Akhir bulan lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menyampaikan pesan tegas kepada Presiden Rusia Vladimir Putin terkait penahanan dua jurnalis AS oleh Rusia: Evan Gershkovich dan Alsu Kurmasheva.
“Jurnalisme jelas bukan kejahatan. Tidak di sini, tidak di sana, tidak di mana pun di dunia,” ujar Biden.
Namun, kasus Gershkovich dan Kurmasheva membuktikan bahwa media berada di bawah ancaman. Lembaga pemantau media, Wartawan Tanpa Tapal Batas (Reporters Without Borders/RSF), menyuarakan sentimen itu melalui Indeks Kebebasan Pers 2024 yang baru saja mereka rilis, yang menunjukkan ancaman dari pemerintah adalah tantangan terbesar bagi jurnalis.
Ketatnya kontrol Moskow terhadap media sejak invasi Rusia ke Ukraina membuat Rusia berada di posisi rendah dalam indeks tersebut. Laporan RSF juga menunjukkan, penyensoran dan ancaman tindakan hukum menyebabkan lebih dari 1.500 jurnalis di negara itu diasingkan sejak 24 Februari 2022.
“Kebebasan pers sudah tidak berlaku. Di Rusia, hampir tidak mungkin menjadi jurnalis independen secara terbuka,” jelas Clayton Weimers, direktur eksekutif Reporters Without Borders di AS.
Presiden National Press Club di Washington, Emily Wilkins, mengatakan, meningkatnya ancaman terhadap jurnalis perlu menjadi perhatian publik.
“Kita melihat jurnalis dibunuh karena apa yang mereka kerjakan pada tahun-tahun sebelumnya. Kita melihat sederet kasus pelecehan dan ancaman lain yang ditujukan kepada wartawan. Jadi, saya pikir, secara umum, ada kekhawatiran yang besar terkait kebebasan pers, baik di AS maupun di luar negeri,” katanya.
Di AS, kasus penggerebekan sebuah kantor berita oleh polisi di Kansas, retorika yang tidak bersahabat, dan penangkapan jurnalis yang meliput aksi protes membuat posisi AS merosot 10 peringkat dalam indeks 2024 itu.
“Tampaknya ada kecenderungan yang semakin tinggi untuk membiarkan atau menoleransi penyerangan terhadap media. Dan kita melihatnya, terutama di tingkat lokal. Kita melihat para politisi lokal mencerca kantor berita lokal dan jurnalis lokal. Kita melihat penegak hukum setempat melakukan aksi yang cukup mengejutkan terhadap wartawan lokal,” terang Weimers.
BACA JUGA: UNESCO Anugerahkan Guillermo Cano 2024 untuk Para Wartawan Palestina Peliput Perang di GazaArgentina, Peru dan El Salvador juga mengalami penurunan peringkat. Menurut RSF, tekanan politik dan lingkungan yang tidak bersahabat adalah hal yang biasa bagi jurnalis di negara-negara itu.
Afghanistan turun 26 peringkat ke posisi ketiga terburuk di dunia dalam hal kebebasan pers. Aturan Taliban terhadap media dan perempuan membuat mereka semakin sulit bekerja di sana, kata para wartawan.
RSF mengatakan China juga masih berada di urutan terbawah, dan pengaruh negara itu semakin meluas. Di Hong Kong, pemilik media pro-demokrasi Jimmy Lai diadili dengan menggunakan undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan Beijing. Ia terancam hukuman penjara seumur hidup jika terbukti bersalah.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kami sangat khawatir karena China menjadikan diri mereka sebagai contoh negara yang menerapkan nilai-nilai anti-demokrasi, dengan mengekang kebebasan pers dan kebebasan berpendapat,” tambah Weimers.
Menjelang penyelenggaraan pemilu oleh puluhan negara tahun ini, RSF menganggap berkurangnya aktor politik yang membela kebebasan pers menjadi tren yang mengkhawatirkan.
Bahkan, di Norwegia dan Irlandia, yang secara historis memiliki rekam jejak kebebasan pers yang baik, turut mengalami penurunan peringkat. [br/jm]