Penelitian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengungkap ada banyak syarat administrasi buruh migran yang diakali dengan data palsu. Hal ini terungkap lewat kajian setahun penuh di tiga kantung BMI di Jawa Barat. Rapuhnya proses administrasi ini mengancam keselamatan buruh migran sehingga rentan jadi korban perdagangan orang.
Salah satu peneliti, Wisnu Prima, mengatakan pendataan calon buruh migran sangat lemah.
Your browser doesn’t support HTML5
“Sama sekali nggak ada kroscek data (antar-lembaga). Apakah benar ini data pribadinya? Itu nggak ada. Setelah itu di tingkat yang lebih atas di dinas-dinas ketenagakerjaan juga sama,” ujarnya kepada VOA.
Saat ini, calon buruh migran harus melalui 12 tahap administrasi, mulai dari pemerintah desa, dinas catatan sipil, kedutaan, balai penempatan, dan Layanan terpadu Satu Pintu (LTSP). Namun, dia menemukan, data dari tahap pertama tidak dicek kembali.
“Karena dia dapat data itu limpahan dari desa-desa, nggak ada juga double cross check,” tambahnya.
BACA JUGA: Ratusan Pekerja Migran Menanti Kebebasan Seperti Siti AisyahPenelitian bertajuk “Sebelum Pesawat Lepas Landas” ini mengungkap berbagai praktik pemalsuan dokumen, penggunaan suap, katrol umur, dan pemindahan domisili tempat tinggal bagi calon BMI. Praktek ini dilakukan PL dan sponsor dalam upaya memenuhi “permintaan pasar”.
Sayangnya, penegakan hukum hanya menyasar petugas lapangan. Hana Kurniasih, peneliti lain laporan ini, mengatakan bos dan perusahaan, yang “menikmati keuntungan paling besar”, justru lepas dari jerat hukum
BACA JUGA: Majikan Adelina Bebas, Indonesia Minta Jaksa Ajukan Banding“Jadi untuk pengembangan kasusnya itu nggak sampai ke atas. Itulah kenapa kita suka susah menemukan kasus yang terdakwanya itu perusahaan atau misalnya pimpinan di perusahaannya itu. Jadi level bawahnya saja. Padahal bisa jadi level bawahnya itu juga jadi korban juga,” jabar Hana lagi.
Buruh Migran Rentan Jadi Korban Perdagangan Orang
Laporan ini mengonfirmasi bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) “rupanya berhubungan” dengan sebaran kantong buruh migran. Jawa Barat adalah provinsi pengirim buruh migran terbanyak nomor 3 di Indonesia setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tiga provinsi ini memiliki angka korban perdagangan orang tertinggi selama 2005-2013.
Indonesia telah memiliki UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada 2007 yang meratifikasi kovenan ASEAN. Pemerintah juga sudah menerbitkan UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia pada 2017. UU ini mengatur soal pendataan, pembagian kewenangan kementerian dan badan, juga tugas pemerintah pusat sampai daerah.
Namun menurut Hana, perangkat UU itu belum cukup. Kata dia, pemerintah perlu menerbitkan peraturan teknis yang menjabarkan perlindungan buruh migran.
“Cuma kalau kita analisis lagi, itu kita kira nggak cukup untuk melindungi ya termasuk ketika ada masalah dalam TKI-nya sendiri. Misalnya dalam disiksa, mengalami penganiayaan, itu tuh nggak ada diatur di situ,” ungkapnya.
Hana menambahkan, pada praktiknya, instansi pemerintah masih menggunakan peraturan pelaksanaan yang lama. Sesuai amanat UU PPMI, Kementerian Ketenagakerjaan harus menyusun peraturan turunan baru sebelum November 2019.
BACA JUGA: Majikan Adelina Bebas, Indonesia Minta Jaksa Ajukan Banding
Hak Pekerja Harus Dijamin Sebelum Berangkat
Justice Without Borders, lembaga pendamping buruh migran di Asia, mengatakan Indonesia perlu menggunakan pendekatan migrasi sepanjang rute (whole migration route) untuk melindungi warganya. Artinya, perlindungan diberikan di negara asal, negara tujuan, dan ketika pekerja dalam perjalanan bulak-balik.
Direktur JWB, Douglas MacLean, mengatakan buruh migran akan terlindungi jika hak-haknya dipenuhi sebelum berangkat.
“Jika migrasi pekerja dilakukan dengan baik sebelum mereka berangkat, semua hak-hak mereka akan terjamin baik di dalam negeri dan di negara tujuan. Tapi di Indonesia, agen mereka mengeksploitasi mereka. Mereka berbohong tentang pekerjaannya. Maka tentu saja masalahnya dimulai dari dalam negeri,” ujarnya kepada VOA di Bandung, Kamis (11/4) siang.
JWB berkantor di Hong Kong, Singapura, Filipina, dan Indonesia. Lembaga ini telah mengurus 119 kasus sejak 2016 dan sedang menangani 50 lebih kasus, termasuk dari buruh migran Indonesia.
Douglas mengatakan perlu dibuat perjanjian internasional yang bisa memayungi buruh migran di seluruh dunia. Di sisi lain, Indonesia perlu memperbaiki perjanjian bilateral dengan negara-negara tujuan BMI seperti Malaysia, Hong Kong, dan kawasan Timur Tengah.
Sembari menunggu itu dilakukan, tambah Douglas, upaya edukasi kepada buruh migran harus terus dilakukan supaya mereka sadar akan hak-haknya.
“Peningkatan kesadaran di beberapa lokasi akan sangat baik. Ini satu strategi yang sangat baik. Pemerintah indonesia sudah melakukannya bersama kelompok sipil. Jadi ini harus diteruskan,” tegasnya. [rt/em]