Jurnalis Indonesia Veby Mega Mencari Jawaban dari Polisi Hong Kong

  • Associated Press

Veby Mega Indah, jurnalis asal Indonesia, saat diwawancarai Associated Press di kawasan Wan Chai, Hong Kong, 4 Desember 2019. (Foto: AP)

Sudah lebih dari dua bulan sejak satu matanya dibutakan oleh, yang menurutnya, proyektil yang ditembakkan polisi anti huru-hara Hong Kong, Video Jurnalis asal Indonesia, Veby Mega Indah, masih mencari jawaban.

Pada 29 September, Veby berada di antara sekelompok wartawan yang meliput satu dari ratusan bentrokan antara anggota polisi bersenjata dan demonstran anti-pemerintah yang terjadi hampir setiap hari selama enam bulan terakhir.

“Saya sedang streaming siaran langsung saat itu. Pada satu titik, ada beberapa demonstran yang muncul..polisi mengarahkan tembakan ke arah mereka. Saya mendengar seseorang, seorang rekan wartawan di belakang saya, berteriak “Jangan tembak! Jangan tembak. Kami semua wartawan,” kata Veby.

“Beberapa saat kemudian saya mendengar suara letusan dan saya melihat asap dari tangga, kemudian proyektil itu langsung mengenai mata kanan saya,” tutur dia.

Kasus yang dialami Veby menggambarkan risiko yang dihadapi para pekerja media saat meliput unjuk rasa yang makin diwarnai kekerasan.

Wartawan perempuan berusia 39 tahun itu bekerja untuk Suara Hong Kong News, media yang menyajikan berita-berita untuk ribuan tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Hong Kong. Berita-berita dari Suara Hong Kong News juga menjadi sumber informasi bagi keluarga dan teman-teman para TKI di Indonesia dan di luar negeri.

“Saya tetap akan menjadi wartawan. Saya masih ingin meneruskan pekerjaan saya. Saya masih belum tahu sampai sejauh mana saya bisa melakukannya. Ini pertanyaan yang selalu membuat saya terjaga pada malam hari."

Veby Mega Indah, jurnalis asal Indonesia, dibantu oleh beberapa orang saat cedera, di Hong Kong, 29 September 2019. (Foto: AP)

Sembari menunggu, Veby, bergantung sebagian kepada bantuan dari gerejanya.

Menurut kesaksian para wartawan Associated Press di lokasi tempat Veby cedera, para polisi sedang mundur dari jembatan pejalan kaki di distrik Wan Chai. Para wartawan, termasuk Vebu, berdiri terpisah dari para demonstran. Mereka mengenakan rompi kuning untuk identitas mereka, helm dengan stiker, dan mengenakan kartu pers yang dikalungkan di leher.

Polisi mengatakan mereka mengambil tindakan untuk merespons para demonstran yang melemparkan benda-benda dari jembatan.

Veby didampingi seorang pengacara yang membantu menindaklanjuti kasusnya dengan Kepolisian Hong Kong. Namun sejauh ini hasilnya nihil.

“Dan sejauh ini, saya tidak melihat penyelidikan yang menyeluruh meski saya sudah mengajukan keluhan,” katanya.

“Keadilan menjadi sangat penting untuk kasus saya karena ini bukan hanya tentang saya. Ini juga soal keadilan bagi semua orang yang terluka di Hong Kong,” katanya.

BACA JUGA: Jurnalis Indonesia Tertembak di Hong Kong Saat Meliput

Juru bicara Kepolisian Hong Kong, Kong Wing-cheung, pada 29 November membantah bahwa polisi lamban dalam menindaklanjuti kasus Veby.

Dinas yang bertanggung jawab menangani keluhan terhadap polisi sudah berbicara dengan pengacara Veby. Namun hal itu “melibatkan banyak prosedur hukum,” kata Kong.

Penggunaan kekerasan oleh polisi untuk membubarkan demonstran, awak media, dan anggota masyarakat, menjadi salah satu pemicu gerakan unjuk rasa tetap berlangsung. Para kritikus mengatakan satuan keamanan yang dulunya dihormati makin sering menggunakan taktik brutal tanpa ampun dan menuntut komisi independen untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan tersebut.

Anggota DPRD Claudia Mo membawa kasus Veby pada Rabu (4/12) ke Sekretaris Keamanan Hong Kong John Lee. Sayangnya, Lee malah mengarahkan perhatian ke upaya perlindungan diri polisi dan contoh kasus langka demonstran yang menyamar menjadi wartawan untuk memfasilitasi aktivitas mereka. [ft/dw]