Sekitar 240 Muslim Rohingya, termasuk perempuan dan anak-anak, terkatung-katung di lepas pantai Indonesia setelah dua upaya pendaratan ditolak oleh penduduk setempat.
Para pejabat mengatakan kapal tersebut sempat mendarat di kabupaten Aceh Utara pada Kamis (16/11) sore, tetapi kemudian diberangkatkan kembali bersama para penumpangnya beberapa jam kemudian.
Ini adalah kapal keempat yang mencapai provinsi paling utara di Indonesia sejak Selasa. Tiga kapal lainnya tiba di sebuah distrik berbeda dan diizinkan mendarat.
Warga Pantai Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, mengaku mereka tidak bersedia menerima kedatangan kelompok terbaru tersebut karena sudah beberapa kali pengungsi Rohingya datang ke kawasan tersebut dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga.
“Dari sudut pandang kemanusiaan, kami prihatin, tapi dari sudut pandang lain, mereka membuat keributan. Kami memang menyediakan tempat berlindung bagi mereka, tapi kami juga tidak bisa menampung mereka,” kata Saiful Afwadi, seorang tokoh adat di Kecamatan Muara Batu, Jumat (17/11).
Rahmat Karpolo, seorang kepala desa, mengatakan penduduk setempat tidak mau menerima pengungsi karena berdasar pengalaman, sejumlah warga Rohingya lari dari tempat penampungan. “Jadi kami khawatir kejadian yang sama akan terulang.” kata Karpolo.
BACA JUGA: Derita Perempuan dan Anak-anak Rohingya: Kehausan, Kelaparan Berhari-hari di Lautan Demi Hidup NormalLebih dari 700.000 Muslim Rohingya melarikan diri dari Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ke kamp-kamp pengungsi di Bangladesh setelah tindakan keras militer pada bulan Agustus 2017.
Mereka mengatakan kamp-kamp tersebut penuh sesak dan mereka harus pergi lagi untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Sebagian besar pengungsi yang meninggalkan kamp melalui laut berusaha mencapai Malaysia. Namun, banyak juga yang berakhir di Indonesia dalam perjalanannya.
Kementerian Luar Negeri RI dalam keterangan tertulisnya, Kamis, menyatakan Indonesia bukan penanda tangan Konvensi Pengungsi 1951. Oleh karena itu, Indonesia tidak mempunyai kewajiban atau kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi memberikan solusi permanen bagi para pengungsi.
“Akomodasi disediakan semata-mata karena alasan kemanusiaan. Ironisnya, banyak negara peserta konvensi justru menutup pintu dan bahkan menerapkan kebijakan penolakan terhadap pengungsi,” kata Lalu Muhamad Iqbal, juru bicara kementerian itu dalam sebuah pernyataan.
Ia menambahkan, kebaikan Indonesia dalam menyediakan tempat penampungan sementara telah banyak dieksploitasi para penyelundup manusia yang mencari keuntungan finansial tanpa memedulikan tingginya risiko yang dihadapi para pengungsi, terutama kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Bahkan banyak dari mereka yang teridentifikasi sebagai korban perdagangan manusia, kata Iqbal. [ab/ka]