Jurnalis Indonesia Desak Filipina Hentikan Kriminalisasi Maria Ressa

Maria Ressa, jurnalis dan CEO situs web berita Filipina, Rappler, berfoto sebelum menghadiri konferensi pers yang digelar Wartawan Tanpa Tapal Batas, di Paris, Perancis, 11 September 2018.

Kriminalisasi terhadap CEO Rappler Maria Ressa mendapat kecaman dari jurnalis di Indonesia.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak pemerintah Filipina untuk menghentikan intimidasi serta tuntutan hukum terhadap jurnalis Filipina yang juga CEO Rappler Maria Ressa.

Ketua AJI Abdul Manan menilai kasus hukum yang menjerat Maria sarat dengan muatan politik. Karena selama ini, kata dia, Rappler terkenal sebagai media yang kritis terhadap pemerintah Filipina.

Maria Ressa ditangkap pada Rabu (13/2) di kantor Rappler di Pasig City, Filipina atas tuduhan kasus kejahatan siber. Maria kemudian dibebaskan pada Kamis (14/2) setelah membayar jaminan sebesar 100 ribu peso atau sekitar Rp72 juta.

BACA JUGA: Jurnalis Filipina yang Ditahan Telah Dibebaskan dengan Jaminan

​"Saya kira ini motif politiknya sangat kuat. Karena itu kami sebagai organisasi jurnalis memberikan dukungan moral kepada Maria agar tidak goyah dan maju terus dengan prinsip-prinsip Rappler selama ini," jelas Abdul Manan kepada VOA, Kamis (2/14).

Abdul Manan menambahkan tuduhan kejahatan siber juga kerap digunakan menjerat jurnalis di Indonesia, melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). AJI mencatat ada 3 kasus kriminalisasi UU ITE dari 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia sepanjang 2018.

Sejumlah jurnalis di Jakarta memberikan dukungan moral kepada Maria Ressa, Kamis, 14 Februari 2019. (Foto: AJI Jakarta)

"Jadi UU Siber itu dalam banyak kasus sering dipakai untuk menakut-nakuti atau membungkam media yang kritis terhadap pemerintahan. Menurut saya kecenderungan berbahaya yang harus disikapi dan perlu dukungan solidaritas regional," imbuhnya.

Manan menuturkan dukungan regional untuk melawan kriminalisasi jurnalis melalui tudingan kejahatan siber diperlukan untuk mencegah kasus serupa terjadi di wilayah lainnya. Khususnya di wilayah Asia Tenggara.

Sementara itu, Koordinator Asia Tenggara untuk Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Ratna Ariyanti, mengatakan tindakan aparat hukum Filipina yang menjerat Maria tidak berdasar. Sebab artikel Rappler yang dipersoalkan telah terbit sebelum Filipina mengesahkan UU Kejahatan Siber.

Your browser doesn’t support HTML5

Jurnalis Indonesia Desak Filipina Hentikan Kriminalisasi Maria Ressa

"Ini bukan lagi ancaman terhadap Maria Ressa sebagai jurnalis atau individu atau institusi Rappler sebagai media. Tapi juga lebih luas lagi mengancam kebebasan pers di Filipina. Kita lihat bahwa belakangan kebebasan pers di Filipina semakin memprihatinkan," jelas Ratna.

Selain kekerasan berupa penangkapan, penahanan dan pembunuhan, kata Ratna, pers di Filipina juga dihadapkan dengan serangan digital. Hal ini seperti yang dialami media-media alternatif dan organisasi jurnalis The National Union of Journalists of the Philippines (NUJP). Akibatnya situs lembaga-lembaga tersebut tidak dapat diakses oleh publik.

"Saya sangat bangga sekali atas keterlibatan rekan-rekan jurnalis di Indonesia pada hari ini untuk memposting atau mensupport melalui kampanye digital melalui media sosial. Saya kira pesan ini sangat baik dan disampaikan ke rekan-rekan Filipina, bahwa mereka tidak sendiri," imbuhnya.

Maria Ressa dalam sampul depan majalah Time setelah terpilih sebagai salah satu "Persons of the Year" oleh majalah itu.

Maria dijerat dengan menggunakan UU Kejahatan Siber karena artikel yang dipublikasikan Rappler pada 29 Mei 2012. Laporan berjudul "Hakim Agung Gunakan Kendaraan SUV Milik Pengusaha Kontroversial" (CJ using SUVs of controversial businessman) ditayangkan di situs Rappler sebelum Filipina mengesahkan UU Kejahatan Siber.

Dalam artikel disebutkan bahwa bekas Hakim Agung Renato Corona menggunakan kendaraan yang terdaftar atas nama pengusaha Wilfredo Keng yang diduga terlibat dalam perdagangan obat-obatan terlarang dan perdagangan manusia. Dalam laporan tersebut Rappler telah memenuhi unsur keberimbangan dengan mewawancarai Keng dan memuat kutipannya.

BACA JUGA: Majalah Time Tetapkan Wartawan sebagai "Person of the Year"

Tak puas dengan artikel itu, Keng melayangkan gugatan pada 2017 atau 5 tahun setelah Rappler mempublikasikan artikel tersebut. Rappler memandang pelaporan kasus ini tidak berdasar dan mengada-ada. Bahkan Kepala Unit Kejahatan Siber NBI Manuel Eduarte juga sempat menghentikan investigasi pada Februari 2018 karena tidak menemukan dasar yang kuat untuk meneruskan tuntutan. Namun, delapan hari kemudian, NBI kembali membuka kasus ini dan menyerahkan berkas ke Kementerian Kehakiman. Bermodalkan teori bahwa Rappler terus menerus menayangkan artikel tersebut, NBI berubah pikiran dan memandang kasus ini masih layak untuk dilanjutkan. [ab/em]