Dua mantan pemimpin redaksi media yang kini ditutup di Hong Kong hari Senin (31/10) diajukan ke pengadilan karena menerbitkan konten “menghasut.” Ini merupakan tuntutan hukum terbaru terhadap para wartawan di pusat bisnis tersebut.
Pasal penghasutan, dari era kolonial Inggris, telah digunakan para jaksa selain UU keamanan nasional yang baru, sewaktu China menindak keras pembangkang setelah protes prodemokrasi tiga tahun silam.
Chung Pui-kuen, 52, dan Patrick Lam, 34, bersama-sama didakwa bersama perusahaan induk Stand News, Best Pencil Limited, “bersekongkol untuk menerbitkan dan mereproduksi publikasi yang menghasut.”
Kedua jurnalis itu, yang telah ditahan selama 10 bulan terakhir, menyatakan diri tidak bersalah dan diancam hukuman maksimal dua tahun penjara jika divonis bersalah.
Stand News adalah portal berita daring populer yang memberikan liputan yang rinci dan kerap bersimpati kepada protes demokrasi Hong Kong dan tindakan keras yang mengikutinya.
Polisi keamanan nasional menggerebek kantor-kantornya akhir tahun lalu dan membekukan aset perusahaan senilai $7,8 juta. Stand News ditutup tidak lama kemudian dan menghapus kontennya.
Para jaksa menuduh Chung dan Lam “menyulut kebencian” terhadap pihak berwenang dengan 17 artikel dan tiga video yang diterbitkan di Stand News.
Pengadilan itu dipimpin oleh Kwong Wai-kin, hakim Pengadilan Distrik yang ditunjuk pemerintah untuk mengadili pelanggaran terkait keamanan nasional.
Pasal penghasutan digunakan oleh pemerintah kolonial Inggris terhadap surat kabar kiri yang pro-China pada tahun 1950-an dan 1960-an selama periode kerusuhan sosial.
BACA JUGA: Polisi Hong Kong Gerebek Media Berita Online Stand NewsPasal ini tidak lagi digunakan selama puluhan tahun hingga polisi menggunakannya setelah protes prodemokrasi besar-besaran yang beberapa kali disertai kekerasan pada tahun 2019.
Lebih dari 220 orang – sebagian besar dari mereka adalah aktivis, mantan anggota parlemen terpilih, tokoh serikat pekerja dan jurnalis – telah ditangkap atas tuduhan terkait keamanan nasional sejak Beijing memberlakukan UU tersebut pada pertengahan 2020. Sekitar seperlima dari mereka yang ditangkap telah dikenai tuduhan penghasutan.
Para pengecam mengatakan kampanye keamanan nasional Hong Kong telah melenyapkan kebebasan dan mulai mengubah sistem hukum kota itu.
Beijing mengatakan ketertiban telah dipulihkan setelah demonstrasi.
Awal tahun ini, Hong Kong merosot 68 posisi dalam peringkat kebebasan pers tahunan Wartawan Tanpa Tapal Batas (RSF) menjadi peringkat ke-148, diapit oleh Filipina dan Turki.
Dalam laporan pertama RSF pada tahun 2002, Hong Kong termasuk yang memiliki media paling bebas di Asia dan menduduki peringkat 18 dunia. [uh/ab]