Kardinal Non-Eropa Berharap Gantikan Paus

Paus Benediktus XVI menyambut Kardinal John Olorunfemi Onaiyekan dari Nigeria dalam upacara di Basilika Saint Peter di Vatikan, November 2012. (Foto: Dok)

Kardinal dari luar Eropa seperti Amerika Latin berharap pengganti paus berasal dari wilayah mereka karena pertumbuhan agama Katolik di sana lebih dinamis.
Pengunduran diri Paus Benediktus XVI membuka pintu bagi banyak calon pengganti, dari kardinal konservatif di Milan sampai kandidat dari Ghana dan beberapa negara Amerika Latin. Namun jangan harap ada perubahan radikal dalam Gereja Katolik, karena Paus memilih mayoritas kardinal yang akan memilih penggantinya dari kalangan mereka sendiri.

Tidak ada calon kuat saat ini, meski beberapa kandidat utama telah disebut dalam beberapa tahun belakangan sebagai memiliki kualitas menjadi seorang paus.

Akankah paus kembali berasal dari Italia, setelah tiga dekade dijabat oleh orang Polandia dan Jerman? Atau mungkinkah Amerika Latin, yang mencakup sekitar 40 persen dari umat Katolik dunia yang berjumlah 1,2 miliar, pantas menduduki posisi tersebut?

Apakah kardinal berusia lebih muda akan dipertimbangkan mengingat paus-paus di masa yang akan datang lebih bebas untuk mengundurkan diri? Atau jabatan ini akan kembali dipegang oleh kardinal berpengalaman untuk periode transisi yang lain?

Para kardinal yang berjumlah 110 orang berusia di bawah 80 tahun dan berhak memasukkan suaranya akan mempertimbangkan semua pertanyaan tersebut dan isu-isu lain, saat bertemu di Kapel Sistine bulan depan untuk memilih pengganti Paus Benediktus.

Beberapa pihak mengatakan pengunduran diri Benediktus membuka peluang bagi pemimpin agama dari Afrika atau Amerika Latin, yang memiliki perkembangan paham Katolik yang lebih dinamis.

“Saat ini Eropa mengalami periode kelelahan dan kepenatan budaya, yang terlihat dalam bagaimana paham Kristiani dijalani,” ujar Monsignor Antonio Marto, uskup Fatima dari Portugis tengah.

“Hal tersebut tidak tampak di Afrika atau Amerika Latin, dimana ada kesegaran dan antusiasme dalam menjalani keyakinan agama. Barangkali kita perlu seorang paus yang dapat melihat lebih jauh dari Eropa dan membawa seluruh gereja ke dalam suatu vitalitas yang terlihat di benua-benua lain.”

Kardinal Wilfrid Napier dari Afrika Selatan sepakat dengan Monsignor Marto.

“Saya kira peluangnya lebih baik untuk memilih seseorang dari luar belahan Bumi utara kali ini, karena ada sejumlah kardinal yang menjanjikan dari bagian-bagian dunia yang lain,” ujarnya.

Meski ada antusiasme tersebut, lebih dari setengah kandidat yang layak dipilih berasal dari Eropa, membuat wilayah ini memiliki lebih banyak keuntungan walaupun tidak ada aturan yang mengatur pemilihan kardinal sesuai wilayah geografis.

Beberapa kardinal asal Italia layak dipilih, diantaranya Kardinal Angelo Scola, 71, uskup agung Milan yang dekat dengan Benediktus dan Kardinal Gianfranco Ravasi dari kantor kebudayaan Vatikan. Selain itu ada sejumlah kandidat dari Amerika Latin, seperti Kardinal Oscar Andres Rodriguez Maradiaga dari Honduras, yang dianggap terlalu liberal untuk memimpin wakil umat yang konservatif itu.

Ada juga uskup agung Manila, Kardinal Antonio Tagle, namun dianggap terlalu muda di usia 56 tahun.

Dari manapun paus berikutnya berasal, para analis menilai ia tidak akan mengubah gereja secara radikal, meski kejutan tetap dimungkinkan.

“Melihat para kardinal yang dipilih oleh Paus Yohanes Paulus dan Benediktus, sepertinya paus berikutnya tidak akan membuat banyak perubahan radikal,” ujar pendeta Yesuit James Martin.

“Di pihak lain, jabatan paus dapat mengubah seseorang dan Roh Kudus selalu siap untuk kejutan.”

Michele Dillon, sosiolog dari University of New Hampshire yang mempelajari gereja Katolik, mengatakan tidak akan ada transformasi radikal dalam gereja. Jika pun ada, hanya perubahan kecil di sana sini, ujarnya. (AP/Nicole Winfield)