin melihat bahwa sejak reformasi 1998, transisi demokrasi yang berjalan di Tanah Air tidak berjalan mulus. Berdasarkan hasil publikasi dari ilmuwan dunia yang dirils oleh berbagai lembaga internasional katanya, menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia telah mengalami penurunan dalam kurun waktu 14 tahun terakhir.
“Teorinya, kita ini sedang menjalani masa transisi demokrasi, dari reformasi 1998 menuju demokrasi yang sesungguhnya, yang bagus. Dalam transisi itu kita musti melakukan konsolidasi demokrasi," ungkapnya kepada VOA.
BACA JUGA: Survei Indikator: Tren Kepuasan Publik atas Pelaksanaan Demokrasi MenurunKonsolidasi demokrasi Indonesia pasca reformasi, katanya, tidak berjalan dengan baik. Bahkan dinilai cenderung kehilangan substansinya.
"Saya khawatir kalau konsolidasi demokrasi di masa transisi tidak jalan maka kita akan kembali ke negara otoriter. Itu terjadi di Amerika Latin,” tukas Ujang.
Indikasi negara yang otoriter tersebut, katanya, terlihat dari tindakan represif aparat penegak hukum kepada rakyat, kemudian ketakutan masyarakat yang mengkritik pemerintah. Padahal seharusnya, berbagai kritik tersebut harus menjadi bahan evaluasi pemerintah untuk melakukan berbagai perbaikan kebijakan demi kesejahteraan rakyat.
“Mustinya, evaluasi dari rakyat musti didengar, ini kan negara bukan milik elite, bukan oligarki, ini milik rakyat, milik kita semua. Jadi mereka ada karena ada rakyat,” tuturnya.
Lebih lanjut, Ujang melihat kebijakan yang dibuat oleh Jokowi-Ma’ruf selama dua tahun ini juga cenderung bersebrangan dengan rakyat. Ia mencontohkan adanya revisi Undang-Undang (UU) KPK, dan UU Omnibus Law Cipta Kerja yang tidak dikehendaki rakyat. Hal ini, katanya, diperparah dengan koalisi pemerintahan yang gemuk, yang berakibat tidak berfungsinya parlemen sebagai wakil rakyat dengan maksimal. Dengan begitu makna demokrasi semakin menghilang.
“Jadi, itu tidak ada check and balances, berbahaya, makanya tidak ada oposisi, artinya oposisinya minimalis. Sering saya katakan kita ini membutuhkan pemerintahan yang kuat, tapi di saat yang sama kita juga membutuhkan oposisi yang kuat dan tangguh," katanya. [gi/ah]