Saham Twitter sempat melambung Selasa setelah beredar berita palsu bahwa perusahaan ini menerima tawaran untuk dibeli seharga $31 miliar (Rp 413 triliun).
Berita tersebut, yang mengutip sumber-sumber tidak bernama ini diterbutkan di sebuah website yang tampilannya dibuat mirip dengan situs berita Bloomberg. Situs tersebut mulai terdaftar hari Jumat, menurut sebuah direktori, namun identitas orang maupun perusahaan yang mendaftarkan situs tersebut tidak dapat dirilis kepada publik.
Juru bicara Bloomberg Ty Trippet mengatakan berita tersebut "tidak benar dan tampil di sebuah website palsu yang tidak ada hubungannya dengan Bloomberg."
Twitter, yang berbasis di San Francisco, tidak berkomentar.
Saham Twitter naik 8,5 persen pagi menjelang siang sebelum kembali turun setelah berita dikukuhkan sebagai kabar palsu. Pada perdagangan siang hari, saham naik 3,2 persen menjadi $36,92 (Rp 491 ribu) per lembar saham.
Di bulan Mei, sebuah tawaran palsu bagi sebuah perusahaan lain, Avon Products, menjadikan saham-sahamnya naik hingga 20 persen. Tawaran ini melibatkan dokumen yang diajukan kepada Komisi Sekuritas dan Pertukaran (SEC). Bulan lalu, SEC menuntut seorang pria warga Bulgaria Nedko Nedev, yang menurutnya bekerja sama dengan lima orang lainnya melanggar hukum sekuritas dengan membuat tawaran palsu. SEC mengatakan Nedev membuat tawaran palsu selain bagi Avon, juga untuk Tower Group International dan Rocky Mountain Chocolate Factory.
Robert Heim, seorang mantan pengacara SEC, mengatakan pemalsuan seperti ini akan tetap terjadi karena berita menyebar cepat via media sosial dan para pelaku perdagangan harus bereaksi dengan cepat.
"Daripada menelepon investor dan menawarkan saham, sekarang orang dapat membuat website dalam sehari dua hari, dan menerbitkan berita palsu supaya dapat mengambil keuntungan dari perdagangan sebelum berita itu terungkap kepalsuannya."
Program-program perdagangan saham otomatis yang berdasarkan pada volume perdagangan dan harga saham dapat memperbesar dampak berita palsu seperti ini. Heim mengatakan investor ritel harus berhati-hati dan memastikan sebuah berita telah lebih dahulu diverifikasi sebelum mulai melakukan perdagangan berdasarkan informasi tersebut.
Jordan Thomas, seorang mantan pengacara SEC lainnya, mengatakan pemalsuan seperti ini biasanya menarget perusahaan-perusahaan lebih kecil dari Twitter karena mereka memiliki lebih sedikit jumlah saham, membuatnya lebih mudah untuk dimanipulasi.
"Biasanya mereka menyasar perusahaan-perusahaan kecil yang mungkin belum pernah Anda dengar sebelumnya," kata Thomas.