Kaki Tangan Pengaruh Rusia Peroleh Pijakan Baru

Seorang pendukung Presiden AS Donald Trump membawa spanduk dalam demo "Stop the Steal" di Washington D.C, untuk memprotes hasil pilpres AS, 14 November 2020. (Foto: ilustrasi)

Setelah memberi peringatan dan bersiap selama empat tahun, pemilihan presiden AS 2020 tidak mengalami kejadian seperti tahun 2016, di mana para pejabat intelijen menyimpulkan Rusia ikut campur dengan menggunakan kombinasi serangan siber dan operasi pengaruh.

Tetapi menurut pejabat intelijen AS saat ini dan sebelumnya, serta para analis, kabar baiknya hanya sampai di sana. Mereka memperingatkan, Rusia sibuk meletakkan fondasi untuk kesuksesan pada masa depan.

Alih-alih mengandalkan sejumlah pelaku jahat dan akun media sosial palsu untuk mencoba mempengaruhi pikiran dan pendapat pemilih Amerika, para pejabat dan pakar memperingatkan, kaki tangan pengaruh Kremlin malah mendapatkan pijakan baru, menjadikan diri mereka sebagai bagian dari berita Amerika dan ekosistem media sosial, berbaur dengan pemirsa AS yang beraliran ekstrem kanan dan ekstrem kiri.

"Banyak dari kampanye ini ditanggapi jutaan orang," kata Evanna Hu, CEO Omelas, kepada VOA.

"Mereka cukup pandai dalam memasukkan sentimen, negatif maupun positif, kepada pengguna sosial media dengan postingan mereka," tambahnya.

Omelas adalah perusahaan yang berbasis di Washington, yang melacak upaya ekstremis online untuk kontraktor pertahanan. Perusahaan itu telah mempelajari konten Rusia di 11 platform media sosial dan ratusan sumber berita dalam berbagai bahasa, mengumpulkan 1,2 juta postingan dalam periode 90 hari sekitar pemilu 3 November.

Omelas mendapati media Rusia yang paling produktif mencakup kantor media yang didukung negara seperti RT, Sputnik, TASS dan Izvestia TV.

“Kami hanya melihat keterlibatan aktif, jadi kita harus mengklik sesuatu secara fisik atau me-retweet itu,” kata Hu yang mengakui perkiraan jutaan keterlibatan itu masih “cukup kasar.”

Omelas juga menetapkan bahwa hanya sekitar 20% dari postingan itu, yang diproduksi oleh mesin propaganda dan pengaruh Rusia, yang berbahasa Inggris. Empat puluh persen konten itu berbahasa Rusia, sisanya dalam bahasa Spanyol, Arab, Turki, dan beberapa bahasa lainnya.

Pejabat AS enggan berbicara terbuka mengenai dampak upaya-upaya ini terhadap warga AS, antara lain karena tidak mudah mengukur dampaknya.

Contohnya, setelah pemilu 2016 pejabat intelijen berkali-kali mengatakan, meskipun bisa menyimpulkan upaya Rusia yang condong pada kandidat presiden saat itu, Donald Trump, mereka tidak bisa menyimpulkan apakah ada warga AS yang memberikan suara berbeda karena upaya itu. [my/ka]