Diwawancarai melalui telepon, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan kapal selam buatan HDW (Howaldtswerke Deutsche Werft) Jerman tahun 1977, yang mulai digunakan TNI Angkatan Laut sejak tahun 1981 itu, “membawa 53 personil.” Ia mengatakan “akan menuju ke sasaran besok pagi” untuk memimpin langsung operasi pencarian.
Lebih jauh Hadi Tjahjanto mengatakan beberapa negara sudah menawarkan bantuan untuk mencari kapal selam itu, termasuk “MV SWIFT Rescue dari Singapura yang malam ini sudah bergerak menuju perairan Bali, dengan estimasi tiga hari perjalanan untuk membantu pencarian di bawah air.”
Tumpahan Minyak Tampak di Lokasi
KRI Nanggala yang membawa 53 awak, yang mencakup 49 ABK, satu komandan dan tiga orang Arsenal, sedang melaksanakan penembakan Torpedo SUT ketika meminta ijin menyelam sekitar jam 3 WIB. Keterangan dari Kementerian Pertahanan mengatakan “setelah diberi ijin menyelam sesuai prosedur, kapal hilang kontak dan tidak bisa dihubungi.” Diduga kapal jatuh di kedalaman 700 meter.
Beberapa kapal lain yang sedang mengikuti latihan itu langsung melakukan pencarian dan “pada pukul 7 WIB melalui pengamatan udara dengan helikopter, ditemukan tumpahan minyak di sekitar posisi awal menyelam.”
Kementerian Pertahanan mengatakan operasi pencarian masih terus dilakukan dengan mengerahkan KRI Rigel dari Dishidros Jakarta dan KRI Rengat dari Satuan Ranjau untuk mencari dengan piranti side-scan-sonar.
TNI Angkatan Laut juga telah mengirim sinyal ISMERLO (Internasional Submarine Escape and Rescue Liaison Officer) dan sudah ditanggapi oleh beberapa negara, antara lain Angkatan Laut Singapura, Australia dan India.
Faktor Usia Kapal dan Kelalaian Manusia
Peneliti Pertahanan dan Keamanan LIPI Diandra M Mengko menilai ada beberapa faktor yang dapat menjadi pemicu peristiwa hilangnya kontak KRI Nanggala. Antara lain usia kapal dan kelalaian manusia.
BACA JUGA: KRI Nanggala-402 Hilang, TNI Minta Bantuan Australia dan Singapura"Untuk lebih jelasnya memang perlu proses evaluasi dari pihak Kemenhan dan TNI," ujar Diandra M Mengko kepada VOA, Rabu malam.
Ia mengusulkan pemerintah mengevaluasi kondisi alutsista agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Termasuk evaluasi terkait perkembangan Minimum Essential Force (MEF) yang sudah berjalan 11 tahun. MEF merupakan kekuatan pokok minimal yang harus dimiliki untuk pertahanan suatu negara.
"Ini perlu benar-benar dievaluasi, agar dapat meminimalisir timbulnya permasalahan pada mesin atau peralatan pada alutsista yang bisa berakibat fatal terhadap prajurit yang bertugas," komentarnya.
Ia juga menekankan evaluasi perkembangan MEF tersebut tidak hanya untuk kapal selam, namun juga alutsista matra lainnya seperti TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Udara.
Minim Anggaran dan Birokrasi Rumit, Alutsista Tak Kunjung Diremajakan
Pengamat militer lainnya, Asri Hadi, menuding panjangnya birokrasi yang membuat upaya pengadaan alutsista jalan di tempat.
“Panjangnya birokrasi yang harus dilalui apabila ingin membeli alutsista, baik dari kesatuan masing-masing, mulai dari tingkat kepala staf angkatan, lanjut ke Mabes TNI dan Kemenhan, maupun persetujuan dari kementerian terkait seperti Departemen Keuangan dan DPR, sangat panjang. Apalagi di setiap sektor ada kepentingan yang berbeda dan punya “jagoan” penyedia pengadaan alutsista yang berbeda pula,” ujarnya secara blak-blakan.
Hal ini diperumit dengan kecilnya anggaran untuk TNI, “terutama TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Laut, sementara alutsista kita sudah usia lanjut sehingga tidak dapat dioperasikan secara optimal,” tambah Asri Hadi.
Posko di Banyuwangi
TNI Angkatan Laut berencana mendirikan posko di Banyuwangi untuk mengkoordinir operasi pencarian dan penyelamatan kapal selam KRI Nanggala 402.
Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengatakan pada VOA “masih menunggu perkembangan di lapangan” ketika ditanya apakah akan meminta bantuan dari Angkatan Laut negara-negara lain, termasuk Amerika. [em/jm]