Kamp pengungsi berpopulasi 100.000 orang itu sedang diubah untuk menjadi kota sementara dengan dewan pemerintah, jalan, taman, jaringan listrik dan pipa pembuangan.
ZAATARI, YORDANIA —
Pengelola kamp terbesar di wilayah ini untuk para pengungsi Suriah mengatur boneka, mainan truk dan rumah-rumahan di atas peta dalam kantornya yang berbentuk karavan untuk menggambarkan visinya yang ambisius.
Dalam setahun, ia ingin mengubah kamp kumuh berpopulasi 100.000 orang itu menjadi kota sementara dengan dewan pemerintah lokal, jalan, taman, jaringan listrik dan pipa pembuangan.
Zaatari, kamp di padang pasir dekat perbatasan Yordania dengan Suriah, jauh dari situasi ideal tersebut. Hidup di sini keras. Yang kuat merampas dari yang lemah, perempuan takut pergi ke kamar mandi umum di malam hari, air buangan mengalir di antara tempat-tempat tinggal dan bocah-bocah laki-laki berebut upah mengangkut barang, bukannya bersekolah.
Namun dengan perang sipil di Suriah yang menginjak tahun ketiga, lebih dari dua juta warga Suriah yang mengungsi dari negaranya memerlukan solusi-solusi jangka panjang, ujar Kilian Kleinschmidt, yang mengelola Zaatari untuk badan pengungsi PBB, UNHCR.
"Kita sedang membangun kota sementara, sepanjang orang-orang ini harus berada di sini,” ujar Kleinschmidt, 51. Veteran daerah-daerah konflik ini mendapat bantuan dari para ahli tata kota di Belanda.
Banyak warga di Zaatari mengakui, meski dengan enggan, bahwa tidak mungkin mereka kembali dalam waktu dekat.
"Awalnya, kami menghitung masa pengungsian ini dalam waktu bulan, kemudian tahun, dan sekarang barangkali dalam dekade,” ujar Khaled Zoabi, yang berusia 60an, sambil minum teh dan merokok dengan para pengungsi lain di karavan yang telah berubah menjadi tempat menongkrong para pria.
Tanda-tanda para pengungsi mulai menanam akarnya ada di mana-mana, hanya 15 bulan setelah Yordania membuka kamp tersebut.
Banyak tenda yang telah digantikan kereta gandeng atau karavan, dengan antena parabola di atapnya. Para pengungsi mulai mendirikan ratusan bisnis, menawarkan mulai dari mesin cuci dan potong rambut sampai kue dan kopi. Kamp ini memiliki tiga sekolah, dua rumah sakit dan sebuah klinik kebidanan.
Para pengungsi telah menciptakan sendiri ekonomi kamp mereka, namun aturannya sumir. Kelompok-kelompok preman muncul untuk menguasai beberapa sektor, termasuk pasar gelap pasokan barang-barang dari PBB, ujar Kleinschmidt said.
Uang disuntikkan ke dalam kamp dari yang sempat dibawa oleh para pengungsi, kiriman dari saudara atau dari kemitraan usaha dengan warga Yordania.
Sumber uang lain adalah 1.500 pembersih dan tukang yang dipekerjakan. Pekerjaan-pekerjaan ini berputar setiap dua minggu. Para pemimpin jalanan, yang dipilih oleh para penghuni, memilih siapa yang bertugas, dan banyak yang mengeluhkan favoritisme.
Kleinschmidt sedang membentuk dewan lingkungan di 12 distrik kamp itu, dimana otoritas Yordania, polisi komunitas dan pengungsi akan mengatasi masalah-masalah lokal. Ini tindakan penyeimbangan, ujarnya, karena ia tidak ingin membuat pemerintah Yordania was-was dengan menyarankan pembangunan kota permanen.
“Ini isu sensitif. Bagaimana menyeimbangkan antara membuat hidup lebih nyaman, membuat orang-orang patuh pada aturan, namun juga menjamin mereka dapat pergi,” ujarnya.
“Hal ini memberdayakan mereka untuk kembali sebagai orang yang bertanggung jawab dan memiliki harga diri, dan sindrom kebergantungan dapat dikurangi.” (AP/Karin Laub dan Mohammed Daraghmeh)
Dalam setahun, ia ingin mengubah kamp kumuh berpopulasi 100.000 orang itu menjadi kota sementara dengan dewan pemerintah lokal, jalan, taman, jaringan listrik dan pipa pembuangan.
Zaatari, kamp di padang pasir dekat perbatasan Yordania dengan Suriah, jauh dari situasi ideal tersebut. Hidup di sini keras. Yang kuat merampas dari yang lemah, perempuan takut pergi ke kamar mandi umum di malam hari, air buangan mengalir di antara tempat-tempat tinggal dan bocah-bocah laki-laki berebut upah mengangkut barang, bukannya bersekolah.
Namun dengan perang sipil di Suriah yang menginjak tahun ketiga, lebih dari dua juta warga Suriah yang mengungsi dari negaranya memerlukan solusi-solusi jangka panjang, ujar Kilian Kleinschmidt, yang mengelola Zaatari untuk badan pengungsi PBB, UNHCR.
"Kita sedang membangun kota sementara, sepanjang orang-orang ini harus berada di sini,” ujar Kleinschmidt, 51. Veteran daerah-daerah konflik ini mendapat bantuan dari para ahli tata kota di Belanda.
Banyak warga di Zaatari mengakui, meski dengan enggan, bahwa tidak mungkin mereka kembali dalam waktu dekat.
"Awalnya, kami menghitung masa pengungsian ini dalam waktu bulan, kemudian tahun, dan sekarang barangkali dalam dekade,” ujar Khaled Zoabi, yang berusia 60an, sambil minum teh dan merokok dengan para pengungsi lain di karavan yang telah berubah menjadi tempat menongkrong para pria.
Tanda-tanda para pengungsi mulai menanam akarnya ada di mana-mana, hanya 15 bulan setelah Yordania membuka kamp tersebut.
Para pengungsi telah menciptakan sendiri ekonomi kamp mereka, namun aturannya sumir. Kelompok-kelompok preman muncul untuk menguasai beberapa sektor, termasuk pasar gelap pasokan barang-barang dari PBB, ujar Kleinschmidt said.
Uang disuntikkan ke dalam kamp dari yang sempat dibawa oleh para pengungsi, kiriman dari saudara atau dari kemitraan usaha dengan warga Yordania.
Sumber uang lain adalah 1.500 pembersih dan tukang yang dipekerjakan. Pekerjaan-pekerjaan ini berputar setiap dua minggu. Para pemimpin jalanan, yang dipilih oleh para penghuni, memilih siapa yang bertugas, dan banyak yang mengeluhkan favoritisme.
Kleinschmidt sedang membentuk dewan lingkungan di 12 distrik kamp itu, dimana otoritas Yordania, polisi komunitas dan pengungsi akan mengatasi masalah-masalah lokal. Ini tindakan penyeimbangan, ujarnya, karena ia tidak ingin membuat pemerintah Yordania was-was dengan menyarankan pembangunan kota permanen.
“Ini isu sensitif. Bagaimana menyeimbangkan antara membuat hidup lebih nyaman, membuat orang-orang patuh pada aturan, namun juga menjamin mereka dapat pergi,” ujarnya.
“Hal ini memberdayakan mereka untuk kembali sebagai orang yang bertanggung jawab dan memiliki harga diri, dan sindrom kebergantungan dapat dikurangi.” (AP/Karin Laub dan Mohammed Daraghmeh)