Pada 14 Agustus, jurnalis Turki Erdal Emre berbagi refleksinya tentang lawatan media baru-baru ini di Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang di barat laut China.
"Perjalanan #Xinjiang kami dengan teman-teman jurnalis dari delapan media telah selesai. Lawatan itu adalah perjalanan di mana kami belajar banyak. Kami akan menulis tentang kesan kami. Kami menyampaikan terima kasih yang tulus kepada rekan-rekan kami di China atas keramahtamahan mereka," tulis Emre di platform media sosial X pada Rabu (14/8).
Emre adalah bagian dari kelompok yang terdiri dari 11 jurnalis Turki yang berpartisipasi dalam "Media Trip in Xinjiang: Always More to Discover," sebuah lawatan yang disponsori bersama oleh Guangming Online dan Komisi Urusan Dunia Maya Xinjiang. Lawatan itu berlangsung selama sembilan hari.
BACA JUGA: Aktivis HAM Sebut Terdapat Peningkatan dalam Penahanan terhadap Pengungsi Uyghur di TurkiTur mengunjungi sejumlah kota, termasuk Urumqi, Ili, Aksu dan Kashgar, kota-kota di utara dan selatan Xinjiang, dan para jurnalis diawasi secara ketat oleh otoritas China.
Guangming Online, cabang digital dari Guangming Daily yang dikendalikan negara, beroperasi di bawah arahan Partai Komunis China. Komisi Urusan Dunia Maya Xinjiang, sebuah departemen pemerintah daerah, bertanggung jawab mengawasi sensor internet dan pengelolaan konten online di Xinjiang.
Guangming Daily melaporkan bahwa inisiatif ini bertujuan untuk “menunjukkan secara jelas Xinjiang yang indah” yang ditandai dengan “persatuan, harmoni, kemakmuran, kemajuan, keamanan, dan kesejahteraan ekologis.”
Zhang Jun, direktur Komisi Urusan Dunia Maya Xinjiang, mengatakan dalam laporan berita bahwa tujuannya adalah untuk melawan kritik dan mempromosikan citra positif wilayah tersebut.
“Kami berharap semua orang akan memahami Xinjiang dengan melihatnya dengan mata kepala sendiri, menceritakan kisah Xinjiang dalam berbagai bahasa, dan membagikan Xinjiang yang sebenarnya kepada dunia,” kata Zhang dalam laporan tersebut.
Upaya China untuk menampung jurnalis internasional di Xinjiang adalah bagian dari tanggapan China terhadap tuduhan pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Tuduhan tersebut mencakup penahanan massal, yang oleh Amerika Serikat (AS) disebut sebagai genosida dan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Laporan menunjukkan bahwa warga Uighur dan Muslim Turki menghadapi indoktrinasi paksa, pelecehan, kerja paksa, dan sterilisasi di fasilitas-fasilitas tersebut.
BACA JUGA: AS Larang Impor dari Lima Perusahaan China terkait Kerja Paksa UyghurStrategi ini sejalan dengan arahan Presiden China Xi Jinping mulai Juli 2022 untuk meningkatkan upaya propaganda eksternal. Xi menekankan pentingnya menggunakan berbagai platform untuk “menceritakan kisah Xinjiang” dan menyajikan kawasan ini dengan sudut pandang yang baik, serta menganjurkan pendekatan multifaset untuk meningkatkan pengaruh global China dan membentuk persepsi terhadap Xinjiang.
Menurut Abdürreşit Celil Karluk, profesor hubungan internasional di Universitas Ankara Hacı Bayram Veli dan peneliti tamu di Fakultas Studi Asia Timur Universitas Sheffield, China secara strategis mengeluarkan dana untuk mempengaruhi opini publik Turki melalui saluran media.
Kampanye tersebut menargetkan negara yang menampung salah satu diaspora Uighur terbesar dan paling aktif secara politik di dunia. Kelompok hak asasi manusia memperkirakan ada 50.000 hingga 75.000 warga Uighur yang tinggal di Turki. [ab/ka]