Ada 11 calon yang akan bertarung dalam pemilu presiden di Uganda bulan Januari ini, tetapi hanya satu perempuan diantara mereka, yaitu Nancy Kalembe. Kalembe mengatakan setelah diperintah oleh Presiden Yoweri Museveni selama 34 tahun, sudah saatnya ada perubahan kepemimpinan di negara itu, dan ia yakin dirinya merupakan perempuan yang tepat untuk jabatan itu.
Kalembe adalah satu-satunya perempuan yang akan bertarung melawan 10 laki-laki dalam pemilu presiden tahun ini.
Kalembe mengatakan layanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan lapangan pekerjaan adalah hal-hal yang masih harus dibangun di negara itu. Ia menyalahkan Presiden Yoweri Museveni, yang telah menjabat sejak tahun 1986, dan mengatakan Museveni bertindak seperti diktator yang dulu digulingkannya.
“Museveni mengatakan kebaikan dan cintanya yang pertama bagi bangsa ini adalah pergi berjuang untuk kemerdekaan kami, warga Uganda. Saat itu saya berumur enam tahun. Saya menilai kebaikan terbaik berikutnya yang dapat dilakukan Museveni adalah menyerahkan kekuasaan secara damai.”
Namun Museveni masih mendapat dukungan kuat di Uganda, termasuk di kawasan Busoga di mana Kalembe berasal.
Kalembe mendapat dukungan dari mereka yang kehidupannya belum pernah membaik pada masa kepemimpinan Museveni.
Survei Rumah Tangga Nasional Uganda tahun 2016-2017 menunjukkan 75 persen warga Busoga miskin, dibandingkan rata-rata nasional yang mencapai 63 persen.
“Kami para janda merawat anak-anak kami seorang diri. Anak-anak kami memang bisa bersekolah, tetapi kami tidak dapat melakukan hal lain demi masa depan mereka yang lebih baik. Jadi saya meminta kepada seluruh perempuan di Uganda, ini momentum kita. Kita memiliki Ketua DPR perempuan. Sudah saatnya kita punya presiden perempuan," kata salah seorang pendukung Kalembe, Mutesi Aidah.
BACA JUGA: Barbara Birungi Mutabazi, Perempuan 'Silicon Valley' dari AfrikaUganda pernah memiliki wakil presiden perempuan pertama di negara Afrika pada tahun 1994. Kalembe adalah perempuan keempat yang berjuang untuk menduduki posisi pemerintahan tertinggi di negara itu.
Namun Riset Dunia Internasional tahun 2016 menunjukkan 53 persen responden menilai Uganda akan lebih aman jika memiliki presiden laki-laki.
Sebagian analis menilai masih perlu waktu bagi warga Uganda untuk menerima gagasan presiden perempuan.
“Terlepas apakah laki-laki atau perempuan yang terpilih nanti, yang paling penting bagi pemilih adalah bagaimana kinerja mereka. Apakah mereka mampu mengubah kehidupan warga dengan mandat yang sudah mereka dapatkan?” kata Perry Aritua, Direktur Eksekutif “Jaringan Demokrasi Perempuan Uganda.
Meskipun belum pernah ada perempuan yang terpilih menjadi presiden di Uganda, Kalembe berharap setidaknya tim kampanyenya akan mempertahankan gagasan perubahan kepemimpinan yang nyata.”
Presiden Yoweri Museveni telah memimpin Uganda sejak tahun 1986. Ia telah menolak beragam seruan untuk mundur dari jabatannya dengan mengatakan ia justru berulangkali dipilih oleh warga Uganda yang mencintainya.
Pemilu presiden di Uganda kerap diwarnai tuduhan kecurangan. Negara itu tidak pernah melakukan peralihan kekuasan yang damai sejak merdeka dari Inggris tahun 1962. [em/jm]