Kalah Tanding: Kisah Gobak Sodor vs Free Fire

  • Nurhadi Sucahyo

Dakon, salah satu permainan tradisional yang mengadu strategi matematis.

Saat ini kita bisa melihat anak-anak bermain video-game dengan gawai hampir di mana saja dan kapan saja. Namun, sulit sekali menemukan mereka berkumpul untuk bermain gobak sodor atau memutar gasing bambu. Apa yang sebenarnya terjadi?

Akhir pekan selalu dinanti oleh Adri dan Rehan, pelajar yang duduk di bangku SMP. Ini adalah saat bagi keduanya bisa bertemu dan bermain bersama. Bukan di halaman rumah, tetapi dalam sebuah video-game perang populer bernama “Free Fire.” “Kita bisa main dalam tim, dua orang atau empat orang. Bagaimana caranya bisa bertahan hidup,” kata Adri.

Selain “Free Fire,” Rehan juga memainkan game “Playerunknown's Battleground (PUBG).” Ketika ditanya apakah selain video-game, mereka juga memainkan permainan tradisional, keduanya menjawab masih. Adri mengaku pernah sekali bermain gobak sodor karena diminta guru olah raganya. “Saya main betengan, cuma di sekolah saja waktu pelajaran olah raga,” kata Rehan.

Banyak orang tua, seperti Dony Arsetyasmoro, mengaku tidak secara khusus memperkenalkan mainan tradisional kepada anak-anaknya. Anaknya tahu egrang dan gobak sodor karena diajarkan di sekolah. Sulit main gobak sodor di rumah, karena tidak tersedia halaman cukup luas di kompleks tempat tinggal mereka.

Anak-anak berkumpul dan aktif berinteraksi memainkan gasing bambu.

Memperkenalkan permainan tradisional juga terkendala makin sulitnya mencari mainan itu sendiri. “Itu salah satu kendala ya, kendala lain tentu karena anak-anak lebih tertarik main game. Anak saya bilang tidak mau main gobak sodor lagi karena susah,” kata Dony.

Pengalaman yang sama dimiliki Arif Hernawan, yang memiliki dua anak berumur 5 dan 3. “Dulu pernah saya ajari main dakon, tapi karena nggak punya barangnya, sekarang nggak lagi. Kalau ada acara festival dolanan, saya coba selalu ajak anak-anak ke sana,” ujar Arif kepada VOA.

Video-Game Berdampak pada Kesehatan

Permainan tradisional sempat dibicarakan dalam sebuah seminar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) Universitas Gadjah Mada, beberapa waktu lalu. Pola bermain anak-anak kini semakin pasif dan tanpa aktivitas gerak kasar mendorong anak-anak lebih berisiko mengalami obesitas. Beberapa masalah terkait mata juga muncul.

Kemampuan motorik anak terasah dengan permainan tradisional.

Pakar tumbuh kembang anak, dr. Mei Neni Sitaresmi, SpA(K), PhD, dalam seminar itu juga mengatakan, satu dari sepuluh anak kini berisiko mengalami gangguan perilaku seperti Attention Deficit Hiperactivity Disorder (ADHD).

“Ikatan Dokter Anak Indonesia dan American Academy of Pediatrics merekomendasikan orang tua untuk tidak memberikan media gadget untuk anak di bawah dua tahun. Mereka belum bisa belajar dari dua dimensi kemudian menghubungkannya dengan tiga dimensi. Yang paling penting adalah interaksi langsung,” papar Mei Neni Sitaresmi.

Sementara pakar sosiologi kesehatan, Dr Sumarni dalam seminar itu menjelaskan, selain memiliki konteks historis, permainan anak-anak juga menyehatkan. Dalam permainan ini, anak-anak belajar saling percaya dan tolong-menolong. Tidak hanya berdampak positif bagi perkembangan mental, permainan tradisional seperti gobak sodor, lompat tali, dan engklek baik untuk kesehatan fisik karena melibatkan banyak gerakan motorik.

Memompa Semangat Pelestarian

Kampoeng Hompimpa Jogja, adalah sebuah komunitas yang khusus bergerak dalam upaya melestarikan mainan dan permainan tradisional. Menurut Rikko Indie, salah satu pendiri Kampoeng Hompimpa Jogja, komunitas ini mendorong masyarakat memainkan sekaligus membuat kembali mainan-mainan yang telah lama ditinggalkan. “Sebagian kami buat sendiri, sebagian pesan ke tempat lain. Tidak sekedar membuat, kami juga melakukan edukasi kepada anak-anak untuk kembali memainkan permainan tradisional,” kata Rikko.

Your browser doesn’t support HTML5

Kalah Tanding: Kisah Gobak Sodor vs Free Fire

Kampoeng Hompimpa Jogja memiliki seratusan relawan. Komunitas ini baru berdiri April 2017 lalu sebagai respon atas menurunnya minat masyarakat terhadap mainan dan permainan tradisional. Padahal sebagai produk budaya, mainan dan permainan itu memiliki nilai luhur. Selain di Yogyakarya, saat ini Kampoeng Hompimpa telah berdiri di Tangerang, Pontianak, Semarang dan Malang. Tujuannya adalah mengembalikan kekayaan budaya Indonesia, khususnya mainan dan permainan anak-anak di masing-masing daerah.

“Dengan mainan tradisional ini, pikirannya fokus dan badannya juga harus gerak. Biasanya anak-anak yang suka main permainan tradisional itu lebih kreatif, lebih smart, interaksi sosialnya lebih dapat. Biasanya dia juga lebih ramah dan lebih adaftif, gampang adaptasi dengan sekelilingnya. Bisa dibandingkan, anak-anak yang hobi nge-game di gawai dengan anak-anak yang biasa bermain dengan permaianan tradisional," kata Rikko.

Permainan tradisional mendorong sosialisasi anak-anak lebih baik.

Kampoeng Hompimpa aktif mengkampanyekan penggunaan kembali mainan tradisional, melalui sejumlah acara. Selain pameran, mereka juga diundang menyelenggarakan sesi khusus di kantor, komunitas atau sekolah-sekolah.

Peran orang tua memang cukup dominan mengembalikan anak-anak ke permainan tradisional. Hanif M Ibrahim, yang juga aktif di Kampung Hompimpa pernah menyaksikan sendiri, orang tua yang tak mengizinkan anaknya bermain bakiak karena takut kotor. Namun ada juga pengalaman, ketika mereka berkegiatan, sejumlah orang tua aktif terlibat karena terkenang masa kecil mereka. “Mereka cerita kalau dulu waktu kecil sering dimarahi karena main layang-layang. Sekarang mereka malah ingin anak-anaknya main layang-layang daripada sibuk dengan hand phone dan menghabiskan kuota,” kata Hanif.

BACA JUGA: Milenial Indonesia Kian Berjarak dengan Bahasa Ibu

Gawai memang menjadi kendala besar untuk mengembalikan anak-anak ke permainan tradisional. Banyak orang tua memberikan gawai, dengan prinsip agar anaknya tak rewel. Padahal itu menjadi candu bagi anak-anak. Untuk mengubah kebiasaan itu, kata Hanif harus ada pihak lain yang bermain di sekitar anak-anak itu untuk menimbulkan daya tarik. Metode semacam itu biasanya manjur diterapkan, dan membuktikan bahwa yang dibutuhkan anak-anak adalah contoh untuk diikuti.

“Anak-anak itu didorong oleh orangtuanya, dengan cara orangtua yang mengajari mereka. Dengan begitu anak betul-betul ingin mengetahui bagaimana cara permainannya. Anak-anak pasti akan asyik bermain tanpa mengenal waktu, dan kemudian orang tuanya perlu membelikan mainan tradisional untuk dimainkan di rumah seperti dakon, ular tangga. Itu lebih baik untuk anak-anak karena akan mengasah imajinasi dan kreativitas mereka daripada main HP," kata Hanif. [ns/em]