Kapal Tenggelam di Perairan Malaysia, 23 Jenazah Ditemukan

  • Fathiyah Wardah

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir dalam jumpa pers di kantornya Kamis (28/1). (VOA/Fathiyah Wardah)

Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan proses identifikasi terhadap 23 jenazah yang ditemukan di perairan Malaysia masih terus dilakukan.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Arrmanatha Nasir dalam jumpa pers di kantornya menjelaskan hingga Kamis siang (28/1) sudah ada 23 jenazah yang ditemukan di pantai dekat kota Bandar Penawar, Johor Selatan, Malaysia.

Beberapa hari lalu,sebuah kapal yang diduga membawa tenaga kerja Indonesia secara ilegal masuk ke Malaysia tenggelam di perairan Malaysia.

Kedua puluh tiga orang tersebut kata Arrmanatha terdiri dari 10 perempuan dan 13 laki-laki. Dari jumlah itu lanjutnya baru tiga yang teridentifikasi bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Satu jenazah berasal dari Kendal, Jawa Tengah, rencananya kata Arrmanatha, Kamis siang akan dipulangkan ke kampung halamannya. Sementara dua orang lainnya akan menyusul secepatnya.

Menurutnya identifikasi masih terus dilakukan. Menurutnya identifikasi masih terus dilakukan. Diduga, kapal yang tenggelam di perairan Johor membawa tenaga kerja Indonesia illegal. Identitas kapalnya, lanjut Arrmanatha, masih dalam proses investigasi. Dikabarkan, kapal terbalik setelah dihantam gelombang tinggi.

Arrmanatha mengatakan, "Jenazah yang sudah ditemukan itu 23 orang dan yang sudah teridentifikasi per siang ini adalah tiga orang dan tiga-tiganya adalah WNI. Proses identifikasi selama ini menggunakan dari langsung visual, langsung dari keluarga korban. Dan ditemukan di sekitar jenazah berbagai kartu identitas seperti KTP, paspor, SIM dan lain-lain. Jadi itu menjadi alat utama untuk mengidentifikasi korban."

Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan kejadian kapal tenggelam yang membawa warga negara Indonesia yang ingin bekerja ke Malaysia sudah beberapa kali terjadi, diantaranyamenjelang bulan puasatahun yang lalu.

Kejadian ini kata Wahyu selalu dinilai oleh pemerintah Indonesia maupun Malaysia sebagai kejadian yang biasa, padahal hal ini merupakan dampak kebijakan-kebijakan yang tidak ramah terhadap buruh migranIndonesia. Warga Negara Indonesia yang ingin bekerja ke Malaysia lanjutnya sering harus dihadapkan pada birokrasiyang berbelit-belit dan harga yang mahal, sehingga lanjutnya orang lebih memilih menggunakan jalur ilegal untuk bekerja ke Malaysia.

Hal inilah menurut Wahyu harus segera diatasi oleh pemerintah Indonesia maupun Malaysia.

"Jadi harusnya ada pembaharuan, debirokratisasi dan ada pemangkasan pembiayaan sehingga memudahkan teman-teman TKI kita berangkat ke Malaysia secara resmi tapi juga murah. Penghindaran mereka terhadap prosedur-prosedur itu karena biaya yang mahal," kata Wahyu.

Para pekerja tak berdokumen sering menggunakan jalur gelap yang menghubungkan daratan Malaysia dan Indonesia. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia bahkan menyebut adanya "70 jalur tikus" yang kerap digunakan untuk menyeberang ke negeri Jiran tersebut.

Menurut Wahyu, kehadiran jalur-jalur tersebut disebabkan oleh sindikat yang bermain. Pemerintah Indonesia tambahnya harus mendesak pemerintah Malaysia agar serius membersihkan sindikat-sindikat itu.

"Baik keterlibatan aparat imigrasi, aparat pelabuhan perbatasan laut, kemudian sindikat perekrut buruh migrant kita, karena bagaimanapun juga berbondong-bondongnya puluhan ribu buruh migran kita ke Malaysia itu tentu ada permintaan. Permintaan terbesar buruh migran kita tidak berdokumen ironisnya datangnya dari perkebunan-perkebunan Malaysia yang dimiliki oleh negara seperti BUMNnya. Dalam setiap negosiasi buruh migran tak berdokumen, kedua negara tutup mata soal ini.Selama akar masalah ini tidak diatasi ini akan terus berlangsung. Jadi harus ada keberanian dari pemerintah Indonesia dan keseriusan dari pemerintah Malaysia untuk mengatasi ini," ujarnya.

Wahyu mengatakan perusahaan perkebunan tersebut menggunakan TKI tak berdokumen agar tidak usah membayar pajak pekerja asing yang mencapai dua ribu ringgit. Sementara perkebunan membutuhkan tenaga pekerja yang banyak. [fw/jm]