Kapal Perusak AS Berlayar Dekat Pulau-pulau di Laut China Selatan yang Dikontrol China

Kapal perusak berpeluru kendali USS Benfold sedang berlayar, 15 Juni 2018, sebagai ilustrasi. Angkatan Laut AS, Rabu (13/7), mengoperasikan sebuah kapal perusak di dekat pulau-pulau yang dikuasai China di Laut China Selatan. (Sarah Myers/US Navy via Reuters)

Angkatan Laut AS, Rabu (13/7), mengoperasikan sebuah kapal perusak di dekat pulau-pulau yang dikuasai China di Laut China Selatan. Washington menyatakan, kapal itu melakukan patroli yang bertujuan untuk menegaskan kebebasan navigasi melalui jalur laut strategis.

Kapal perusak berpeluru kendali USS Benfold berlayar melewati Kepulauan Paracel dan melanjutkan operasinya di Laut China Selatan.

Operasi itu “menegakkan hak, kebebasan, dan penggunaan laut yang sah,'' kata Armada ke-7 Angkatan Laut AS dalam sebuah pernyataan yang dirilisnya.

Kapal perusak berpeluru kendali kelas Arleigh Burke USS Benfold (DDG 65) berlayar melalui Laut China Selatan. (Foto: Angkatan Laut AS)

Operasi semacam itu dianggap sebagai kunci bagi Angkatan Laut AS untuk mempertahankan kehadirannya di Indo-Pasifik, di mana China telah meningkatkan kehadirannya melalui pengerahan kapal besar-besaran.

Beijing juga telah memicu kekhawatiran AS, Australia dan Selandia Baru dengan penandatanganan perjanjian pertahanan bersama dengan Kepulauan Solomon. Berdasarkan perjanjian itu, dalam keadaan darurat, China dapat mengirim pasukannya dan bahkan membangun kehadiran militer China yang permanen di sana.

Terkait operasi Benfold, Komando Kawasan Selatan China melacak pergerakan kapal itu dan memerintahkannya untuk meninggalkan daerah itu, kata Kolonel Angkatan Udara China Tian Junli seperti dikutip di situs web Kementerian Pertahanan China.

BACA JUGA: AS Peringatkan akan Bela Sekutu Jika China Langgar Aturan Laut

“Pasukan kami di daerah militer selalu berada dalam kondisi siaga tinggi untuk menjaga kedaulatan nasional, keamanan dan perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan,” kata kementerian itu.

China mengklaim kepemilikan atas hampir seluruh jalur laut strategis itu, yang dilalui perdagangan global sekitar $5 triliun setiap tahunnya dan menyimpan stok ikan dan sumber daya mineral bawah laut yang sangat berharga. Filipina, Brunei, Malaysia, Vietnam dan Taiwan juga memiliki klaim atas sebagian wilayah tersebut. [ab/uh]