Kandungan gula dalam minuman manis kembali menjadi sorotan, setelah pengguna akun Twitter @Gandhoyy mendapatkan somasi dari PT Esteh Indonesia Makmur, menyusul cuitan yang diduga mengandung penghinaan.
Akun twitter @Gandhoyy tersebut memprotes betapa manisnya salah satu produk minuman yang bernama Chizu Red Velvet, yang diibaratkannya mengandung gula sebanyak 3 kilogram.
Dalam cuitannya, ia juga menuliskan kadar manis dalam minuman tersebut bisa menyebabkan diabetes. Cuitan yang viral ini menimbulkan kekhawatiran di masyarakat terkait tingginya kadar gula dalam minuman manis yang beredar.
Gita Kusnadi, peneliti di Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) mengatakan permasalahan ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Menurutnya, diperlukan intervensi pemerintah untuk mengendalikan konsumsi minuman manis, salah satunya dengan penerapan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
“Kami menilai, pemerintah perlu melakukan satu dorongan kebijakan komprehensif yang lebih kuat, dalam hal ini pengenaan cukai MBDK. Karena kami sudah melakukan kajian secara komprehensif, kalau pengenaan cukai MBDK ini terbukti efektif untuk menurunkan tingkat konsumsi minuman manis di masyarakat itu melalui mekanisme kenaikan harga. Jadi kalau dikenakan cukai harganya akan naik dan itu akan men-discourage masyarakat untuk membeli,” ungkapnya kepada VOA.
Gita menjelaskan, hal ini penting untuk dilakukan. Berdasarkan data dari International Diabetes Federation (IDF), jumlah penderita diabetes di Tanah Air pada tahun 2021 mencapai 19,5 juta penduduk. Angka tersebut, katanya, diprediksi akan semakin meningkat ke level 28,6 juta penduduk di tahun 2045 apabila pemerintah tidak melakukan intervensi yang berarti.
“Di Thailand, contohnya, penerapan cukai pada produk MBDK dalam dua tahun mampu menurunkan tingkat konsumsi masyarakat akan produk minuman berkarbonasi (salah satu jenis produk MBDK) hingga 18 persen,” kata Gita
Selama ini, katanya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan memang telah melakukan tindakan promotif lewat Peraturan Kemenkes Nomor 30 Tahun 2013 tentang pencantuman informasi gizi seperti kadar gula, garam dan lemak (GGL) dalam setiap produk minuman atau makanan siap saji/olahan yang beredar di masyarakat.
Namun, selain masih banyak produsen yang tidak mematuhi aturan tersebut, banyak masyarakat yang belum mengetahui berapa besar konsumsi maksimal GGL per harinya. Pihak Kemenkes sendiri, katanya, sudah merekomendasikan batasan untuk mengkonsumsi gula sebanyak 50 gram atau setara dengan empat sendok makan per hari.
Meski begitu, menurutnya upaya promotif dan penerapan cukai MBDK belum cukup untuk mengendalikan konsumsi minuman manis di masyarakat. Menurutnya, dua kebijakan tersebut harus disertai dengan intervensi lainnya, termasuk melakukan pengetatan food atau drink labeling.
“Di beberapa negara lain ada, misalnya, label peringatan. Jadi produk ini kandungan gulanya segini, sudah memenuhi kira-kira berapa persen asupan gula dalam sehari. Atau ada juga yang pake traffic light merah, kuning, hijau. Kalau hijau berarti kandungan gulanya masih rendah. Tapi kalau merah, berarti harus diwaspadai karena kandungan gulanya cukup tinggi,” jelasnya.
Intervensi lainnya, kata Gita, adalah pembatasan penayangan iklan makanan dan minuman yang tidak sehat. Kebijakan yang sudah dilakukan terhadap produk rokok tersebut menurutnya bisa ikut menurunkan ketertarikan masyarakat untuk mengkonsumsi minuman dan makanan yang tidak sehat.
“Ada studi yang mengatakan kalau anak-anak di Indonesia khususnya di Yogyakarta, mereka lebih sering terekspose iklan makanan dan minuman yang tidak sehat, salah satunya MBDK, dibandingkan dengan anak-anak lain di Shanghai, Korea dan seterusnya. Jadi memang eksposure dari iklan untuk makanan dan minuman yang tidak sehat untuk produk MBDK di Indonesia masih sangat kuat,” jelasnya.
Rencana Penerapan Cukai MBDK
Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani mengatakan meskipun kebijakan penerapan cukai untuk MBDK sedang dipersiapkan, tetapi ia belum bisa memastikan kapan akan benar-benar diberlakukan.
“Untuk implementasinya bisa jalan atau belum, bisa di tahun 2023 tentunya akan melihat dari banyak faktor yang nanti dihadapi dan dijalani di tahun depan,” ungkapnya kepada VOA.
Adapun faktor yang dilihat, kata Askolani, adalah kesehatan, pemulihan ekonomi nasional, serta perkembangan situasi global dan domestik.
“Sehingga harus dipertimbangkan secara komprehensif,” tambahnya.
Waspadai Dampak Konsumsi Gula Berlebih
Sementara itu, Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan konsumsi gula berlebih, baik dari makanan atau minuman, berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan seperti gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus.
Dalam siaran persnya, Maxi menjelaskan, menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), telah terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia. Berdasarkan data tahun 2013 menunjukkan prevalensi diabetes sebesar 1,5 permil meningkat pada tahun 2018 menjadi 2 permil. Demikian juga gagal ginjal kronis dari 2 permil menjadi 3,8 permil, sementara stroke meningkat dari 7 permil menjadi 10,9 permil.
''Tentunya ini akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan di Indonesia. Terlebih lima penyebab kematian terbanyak di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular,'' jelasnya.
Data Kemenkes, katanya. menunjukkan bahwa 28,7 persen masyarakat Indonesia mengkonsumsi GGL di atas batas yang dianjurkan.
Ia menjelaskan, sebanyak 61,27 persen penduduk usia tiga tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari, dan 30,22 persen orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu. Sementara itu, hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali per bulan.
Mazi juga menyoroti peningkatan prevalensi berat badan berlebih atau obesitas pada anak, yang menurutnya naik dua kali lipat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Data tahun 2015 menunjukkan prevalensi berat badan berlebih pada anak-anak usia 5-19 tahun naik dari 8,6 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada 2016.
Ia mengklaim, pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan strategi dalam mengendalikan konsumsi GGL, termasuk dalam aspek regulasi, refomulasi pangan, penetapan pajak/cukai, studi/riset, dan edukasi. Salah satunya lewat Permenkes No 30/2013 yang diperbaharui dengan Permenkes No 63/2015 Tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. [gi/ab]