Junta Myanmar kembali menunda proses pengadilan terhadap pemimpin yang digulingkan Aung San Suu Kyi, Senin (26/4), kata tim pengacaranya, sewaktu mereka berusaha mendapatkan izin untuk mengunjunginya 12 pekan setelah ia ditahan.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan peraih Nobel itu pada kudeta 1 Februari, dan mendorong negara itu kembali ke pemerintahan junta setelah eksperimen singkat dengan demokrasi.
Banyak warga turun ke jalan-jalan untuk menunjukkan protes, sementara pasukan keamanan melakukan tindakan brutal untuk memadamkan pemberontakan besar-besaran.
Sementara itu Suu Kyi telah menjalani tahanan rumah, setelah junta menggugatnya dalam enam kasus, termasuk penghasutan dan kepemilikan walkie-talkie tanpa izin. Tetapi pergerakan kasusnya sekali lagi ditunda hingga 10 Mei, kata pengacaranya Min Min Soe, Senin (26/4) setelah sidang.
Dua belas pekan sejak Suu Kyi ditahan, Min Min Soe mengatakan dan rekan-rekannya masih belum menerima izin untuk bertemu dengan klien mereka secara langsung, salah satu dari banyak rintangan yang dihadapi tim.
"Ketika hakim bertanya kepada polisi pada tahap mana penyelidikan mereka saat ini, mereka tidak bisa menjawabnya secara spesifik," katanya kepada AFP, seraya menambahkan bahwa Suu Kyi frustrasi dengan proses yang lambat itu.
"Saya pikir ia tidak mendapatkan akses untuk menonton berita dan TV. Saya kira ia tidak tahu situasi yang terjadi di negaranya saat ini," katanya.
BACA JUGA: Aung San Suu Kyi Hadapi Dakwaan BaruSelain tidak dapat bertemu dengan Suu Kyi, penonaktifan data seluler yang diberlakukan oleh junta juga telah mencegah berlangsungnya konferensi video dalam sidang-sidang sebelumnya.
Tuduhan paling serius yang dihadapi Suu Kyi berdasarkan undang-undang kerahasiaan negara dijadwalkan akan disidangkan di Yangon pada 6 Mei.
Protes nasional berlanjut Senin (26/4), dengan demonstran memegang poster-poster yang bertuliskan "Bebaskan para pemimpin kami" dan mengibarkan bendera merah yang dihiasi dengan merak emas, simbol partainya Suu Kyi, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Junta membenarkan perebutan kekuasaannya dengan mengklaim bahwa mereka melindungi demokrasi, karena menurut mereka, telah terjadi kecurangan dalam pemilihan umum November yang dimenangkan oleh NLD secara telak.
Sejak kudeta, pasukan keamanan telah menewaskan lebih dari 750 orang, menurut sebuah kelompok pemantau lokal.
Junta melaporkan jumlah korban tewas yang jauh lebih rendah, dan malah menuding para "perusuh" sebagai penyebab terjadinya kekerasan. [ab/uh]